25.7 C
Jakarta

Jangan Bandingkan Habib Rizieq dengan Benny Wenda!

Artikel Trending

Milenial IslamJangan Bandingkan Habib Rizieq dengan Benny Wenda!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tagar #JokowiTurun bergema di jagat Twitter, berisi tentang cuitan netizen yang mengolok-olok Presiden Jokowi sebagai presiden gagal yang, karenanya, harus turun. Gara-garanya begini: Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyatakan berpisah dari Indonesia, dan Benny Wenda menjadi presiden sementara. Pada saat yang sama, pemerintah dianggap terlalu fokus tangani Habib Rizieq. Ia, oleh sementara orang, dibandingkan dengan Benny Wenda, katanya, pergerakannya tidak bahaya apa-apa.

Ada kesalahkaprahan di kalangan para pendukung Habib Rizieq, yang boleh jadi, pentig sekali untuk kita luruskan. Mereka terburu-buru membandingkan Sang Imam Besar dengan politikus separatis Papua. Lagi pula, klaim kemerdekaan Benny Wenda, pimpinan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) itu, faktanya dibuat secara sepihak. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) justru menolak klaim tersebut.

TPNPB-OPM, yang selama ini gencar ingin berpisah dari NKRI, mengaku menolak Benny Wenda sebagai presiden sementara Negara Republik Papua Barat (NRPB) sebab kecacatatan deklarasi itu sendiri: dilakukan orang yang berkewarganegaraan Inggris, juga di luar wilayah hukum. “Klaim Benny Wenda sebagai presiden sementara Negara Republik Papua Barat adalah kegagalan ULMWP dan Benny Wenda ITU sendiri,” demikian keterangan TPNPB-OPM, dilansir Detik, Rabu (2/12) kemarin.

TPNPB-OPM juga menilai, langkah Benny Wenda tak masuk akal, lalu mosi tidak percaya pun dibuat. “Mulai hari Rabu, tanggal 2 Desember 2020, kami dari Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB-OPM mengumumkan mosi tidak percaya kepada Benny Wenda, karena jelas-jelas Benny Wenda merusak persatuan dalam perjuangan bangsa Papua dan diketahui bahwa Benny Wenda kerja kepentingan kapitalis asing Uni Eropa, Amerika, dan Australia. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip revolusi untuk kemerdekaan bagi bangsa Papua,” tambahnya.

Berbeda dengan kasus Benny Wenda yang merupakan separatisme, polemik seputar Habib Rizieq sama sekali tidak ada tanda ke arah itu. Jika pemerintah memanggilnya untuk diperiksa, itu bukanlah wujud kriminalisasi, melainkan kasus personal Sang Imam itu sendiri. Apakah lantaran di Papua ada gejolak disintegrasi, kasus Habib Rizieq harus dibiarkan begitu saja? Tentu, itu anggapan yang keliru.

Radikalisme dan Separatisme

Secara garis besar, masalah di negeri ini, yang rentan menciptakan perpecahan, itu ada dua: radikalisme yang merupakan personifikasi respons agama terhadap realitas, serta separatisme ketika ternyata realitas tidak berhasil memuaskan spirit nasionalisme. Radikalisme dan separatisme di sini berbeda dalam hal motif pendorong dan tuntutannya, meski tindakan separatis sejujurnya juga termasuk tindakan radikal. Orientasinya sama: memecah, tetapi akibatnya tidak identik, bahkan berbeda.

