31.8 C
Jakarta

Jebakan Radikalisme di Internet: Bahaya Belajar Islam Secara Online

Artikel Trending

KhazanahPerspektifJebakan Radikalisme di Internet: Bahaya Belajar Islam Secara Online
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pada 26 Januari 2020, Netflix, sebuah platform internet penyedia jasa streaming film online merilis film dokumenter berjudul The Social Dilemma. Dokumenter tersebut memaparkan pengakuan sekaligus penyesalan mantan pegawai dari perusahaan raksasa teknologi saat ini: Google, Instagram, Facebook, Twitter, Reddit, Pinrest dan lainnya. Mereka menjelaskan bahwa strategi media sosial yang mereka rancang ditujukan untuk membuat penggunanya kecanduan.

Media sosial dirancang sedemikian menarik sehingga dapat membuat penggunanya dapat berjam-jam terus bermain media sosial. Fitur tombol “Suka” di Facebook, “Love” di Instagram, “Retweet” dan “Suka” di Twitter, dan belakangan ditambahkannya fitur “story” di semua platform media sosial tersebut tujuannya adalah untuk menarik pengguna semakin betah berlama-lama bermain media sosial.

Tak hanya itu, mereka juga merancang algoritma media sosial untuk merekomendasikan informasi pada beranda (timeline) pengguna sesuai apa yang banyak pengguna kunjungi. Dampaknya adalah, pengguna hanya akan mendapatkan informasi yang hanya pengguna sukai dan mendukung keyakinannya.

Sistem algoritma seperti ini merupakan bencana sosial jangka panjang bagi interaksi sosial kita. Pengguna akan mudah membenci kelompok lain karena setiap hari ia mendapatkan informasi di internet sesuai dengan preferensi ideologinya masing-masing.

Misalnya, pengguna yang sekali dua kali mengakses ceramah ustaz yang mempropagandakan kebencian, maka setiap hari pengguna akan mendapatkan rekomendasi konten yang berkaitan dan serupa dengan ceramah sang ustaz yang mempropagandakan kebencian tersebut.

Konten Islam Radikal di Internet

Sistem algoritma internet yang seperti ini dengan sadar dimanfaatkan oleh kalangan penganjur kebencian. Mereka membuat banyak konten tentang keislaman yang secara perlahan-lahan membuat para pengguna yang mengaksesnya menjadi berpikiran sempit dan intoleran.

Mereka membuat konten ajaran-ajaran Islam versi mereka di website, mereka menyebarkan narasi keislaman yang membenci lewat Facebook, mereka membuat propaganda politik melalui Twitter, mereka membuat gambar dan video pendek ajakan intoleransi melalui Instagram, dan mereka menyebarkan wacana keislaman yang ekstrem melalui Youtube.

Na’asnya, banyaknya konten keislaman yang membahayakan integrasi sosial ini berbarengan dengan tren besarnya jumlah kecenderungan orang belajar ajaran Islam melalui internet. Pengguna internet kita mencapai hampir 200 juta orang, dengan presentasi hampir 90 persennya adalah muslim. Dan mayoritas dari mereka menggunakan internet, salah satu tujuannya untuk belajar Islam.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Para pembelajar Islam di internet ini berjumpa dengan ajaran Islam yang menganjurkan kebencian yang bertebaran di internet. Sekali mereka kebetulan mengaksesnya, mereka akan terus mendapatkan rekomendasi konten dari algoritma dengan konten yang memiliki keterkaitan dengan yang mereka akses.

Singkatnya, sekali mereka terpapar dengan konten radikalisme, mereka akan terus-menerus mendapatkan konten yang sama setiap harinya. Secara Psikologis, orang akan terpengaruh dengan stimulus yang diberikan kepadanya secara simultan. Dalam tempo sekian bulan atau tahun, mereka akan memiliki pandangan keislaman yang ekstrem.

Menyulut Api Perpecahan

Adapun fakta besarnya akses internet terhadap konten intoleransi ini sejalan dengan penemuan ilmuwan data Sinan Aral, Sorosh Vosoughi dan Deb Roy di majalah bergengsi Science beberapa waktu lalu bahwa “berita palsu menyebar lebih cepat daripada berita yang kredibel.”

Konten narasi yang menganjurkan intoleransi dan kebencian seperti ini pernah menghancurkan demokrasi Amerika Serikat pada Pemilu 2016. Pada saat itu, konten hoaks di media sosial menjadikan masyarakat Amerika terbelah hingga akhirnya memenangkan Donald Trump sebagai presiden.

Situasi yang sama tampaknya sedang terjadi pada masyarakat kita. Konten keislaman yang intoleran menyulut sebagian Muslim kita membenci terhadap kelompok lain. Mereka menjadi mudah memusuhi sesama anak bangsa hanya lantaran memiliki pandangan yang berbeda dengan mereka.

Mereka menganggap kelompok lain sesat, mudah menganggap orang lain anti-Islam, mudah merasa kelompoknya dikriminalisasi dan merasa dirinya yang paling benar sendiri. Situasi perpecahan ini amatlah membahayakan bagi persatuan kebangsaan kita.

Situasi yang membahayakan ini berangkat dari tren banyaknya kaum Muslim belajar Islam dengan cara instan melalui internet. Ajaran Islam yang sebetulnya kompleks dan penuh kedamaian disimplifikasi di internet hingga akhirnya banyak menganjurkan kebencian dan perpecahan.

Kemudian, tren tersebut juga berbarengan dengan banyaknya konten keislaman yang radikal di internet. Dan ditambah lagi sistem algoritma yang membuat orang akan mendapatkan konten yang terus-menerus terkait apa yang pernah diakses sebelumnya.

Situasi ini tak lain adalah jebakan radikalisme. Sekali mengakses konten radikalisme, maka akan terjerumus selamanya. Maka dari itu, belajar Islam di internet amatlah mengkhawatirkan, apalagi bagi seorang pembelajar Islam pemula. Jika salah akses, maka jebakan radikalisme menanti.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru