Setiap orang menghendaki kehidupan yang harmonis dan damai. Sebab, pada dasarnya, perdamaian merupakan cita-cita ideal kemanusian. Setiap orang berharap bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain, hidup tenang dan damai, dan bisa merajut masa depan. Tidak seorang pun yang memimpikan hidup dalam suasana konflik yang mengoyak-ngoyak nilai-nilai kemanusiaan. Harapan-harapan inilah yang sama sekali tidak dirasakan oleh etnis Rohingya di Myanmar.
Sudah terlampau sekian purnama penduduk muslim Rohingya hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang mencekam. Mereka tinggal di suatu wilayah yang bernama Arakan, bagian dari Rahine di Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Rohai atau Roshangee, sebutan untuk penduduk Muslim Rohang atau Roshang sebelum dinamai Arakan, sejak tahun 1942 mengalami upaya pengusiran dari wilayah tempat tinggalnya.
Etnis Muslim Rohingya adalah penduduk yang tidak diakui status kewarganegaraannya. Menurut data dari Human Right Watch menyebut antara 2012 hingga 2014 kurang lebih ada 300 ribu warga muslim Rohingya terusir dari Myanmar. Tahun 2012, muncul gerakan Rohingnya Elimination Group yang didalangi oleh kelompok ekstrimis 969. Tak kurang dari 200 jiwa dan 140.000 warga Rohingya lainnya dipaksa tinggal di kamp-kamp yang tidak manusiawi.
Selama Agustus kemarin, kekerasan kembali pecah yang mengakibatkan jatuhnya korban pada muslim Rohingya. Tak kurang sekitar 18 ribu etnis yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh Myanmar harus mengungsi ke Bangladesh. Setidaknya, ribuan korban dibantai secara massal dan tidak manusiawi di tanah kelahirannya sendiri. Pemerintah Myanmar berdalih melakukan operasi militer setelah terjadi serangan oleh kelompok pemberontak ARSA (Tentara Pembebasan Arakan Rohingya) ke pos-pos tentara di Rakhine.
Melihat kondisi demikian, masyarakat dunia pun bereaksi keras dan mengutuk kekejian tersebut, termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengutus Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, untuk melakukan perjuangan diplomasi kepada Aung San Suu Kyi di Myanmar. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah Indonesia beberapa waktu yang lalu juga telah mengirim bantuan berupa logistik kepada korban, serta membawa kasus Rohingya di sidang umum PBB.
Namun, ironsinya, upaya pemerintah Indonesia dalam rangka memberikan uluran tangan kepada etnis muslim Rohingya tidak mendapat respon baik dari bangsa Indonesia sendiri. Kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan kebijakan pemerintah menilai, bantuan tersebut hanya bentuk pencitraan. Hal tersebut disampaikan oleh Prabowo saat berorasi dalam Aksi Bela Rohingya 169 di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (16/09/2017).
Seperti diketahui, Aksi Bela Rohingya 169 di Jakarta dimotori oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan diikuti oleh Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini dikenal sebagai organisasi garis keras dan cenderung ‘radikal’. Dalam aksinya, mereka menilai bahwa etnis Rohingya di Myanmar tidak membutuhkan bantuan apa pun, selain senjata untuk berperang. Bahkan mereka menginginka agara para anggota FPI dapat dilatih dan diberangkatkan berjihad ke Myanmar. Namun itu semua hanyalah sebatas impian utopis belaka. Seperti “tong kosong yang nyaring bunyinya”.
Terlepas dari ‘bentuk pencitraan’ dan Aksi Bela Rohingya 169, kasus pembantaian yang terjadi di Rohingya merupakan pelanggaran HAM berat. Spirit perjuangan pemerintah Indonesia upaya mewujudkan perdamaian di negara itu bisa dikatakan sebagai bentuk jihad kemanusiaan. Yakni jihad merawat nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai perdamaian, nilai-nilai persaudaraan dan kasih sayang sesama manusia, seperti diamanatkan oleh konstitusi republik Indonesia dan Pancasila.[AFF]