Masalah Habib Rizieq, dalam konteks narasi NKRI Bersyariah, bila ingin mengubah sistem, menjadi lebih tauhid misalnya, bisa digolongkan sebagai masalah radikalisme. Ini barangkali tidak disetujui sementara kalangan, tetapi faktanya memang demikian. NKRI Bersyariah itu dibangun di atas anggapan bahwa NKRI kita hari ini, tidak dilandaskan syariat secara sempurna, dan karenanya butuh penyempurnaan. Gerakan Habib Rizieq selama ini, lumrah diketahui, bertendensi ke arah radikalisme, bukan separatisme.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Orientasi radikalisme adalah bergerak di, dan ke, dalam negeri. Habib Rizieq tidak ingin keluar dari NKRI, melainkan ingin memperbaiki tatanan internal pemerintahan yang dianggapnya tak lagi dalam khitah syariat. Semetara Benny Wenda tergolong separatis karena ia bergerak di, dan ke, luar negeri. Ia bukan ingin memperbaiki sistem internal, melainkan menciptakan system baru yang diproyeksikan lebih baik dan bisa membawa pada kejayaan.

Lalu mana yang lebih berbahaya dan perlu didahulukan penanganannya?  Jawabannya adalah: keduanya. Baik radikalisme maupun separatisme, itu sama-sama menghadirkan perpecahan. Dan dalam konteks menjaga integrasi NKRI, keduanya mesti ditangani secara bersamaan dan proporsional. Baik kasus separatisme maupun radikalisme tidak ada yang lebih ringan, dan pelakunya adalah setara dalam hal ‘memantik lahirnya perpecahan’.

Bangga dengan disintegrasi Papua hanya karena membenci Jokowi itu adalah sikap tidak patriotik. Jika Habib Rizieq terjerat suatu kasus dan mendapat panggilan pemeriksaan, Negara memiliki hak untuk melakukannya. Membela kriminalitas sebab perbedaan pilihat politik, sembari membandingkannya dengan separatisme Papua, selain provokatif, juga menumbuh-suburkan radikalisme dan separatisme itu sendiri. Lebih-lebih itu dilakukan oleh tokoh publik. Sangat disayangkan.

Benny Wenda dan Habib Rizieq

Muhammad Said, Peneliti Institute of Southeast Asian Islam UIN Sunan Kalijaga, dalam opininya di Tempo berjudul “Rizieq dan Islam Politik” mengatakan, Habib Rizieq merupakan aktor oposisi ekstra-parlementer yang paling moncer dalam jagat politik Indonesia hari-hari ini. Kelengkapan predikat Sang Imam Besar di kalangan pengikutnya turut andil bukan saja dalam melanggengkan sepak terjang politiknya, melainkan mengebalkan Habib Rizieq dari segala bidikan terhadapnya.

Pada saat bersamaan, Benny Wenda adalah seorang politikus, yang memanfaatkan momentum Hari Jadi OPM 1 Desember untuk kepentingannya sendiri—menguasai Papua, menjadi presiden di sana. Ia juga tidak akan pernah sama dengan Habib Rizieq bukan karena orientasi pergerakannya, melainkan pengaruhnya di masyarakat. Karenanya, keduanya tidak mungkin bisa dibandingkan. Benny punya kasusnya sendiri, begitu pun dengan Habib Rizieq.

Benny Wenda memang masalah bagi NKRI dengan gerakan separatisnya, tetapi menegasikan kasus Habib Rizieq dan menganggapnya tidak berbahaya hanya karena ia tidak separatis, adalah kesalahan. Faktanya, Habib Rizieq dianggap riskan bukan karena separatisme, melainkan radikalisme: dirinya ingin merombak sistem pemerintahan, merebut kekuasaan, dan bukan hanya Revolusi Akhlak semata. Islam politik yang digaungkan Habib Rizieq adalah sama politisnya dengan manuver politik Benny Wenda.

Hanya saja, seperti diuraikan tadi, pergerakan keduanya memang berada di ranah yang tidak sama. Tidak sama, dan bukan berarti tidak bahaya. Radikalisme dan separatisme sama-sama berbahaya untuk Indonesia. Maka, adalah salah kaprah jika sikap sementara kita mengolok-olok pemerintah lantaran mereka menindak Habib Rizieq. Baik ia maupun Benny Wenda adalah persoalan serius, yang penanganannya harus sama-sama berjalan. Tidak ada keberpihakan pada salah satunya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru