28.9 C
Jakarta

Jelang Natal, Masih Adakah Kelompok yang Dipersulit Menjalankan Ibadah?

Artikel Trending

KhazanahTelaahJelang Natal, Masih Adakah Kelompok yang Dipersulit Menjalankan Ibadah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Baru-baru ini, bupati Lebak, Iti Octavia disorot lantaran tanggapannya tentang perizinan warga Kecamatan Maja, Lebak, Banten yang meminta izin untuk menggelar ibadah Natal di Eco Club Citra Maja Raya. Menurut Iti, Umat Kristiani Maja justru diminta menjalankan ibadah natal di Kota Rangkasbitung dan melarang untuk beribadah di ruko yang belum mengantongi izin tempat ibadah.

“Di Maja itu kan belum berdiri gereja yang izinnya legal. Tadi disampaikan oleh pak camat akan ada kebaktian dan saya sampaikan bahwa hasil rapat sebelumnya kita akan mengizinkan beribadah di sana (ruko) tetapi kalau memang izin gerejanya sudah keluar. Jadi kalau izinnya, peruntukannya untuk ruko maka tidak diperbolehkan. Jadi silakan beribadah kami tidak menghalangi tapi beribadah di gereja-gereja yang sudah ada,” kata Iti kepada wartawan ditemui beberapa waktu lalu, Jumat (16/12/2022) dilansir dari Kompas.com.

Permintaan tersebut disampaikan karena di Ranagkasbitung, Iti akan hadir pada perayaan natal di tanggal 18 dan 25 Desember. Tidak hanya itu, keputusannya tersebut berdasarkan rapat Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), di mana semua elemen tidak akan menghalangi ibadah, akan tetapi sebuah tempat harus sesuai peruntukkannya. Ruko yang diminta oleh umat Kristiani adalah permukiman, sehingga tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah di tempat tersebut.

Seperti diketahui bahwa, jarak antara Maja ke Kota Rangkasbitung bisa ditempuh hampir 1 jam jika dilihat dari google maps. Artinya, butuh waktu yang agak panjang bagi umat Kristiani untuk menjalan ibadahnya. Padahal, selama ini, ketiadaan gereja di tempat tersebut, membuat para umat Kristiani menjalankan ibadah di rumah warga. Setidaknya ada dua komunitas jemaat di Kecamatan Maja yang ingin menggelar ibadah natal di Eco Club Citra Maja Raya. Total dari rumah di Perumahan Citra Maja Raya sebanyak 2.500, dan belum diketahui pasti data masyarakat muslim dan nonmuslimnya.

Polemik ini memicu ketidaknyamanan warga dengan aparat pemerintah yang diduga menghalangi ibadah agama para umat Kristiani di tempat ini. Namun, pernyataan bupati ini mengisyaratkan bahwa, ibadah harus dilaksanakan di gereja sebagai tempat ibadah, bukan ruko. Jika mengingat tahun 2019 silam, aksi tegas dari ratusan warga di tiga Desa Kecamatan Maja, menolak pembangunan Gereja di wilayah Perumahan Citra Maja Raya menjadi alarm kepada kita. Ketegasan tersebut dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para tokoh ulama setempat. Mayoritas umat muslim dari berbagai komunitas masyarakat di daerah ini, sudah secara tegas menolak pendirian gereja termasuk FKUB. Pertanyaannya adalah, bagaimana mau beribadah ke gereja, sedangkan upaya pembangunan gereja ditolak oleh masyarakat setempat? Bukankah ini adalah bukti nyata upaya mempersulit ibadah para warganya? Masihkah sikap semacam ini dianggap toleran?

BACA JUGA  Fenomena Domestifikasi Perempuan oleh Aktivis Khilafah

Kebebasan Beragama di Indonesia, Bagaimana Implementasinya?

Seperti kita ketahui bahwa, persoalan agama bagi masyarakat Indonesia, menduduki peran sentral terhadap perilaku sosial di dalamnya. Akan tetapi, persoalannya adalah ketika dibenturkan dengan agama lain, mampukah agama menjadi quality control masyarakat untuk memberikan kesempatan untuk memiliki kebebasan yang sama?

Persoalan ini adalah persoalan HAM yang harus dipahami bersama tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan pada masing-masing individu. Dalam sebuah negara, pemangku hak (rights holder) adalah individu, sedangkan pemangku kebijakan (duty bearer) adalah negara. Setidaknya, negara memiliki tiga kewajiban generic terkait HAM, di antaranya: menghormati, melindungi dan memenuhi. Kewajiban negara untuk menghormati HAM akan terlanggar jika negara melakukan tindakan (commission) terhadap sesuatu di mana seharusnya ia bersifat pasif atau menahan diri dari penikmatan hak akan dilakukan oleh individu.

Dalam kasus ini, konstitusi sudah menjamin ha katas kebeasan beragama atau berkeyakinan. Sikap pemerintah sebagai pemangku kebijakan adalah menemukan duduk perkaranya dengan memberikan porsi yang sama pada masing-masing umat beragama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Penolakan tegas untuk pembangunan rumah ibadah di daerah Maja adalah sebuah kuasa masyarakat sebagai mayoritas. Negara bertanggung jawab untuk menjadi penengah di antara keduanya dengan memberikan alarm pemahaman kepada masyarakat bahwa, pembangunan rumah ibadah adalah hak yang dipenuhi oleh setiap warga sesuai agamanya masing-masing. Dari sinilah toleransi dimulai dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan inklusifitas di sebuah kelompok masyarakat. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru