30.9 C
Jakarta

Jihad; Ketika Cit(r)a Surga Menodai Islam

Artikel Trending

KhazanahPerspektifJihad; Ketika Cit(r)a Surga Menodai Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Maret di tahun 2021 ditutup dengan kelabu. ZA, seorang perempuan dua puluh tahunan, dengan semangat jihad, mengacungkan pistol di depan Mabes Polri. Wanita berjilbab itu dianggap menjadi ancaman serius. Polisi melumpuhkannya dengan timah panas. Lalu ia tewas, tubuhnya tergeletak di bawah terik matahari Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Setelah diketahui identitasnya, pihak berwenang menggeledah rumahnya. Mereka menemukan sepucuk surat haru, bertulis tangan dan berisi wasiat terhadap orang yang ia sayangi. Dalam surat itu, ZA mengawali dengan permintaan maaf terhadap ibunya, lalu berpesan kepada seluruh keluarganya untuk selalu beribadah dan, meminta mereka bertaubat, berhenti ikut pemilu; demokrasi, undang-undang, Pancasila dipandangnya sebagai ajaran kafir.

Sungguh miris. Ditambah lagi, ZA sangat meyakini bahwa, mengancam nyawa dan memutus hak hidup orang lain adalah jihad sebagai penebus dosa, dan jalan agar dia bisa memberi syafaat kepada keluarganya. “Insyaallah dengan karunia Allah, amalan jihad zakiah akan membantu memberikan syafaat pada keluarga di akhirat. Jihad adalah ibadah tertinggi dalam Islam,” tulis ZA.

Tulisan ZA, menjadi pangkal motif aksi nekat yang dilakukannya. Rupa-rupanya perempuan 25 tahun ini memaknai jihad sebagai transaksional; surga dibayar melalui nyawa. Ini menunjukan bahwa dirinya tidak terbekali dengan pengetahuan agama yang mumpuni. Upaya merenggut hak hidup dan hak taubat orang lain bukan ajaran agama Islam. Jihad hanya dimaknai sempit terbatas pada merelakan nyawa.

Tidak hanya ZA, pemahaman sempit tentang jihad ini sudah memakan banyak korban. Tiga hari sebelumnya, aksi serupa dengan motif menebus surga juga terjadi di wilayah Makasar. Gereja Katedral menjadi sasaran empuk aksi bunuh diri pasangan muda suami istri. Salah satu pelaku, L juga berusia sama dengan ZA yaitu 25 tahun. Padahal, tindakan bunuh diri dengan motif apa pun dikecam dalam Islam, bahkan dalam suatu riwayat Rasullullah enggan untuk menshalati jenazahnya.

Jihad dalam Islam

Dalam Islam, jihad memang menjadi pembahasan yang sangat rentan. Ulama-ulama Indonesia menghindari pembahasan mengenai itu. Gus Baha, pengasuh pondok pesantren di Narukan, Rembang, memberi alasan hal tersebut dilakukan untuk  menghindari kekeliruan penafsiran, yang berujung pada mudahnya menghalalkan darah manusia lainnya.

Dalam diskusi berbeda, Gus Baha menjelaskan kondisi saat ini berbeda dengan kondisi di zaman Rasulullah yang musuhnya sudah jelas kaum kafir Quraisy, yang dengan terang-terangan menolak dan menghina ajaran Islam. Sementara saat ini, sudah sangat susah menentukan musuh, sebab ukuran kebenaran sudah semakin kabur. “Apalagi jika yang memerangi dan yang diperangi sama-sama melafalkan takbir”.

Jika kita mendeskripsikan lebih jauh mengenai jihad dalam Islam, sebenarnya ia tidak sebatas pertumpahan darah, dan pertukaran nyawa. Ia secara harfiah bermakna bersungguh-sungguh. Sementara jihad fi sabilillah adalah kesungguhan dalam menempuh jalan Allah. Pekerjaan baik yang diniatkan karena Allah juga bisa disebut jihad.

Terdapat beberapa macam jihad dalam Islam. Dalam kitab Tuhfatut Tullab, KH. Ramzi menjelaskan kepada santrinya, bahwa ada 4 pembagian jihad dalam Islam, yakni, jihad memerangi orang kafir (fi al-kufr), memerangi hawa nafsu (fi an-nafs), mencari ilmu (li thalab al-‘ilm), dan dalam harta (fi al-mal).

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Orang tua kita bekerja dari pagi hingga sore, mengayuh sepeda untuk menjajakan dagangan dalam memenuhi nafkah keluarga, dan diniatkan atas nama Allah, ia disebut jihad bi al-mal. Atau, seorang anak yang putus sekolah hanya karena ia dibuli oleh teman sekelasnya, dan tidak mau belajar lagi. Ia berarti tidak berjihad, tidak sungguh-sungguh dalam jihad li thalab al’ilm.

Dalam konteks bernegara di Indonesia saat ini, Ketua PBNU, H Robikin Emhas—dikutip dari NU online—menyebutkan bahwa jihad bisa ditempuh dengan cara mewujudkan cita-cita nasional. Seperti mewujudkan perdamaian dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memakmurkan ekonomi warga serta menciptakan tata kehidupan yang adil dan beradab.

Islam Santun

Islam agama rahmatan lil ‘alamin, memberi kesejukan, kasih sayang terhadap seluruh alam. Islam sangat menghargai segala kehidupan. Tidak hanya manusia, tapi juga hewan, memperlakukan dengan layak. Dalam aturan penyembelihan, semisal, Islam mensyaratkan banyak hal agar hewan tidak tersakiti.

Nabi Muhammad saw. diutus bukan untuk semata menumpas kemungkaran, tapi untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Metode dakwahnya menggunakan pendekatan kasih sayang. Beliau sangat menghargai kehidupan. Beliau pernah dicaci maki, diludahi, bahkan disakiti dengan dilempari batu. Tapi beliau selalu menampakkan akhlak mulianya. Ketika salah seorang yang meludahi Nabi sakit, beliau mengunjunginya.

Riwayat lain, saat beliau wafat, Abu Bakar melanjutkan rutinitas beliau menyuapi kakek tua gelandangan yang buta. Sepanjang menyuapi Abu Bakar menangis lantaran kakek tua itu terus-menerus menghina Rasulullah. Hingga pada akhirnya kakek itu sadar, bahwa terdapat perbedaan pelayanan dari orang yang menyuapinya. Lalu, kakek itu menangis dan masuk Islam, setelah tahu bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah orang yang dihinanya, yang telah wafat.

Nabi sangat jarang menggunakan kekerasan. Bahkan, dalam perang pun beliau tidak pernah menganjurkan para sahabat untuk melakukan penyerangan terhadap kaum musyrikin. Dalam catatan Fathoni Ahmad, hampir tidak ada dalam kitab sejarah, bahwa Rasulullah menganjurkan sahabat untuk melakukan peperangan intensif. Peperangan yang dilakukan terjadi dilandaskan pada pembelaan atas hak kehidupan.

Dari 22 perang yang diikuti Nabi, yang disandarkan Fathoni pada Ibnu Katsir, hampir tidak ditemukan peperangan dalam bentuk kekuasaan. Sekalipun jihad fisik, yang banyak terjadi adalah peperangan dalam upaya mempertahankan kedaulatan atas hak hidup. Kaum kafir Quraisy takluk pada kekuatan Islam dengan jalan damai, mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan tanpa aliran darah. Peristiwa itu dikenang dengan Fathu Mekah.

Karena itu, aksi terorisme bertentangan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin. Memudahkan penghilangan nyawa dan aliran darah yang dilakukan dengan aksi teror dan bunuh diri, sangat jauh dari Islam. Memberi label jihad pada aksi keji itu hanya ‘menodai’ kesantunan Islam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru