26.1 C
Jakarta
Array

Jihad Melawan Kemiskinan

Artikel Trending

Jihad Melawan Kemiskinan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dampak kemiskinan sungguh kompleks. Tak hanya mereduksi hak kemanusiaan. Kemiskinan juga menimbulkan kesenjangan sosial dan memunculkan tindak kriminal. Setidaknya atas dasar itulah setiap negara mengagendakan pengentasan menjadi prioritas utama tanpa kecuali negara-bangsa Indonesia. Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan dampak berantai seperti maraknya kriminalitas dan lain sebagainya.

Meski pengentasan kemiskinan menjadi agenda wajib setiap pemerintahan, nyatanya kemiskinan masih istiqamah di negeri ini. Parahnya, kondisi tersebut dijadikan sebagai celah bagi setiap calon pemimpin yang ingin menakhkodai Indonesia dengan janji-janji pengentasan kemiskinan. Hampir tidak ditemukan pemimpin yang tidak mengusung pengentasan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan satu ini akut sekali.

Melihat kondisi tersebut, maka langkah strategis dan komprehensif menuntut untuk diberlakukan jika negeri ini bebas dari belenggu kemiskinan atau setidaknya kemiskinan dapat diminimalisir. Jika dilesik lebih dalam, sesungguhnya kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor individu. Dari bahasa aslinya (baca: Arab), kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang.

Memperhatikan akar kata “miskin” diatas dapat diperoleh kesan bahwa fektor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, atau tidak dapat bergerak atau berusaha. Pakar Ilmu Tafsir Indonesia Quraish Shihab, sebagaimana dikutip dalam buku Wawasan al-Qur’an, mengatakan bahwa keengganan berusaha adalah penyaniayaan terhadap diri sendiri, sedangkan ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan pleh penganiayaan oleh orang lain. Ketidak mampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural.

Baca juga: Santri dan Jihad Zaman Now

Al-Qur’an sejatinya sudah menjelaskan sekaligus memberi tuntunan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan ditujukan kepada makhluk yang dinamai dabbah, yang arti harfiahnya adalah yang bergerak (QS. Hud (11): 6). Quraih Shihab menjelaskan bahwa ayat ini “menjamin” siapa yang aktif mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Hal ini senada dengan Spicher (2002). Ia mengatakan bahwa ada empat madzhab kemiskinan, salah satu madzhab tersebut adalah individual explanation. Madzhab ini menganggap bahwa kemiskinan terjadi karena adanya sifat malas dan mudah putus asa.

Padahal, sumber daya alam sudah disiapkan Allah untuk umat manusia. Tanda-tanda ini ditegaskan dalam firman-Nya dalam Qur’an Surat Ibrahim (14): 34. Secara garis besar, ayat tersebut menerangkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada manusia segela apa yang diminta (dibutuhkan). Dan nikmat Allah tidak terhingga. Perlu diketahui bahwa pernyataan al-Qur’an tersebut dikemikakan setelah menyebutkan aneka nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya.

Spirit ayat diatas sesungguhnya menuntut manusia untuk berfikir kreatif. Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia. Seandainya sesuatu telah habis, maka alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia masih berusaha. Nah, kemiskinan terjadi akibat ketidakseimbangan dalam memperoleh atau penggunaan sumber daya alam itu.

Islam mengajarkan pada umatnya hidup berkecukupan dan itulah makna kaya sesungguhnya. Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya yang melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan. Sebagian masyarakat hingga kini menganggap bahwa kemiskinan adalah sarana penyucian diri.

Pengentasan Kemiskinan Perspektif al-Qur’an

Sebagaimana dikutip dari Wawasan al-Qur’an karya Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh guna mengentaskan kemiskinan. Secara garis besar, dibagi menjadi tiga hal pokok. Pertama,  kewajiban setiap individu. Kewajiban ini tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha.

Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan kitab suci al-Qur’an, karena hal kedua hal itulah yang sejalan dengan naluri manusia, sekaligus merupakan kehormatan dan harga dirinya. Hal ini tercermin dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 14. Ayat ini secara tegas menggarisbawahi dua naluri manusia, yaitu naluri seksual dan naluri kepemilikan.

Baca Juga: Meluruskan Makna Jihad

Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip dalam “Wawasan al-Qur’an”, mengatakan bahwa naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya—dalam istilah agama—disebut rezeki, dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha).

Kedua, kewajiban orang lain atau masyarakat. Kewajiban ini tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib. Menggantungkan penanggulangan kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsyafan pribadi, tidak dapat diandalkan. Sebab, kebanyakan orang tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggungjawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Oleh sebab itu, perlu adanya penetapan hak dan kewajiban supaya keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik dan benar serta membawa kemaslahatan bersama.

Nah, dalam Islam, penetapan tersebut diejawantahkan dalam bentuk zakat. Zakat ini diberikan kepada orang yang berhak, delapan golongan seperti yang ditetapkan (QS al-Taubah (9): 60).  Kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan oleh Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga berdasarkan istikhlaf (penusgasan manusia sebagai khalifah) dan persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan (Quraish Shihab, 1996: 602).

Tolok ukur kekayaan adalah hidup berkecukupan, bukan yang banyak harta atau uang. Sebuah lingkaran betapapun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, ia pasti kurang dari angka tersebut. Dengan demikian,tidak diperkenankan ditumpuk-tumpuk, melainkan kekayaan harus disyukuri salah satunya dengan zakat. Bayangkan saja jika orang di dunia ini, khususnya muslim Indonesia menunaikan zakat. Tentu orang miskin akan berkurang.

Ketiga, kewajiban pemerintah. Terkadang, penyebab kemiskinan tidak melulu dari individu, melainkan juga pemerintah. Dalam pandangan ini seringkali disebut sebagai kemiskinan struktural. Kondisi seperti ini membutuhkan sentuhan dari pemerintah. Artinya, pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui mekanisme ekonomi dan juga sumber-sumber dana yang sah, seperti pajak dan sejenisnya.

Melihat kondisi kemiskinan diindonesia semakin hari semakin bertambah, maka jihad melawan kemiskinan harus dibumikan. Sikap malas yang menjadi ciri khas sebagian besar masyarakat Indonesia harus dihilangkan. Inilah jihad yang seungguhnya. Wallauhu a’lam bi al-shawab. (n).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru