32.1 C
Jakarta
spot_img

Jawaban untuk Shiddiq Al-Jawi Terkait Kewajiban Khilafah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifJawaban untuk Shiddiq Al-Jawi Terkait Kewajiban Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saya menemukan sebuah slide yang dibuat oleh salah satu tokoh HTI, Shiddiq Al-Jawi, yang membahas terkait khilafah. Terdapat lima argumen pokok yang dibahas dalam slide tersebut. Pertama, bahwa khilafah itu adalah suatu kewajiban menurut ijmak ulama dan tidak boleh ditolak dengan alasan apa pun sampai hari kiamat.

Kedua, kemudaratan yang timbul sebab upaya membangun khilafah tidak bisa digeneralisasi terhadap semua gerakan Islam yang memperjuangkan khilafah. Ketiga, jika kemudaratan dapat menjadi alasan untuk menolak suatu konsep, maka yang berhak ditolak adalah peradaban barat, bukan khilafah.

Keempat, kemudaratan yang timbul dalam pelaksanaan kewajiban syariat tidak dapat menggugurkan kewajiban tersebut. Kelima, konsep maqashidu asy-syari’ah tidak bisa dijadikan dasar untuk menolak khilafah. Demikian lima pokok argumen yang dikemukakan oleh Shiddiq Al-Jawi dalam dukungannya terhadap khilafah.

Dalam tulisan ini dan empat tulisan kami hanya akan menjawab argumen-argumen Shiddiq. Dan insyaallah pada tulisan keenam kami akan paparkan terkait khilafah dalam konteks negara Indonesia dan negara-negara bangsa lainnya.

Mari kita mulai dengan argumen yang pertama; bahwa khilafah itu adalah suatu kewajiban syariat menurut ijmak ulama. Salah satu dasar penguat argumen pertama ini adalah pendapat Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya terkait surah Al-Baqarah ayat 30:

وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة (…الأية)

“tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya aku menciptakan khalifah di bumi”.

Berikut redaksi kutipan Shiddiq terhadap pendapat Al-Qurthubi:

ولا خلاف في وجوب ذلك (أي الخلافة) بين الأمة ولا بين الأئمة (…إلخ)

“tidak ada perbedaan pendapat di antara para umat Islam dan para imam terkait kewajiban hal tersebut (khilafah).

Kesalahan Shiddiq adalah dalam memahami lafaz ذلك. Berikut redaksi asli Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya:

الرَّابِعَةُ- هَذِهِ الْآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتَجْتَمِعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتَنْفُذُ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيفَةِ. ‌وَلَا ‌خِلَافَ ‌فِي ‌وُجُوبِ ‌ذَلِكَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَلَا بَيْنَ الْأَئِمَّةِ (…إلخ)

“poin keempat: ayat ini (Al-Baqarah: 30) adalah dasar dari (kewajiban) mengangkat seorang pemimpin atau khalifah yang di dengar (pendapatnya) dan ditaati, agar tidak menimbulkan perpecahan dan keputusan pemimpin, dengan pengangkatan tersebut, dapat terlaksana. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dan imam terkait kewajiban mengangkat seorang pemimpin”.

Itulah redaksi lengkap pendapat Al-Qurthubi. Sejak awal kalimatnya terkait poin keempat Al-Qurthubi sama sekali tidak menyinggung terkait khilafah, lebih jelasnya beliau menyinggung terkait pengangkatan seorang pemimpin agar tidak terjadi perpecahan di antara umat Islam. Jadi, yang dimaksud Al-Qurthubi dalam lafaz ذلك adalah pengangkatan seorang pemimpin, bukan membangun negara khilafah. Itulah kesalahan pertama Shiddiq dalam argumennya yang pertama.

Betul memang bahwa pemimpin di sini, di satu sisi, mengarah pada pemimpin Islam. Hal itu bisa kita lihat dalam lanjutan pendapat Al-Qurthubi yang menyinggung soal ijmak para sahabat dalam mengangkat Abu Bakar sebagai imam (pemimpin) mereka. Juga bisa kita lihat penyinggungan Al-Qurthubi terhadap argumen yang menolak kewajiban mengangkat seorang imam; bahwa jika umat Islam sudah melaksanakan kewajiban syariat dan memberikan hak-hak kepada pemiliknya maka seorang imam sudah tidak butuh.

BACA JUGA  Ramadhan, Ulama, dan Perannya dalam Mencegah Radikalisasi

Kami akui itu; bahwa maksud Al-Qurthubi di sini adalah pemimpin Islam, bukan presiden untuk semua umat beragama. Namun, perlu dipahami bahwa pengangkatan seorang pemimpin dalam hal ini tidak identik dengan membangun negara khilafah, sebab maksud dari mengangkat seorang imam di sini adalah untuk menghindari adanya perpecahan dan adanya satu komando dari seorang pemimpin.

Dalam konteks Indonesia misalnya, komando keagamaan Islam sudah cukup terwakili oleh lembaga keagamaan independen, seperti MUI yang di sahkan dan diakui oleh presiden. Di sinilah komando keagamaan berlaku. Seorang presiden juga bisa kita katakan imam jika ia mengayomi umat Islam dalam menegakkan keagamaannya, sebab, sekali lagi, bahwa tujuan dari pengangkatan seorang imam adalah untuk menghindari perpecahan umat dan agar syariat Islam dapat terlaksana. Syariat yang mana di Indonesia yang tidak terlaksana?

Terdapat dua pendapat ulama yang kurang lebih arahnya sama dengan pendapat Al-Qurthubi; bahwa imamah itu hukumnya wajib, tepatnya Shiddiq mengutip pendapat Ibnu Hazm dan Abdurrahman Al-Jaziri. Meskipun dua ulama ini langsung menegaskan terkait wajibnya imamah dalam Islam, namun, sekali lagi, imamah itu tidak identik dengan membangun negara khilafah. Hal ini karena negara adalah sebuah wadah, sementara tujuan dari adanya negara adalah terlaksananya hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dikarakan oleh Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya, Fikih Tata Negara.

Maka dari itu, maka suatu negara dengan siapa pun pemimpinnya, jika syariat Islam bisa tegak, maka sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban imamah. Saya kira itulah inti argumen pertama Shiddiq; bahwa khilafah adalah kewajiban berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas.

Untuk selanjutnya, Shiddiq dalam slide-nya itu hanya menguatkan argumen sebelumnya; pertama, bahwa itu berlaku untuk semua umat Islam kapan pun dan di mana pun—mengutip Ibnu Asyur, meskipun perlu diketahui bahwa keumuman suatu dalil jarang sekali (bahkan mungkin mustahil) terlepas dari pengecualian; kedua, bahwa suatu kewajiban yang didasarkan Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan kias itu tetap hukumnya sampai hari kiamat; dan ketiga, bahwa kewajiban imamah itu didasarkan pada Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan kaidah syar’iyyah.

Namun, itu semua terbantahkan dengan argumen kami di atas bahwa negara adalah sebuah wadah atau perantara saja, sementara tujuan dari dibangunnya negara adalah terlaksananya syariat-syariat Islam. Dan bahwa kewajiban imamah itu tidak identik dengan kewajiban membangun negara khilafah, sebab tujuannya adalah untuk menghindari perpecahan antarumat. Hal tersebut cukup dengan adanya lembaga keagamaan yang memberikan komando kepada seluru umat Islam di suatu wilayah, seperti adanya MUI di negara Indonesia.

Ghufronullah
Ghufronullah
Mahasantri di Ma’had Aly Situbondo. Pemenang Juara I LKTI Nasional yang diselenggarakan BPIP, Juara Harapan Lomba Esai Jawi dan Esai Rumi yang diadakan oleh UTM Malaysia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru