31.4 C
Jakarta

Jangan Salahkan Pesantren Salaf! Salaf dan Salafi Itu Berbeda! (Jawaban untuk Khalilullah dan Saiful Bari)

Artikel Trending

KhazanahOpiniJangan Salahkan Pesantren Salaf! Salaf dan Salafi Itu Berbeda! (Jawaban untuk Khalilullah...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah membaca tulisan saudara Saiful Bari yang berusaha menengahi pandangan saya dan saudara Khalilullah tentang pesantren salaf, saya tertarik untuk menelusuri tentang ketiga pesantren yang disebutkan Saiful sebagai contoh pesantren salaf yang berpandangan radikal dan mengajarkan Islam yang kaku. Satu di antara ketiga pesantren yang disebutkan, saya ragu untuk menyebutnya sebagai bagian dari pesantren yang berpaham radikal.

Dari penelusuran yang saya lakukan belum ditemukan keterangan yang jelas bahwa Aman Abdurrahman adalah alumni dari Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, entah karena sudah diblokir oleh pihak yang berkepentingan atau Aman memang bukan alumni pesantren dimaksud. Keraguan saya semakin kokoh setelah membaca sejarah berdiri, visi dan tujuan dari pondok pesantren Darussalam Ciamis yang termuat di Website resmi lembaga tersebut.

Pondok Pesantren Darussalam Ciamis adalah salah satu dari sekian pesantren salaf yang sudah mulai berimigrasi menjadi pesantren salaf modern. Dalam istilah kementerian agama, itu disebut pesantren kombinasi. Salah satu tujuan berdirinya adalah membentuk santri yang berjiwa islami, berwawasan kebangsaan dan berkepribadian yang utuh. Memang tidak dijelaskan bagaimana maksud dari tujuan ini secara lebih jelas dan konkret.

Kemungkinan Aman memulai aham radikalnya sejak menempuh pendidikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Disebutkan bahwa ia lulus dari LIPIA dengan predikat mumtaz atau cumlaude. Ia juga disebut telah menghafal Al-Qur’an dan mengenal beberapa kitab fikih dan terjemahannya. Namun hasil akhirnya ia tetaplah santri yang gagal memahami islam dan materi-materi keislaman dan kebangsaan yang diajarkan pesantrennya dengan baik. Kegagalannya adalah karena dirinya bukan karena lembaga tempat ia belajar.

Cerita Aman dan pesantrennya tidak dapat menjadi alasan untk menyebut pesantren salaf melahirkan generasi radikal atau menjadi sumber paham radikal. Terlebih realitanya setiap lembaga pendidikan melahirkan berbagai macam jenis lulusan ada yang baik dan buruk pula. Jika buruk bukan lantas lembaganya yang keliru akan tetapi seharusnya santrinya lah yang keliru.

Banyak contoh santri yang tidak sejalan dengan almamaternya, semisal Khalil yang banyak menulis dan memperlihatkan pandangan tentang keislaman yang mungkin berbeda dengan pandangan almamater pondok pesantren salaf tempat ia menimba ilmu dulu: Annuqayah.

Baru-baru ini tulisan Khalil juga kembali hadir menjawab kritik saya terhadap tulisannya beberapa waktu lalu. Di tulisan barunya, ia kembali mengutarakan berbagai pandangan yang cukup nampak sikap ketidakmoderatannya dan pandangan buramnya terhadap pesantren salaf. Ia menyebut pesantren salaf belum pernah mengajarkan tentang kebangsaan. Benarkah demikian? Tentu jawabannya: tidak!

Namun karena Khalil kurang lama mondoknya, atau saat di pondok hanya belajar atana’ (memasak nasi—urusan perut) saja, maka ia tidak sadar bahwa banyak pendidikan tentang berbangsa dan bernegara telah diajarkan guru-gurunya. Karena memang materi kebangsaan yang diajarkan hanya rambu-rambu secara umum. Diajarkan secara umum agar para santri tidak memiliki sikap fanatik, sebab semakin khusus materi yang diajarkan maka akan semakin fanatik pemahaman yang didapat.

Di antara yang diajarkan pesantren salaf tentang cara berbangsa adalah kewajiban untuk menaati dan tidak memberontak kepada pemimpin yang sah. Walaupun pemimpin itu sedang berbuat zalim, di pesantren diajarkan pentingnya ukhwah islamiyah, ukhuwah insaniyah dan ukhuwah wathaniyah. Bahkan, materi ukhuwah tersebut dipraktikkan langsung dalam kehidupan sehari-hari para santri.

Mereka senantiasa saling berbagi dengan sesama baik dalam kesusahan maupun kesenangan, menghormati yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda. Diajarkan pula untuk selalu bersikap adil dalam setiap hal, terlebih ketika menjadi seorang pemimpin dan masih banyak lagi materi pelajaran di pesantren salaf yang mengajarkan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Falyataammal!

Berikutnya Khalil kembali menyebutkan santri salaf tidak mampu menggunakan ilmu mantiq yang dipelajari pada tempat yang tepat sehingga menimbulkan sifat ekstrem dan radikal. Perlu Khalil ketahui bahwa belajar filsafat tanpa belajar logika yang benar juga dapat menimbulkan kecacatan pola pikir, seperti pola pikir saudara khalil. Berikut salah satu kesimpulan yang dibuat khalil dalam tulisannya:

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Islam santri salaf hanyalah Islam yang fanatik. Sikap fanatik ini akan mengantarkan seseorang menjadi tertutup. Pikiran yang tertutup akan membentuk sikap yang ekstrem (keras). Dan, sikap yang ekstrem ini akan menjelma menjadi aksi-aksi terorisme. Ngeri.

Pada bagian ini Khalil nampak yakin sekali, bahwa santri salaf akan bersikap ekstrem dan akhirnya akan menjelma menjadi aksi-aksi teror karena menurutnya Islam santri salaf adalah Islam yang fanatik. Padahal dalam ilmu logika diajarkan bahwa kesimpulan (natijah) yang benar dihasilkan jika term pertama (minor term atau muqaddimah sughra) adalah sebuah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan realita yang ada. Di sini muqaddimah sughra yang diungkapkan Khalil adalah sebuah kesalahan karena bertentangan dengan fakta dan realita yang ada, yaitu santri salaf bukanlah santri yang fanatik sebagaimana dituduhkan Khalil.

Khalil perlu paham, karena ia memang tidak paham, bahwa mendewakan satu tokoh yang menjadi panutannya juga menimbulkan kecelakaan berpikir. Semisal yang dilakukan Khalil terlalu mendewakan Prof. Quraish Shihab sehingga nampak ia menafikan beberapa kesalahan pendapat Prof Quraish, yaitu pendapat tentang hijab. Berhijab memang tidak wajib bagi seorang Muslimah, namun yang wajib adalah menutup aurat. Entah jika saudara Khalil berpendapat berbeda dan menafikan kebenaran ayat dan hadis tentang kewajiban menutup aurat bagi seorang Muslimah.

Banyak kerancuan ditemukan di dalam tulisannya. Saya cukup kagum dengan paragraf terakhir tulisannya yang mengutip kisah antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, kisah pertikaian intelektual dua tokoh Muslim ini sudah saya kenal sejak duduk kelas XI Madrasah Aliyah. Saya mengenal kedua tokoh ini saat bertukar pikiran di lembaga otonom baru yang baru berdiri di pesantren tempat saya belajar, Logika dan Ushul Fikih (LOGIS), nama lembaga tersebut.

Satu otonom yang didirikan untuk membuka peluang bagi para santri untuk fokus belajar berpikir logis dan dapat membuka peluang menetapkan hukum dari permasalahan kekinian di tengah masyarakat dan belum terbahas oleh ulama terdahulu. Selain di Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah (M2KD), banyak buku dari kedua tokoh ini sering dikutip sebagai referensi saat kami mengikuti kegiatan musyawarah (diskusi), seperti Ihya’ milik Al-Ghazali dan Bidayatul Mujtahid milik Ibnu Rusyd.

Selanjutnya tentang dua pesantren lain yang disebutkan oleh Saiful. Saya masih ragu untuk menyebut kedua pesantren tersebut sebagai pesantren salaf. Kedua pesantren tersebut memiliki keterkaitan yang erat, dari sejarah berdirinya kedua pesantren tersebut yang dijelaskan di blog atau website resmi mereka. Sudah cukup nampak bahwa keduanya tidak mencirikan sebagai pesantren salaf. Pesantren Ngruki didirikan oleh sekelompok orang beberapa tahun setelah tragedi 65, berdiri resmi pada tahun 1972 yang diketuai oleh Abu Bakar Baasyir.

Pesantren Tenggulun sendiri memang berdiri pertama kali pada tahun 1902, namun setelah sekian tahun pesantren tersebut sempat vakum karena kekosongan kepemimpinan dan sejak tahun 1965 pesantren tersebut resmi kosong ditinggalkan santrinya. Hingga pada tahun 1992, Pesantren Tenggulun kembali bangkit dibawah kepemimpinan Saefuddin Zuhri, alumni dari Pesantren Ngruki.

Dari sini nampak jelas bahwa setidaknya kedua pesantren ini berdiri sejak pertengahan 90-an oleh orang-orang yang belum jelas sanad keilmuannya. Berbeda dengan pesantren salaf lainnya yang berdiri sejak sebelum kemerdekaan dan ikut berjuang melawan penjajahan Belanda.

Kedua pesantren tersebut belum pernah merasakan perjuangan melawan penjajah Belanda, sehingga tidak heran jika tidak mengerti betapa pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kemajuan dan keberlangsungan hidup umat Muslim. Sehingga, menurut pendapat saya, kedua pesantren tersebut bukanlah bagian dari pesantren salaf. Terserah mau dikategorikan sebagai pesantren apa: mungkin pesantren Wahabi atau Salafi. Falyataammal!

Wallahu  A’lam bi ash-Shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Mahasiswa Jurusan Studi Islam, Pascasarjana UIN Khas Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru