29 C
Jakarta
Array

Jalan Indah Ahlus Sunah wal Jamaah

Artikel Trending

Jalan Indah Ahlus Sunah wal Jamaah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Konsep bernegara bagi Ahlus sunah tidaklah kaku. Asalkan nilai keadilan, kemaslahatan, sosial kemasyarakatan bisa diperjuangkan itu sudah cukup. Tentu  menjadi penyelenggara negara -bagi Ahlus sunah- dituntut untuk mengayomi dan melindungi seluruh hak warga negaranya. Tanpa memandang suku dan agama.

Dahulu di zaman pemerintahan Umar bin al-Khaththab tersebutlah seorang Yahudi (baca: non-Muslim) yang menjadi bagian dari rakyatnya. Sebagai warga negara ia sudah lama mematuhi kewajibannya bagi pemerintahan salah satunya adalah dengan membayar pajak (jizyah) dari hasil ia bekerja. Namun saat usianya sudah lanjut, ia tidak mampu lagi bekerja. Sehingga ia tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membayar pajak negara. Alhasil ia memutuskan untuk mengemis agar dapat menjalankan kewajibannya membayar pajak. Setelah Umar bin al-Khaththab mengetahui hal itu, beliau langsung menginstruksikan agar ia terbebas dari pajak negara dan kehidupannya dibiayai oleh baitul mal (baca: negara). Sebab salah satu tugas pemerintahan adalah bisa memperkuat yang lemah bukan memperlemah yang kuat. Sejatinya kebijakan hukum pemerintahan itu merata bagi seluruh warga negara (istilah Al-Quran-nya adalah baynan nas).

Dalam menjalankan tugas negara, Ahlus sunah wal Jamaah mempunyai trilogi manhaj yaitu: ilmu, dakwah dan tazkiyah (penyucian jiwa dan akhlak). Tanpa ketiga manhaj itu akan hilang empat sifat yang melekat dalam sosok seorang nabi yaitu: Shidq (jujur), amanah, tabligh (sosialisasi), dan fathanah (kecerdasan). Keempat sifat inilah yang harus diwarisi oleh dua golongan yang perannya sangat vital dalam sebuah negara yakni: ulama dan umara.

Dalam kaitannya beragama dalam bernegara bagi Ahlus Sunah tidak diperkenankan untuk memaksakan bagi yang berbeda keyakinan. Saat memimpin, dulu Umar bin al-Khaththab memiliki seorang ajudan non-Muslim. Sebenarnya Umat bin al-Khaththab sangat berharap dan sering merayunya untuk memeluk agama Islam. Meski demikian Umar bin al-Khaththab tidak mau memaksanya. Karena sang ajudan tidak berkenan. Itulah dakwah santun Ahlus sunah. Dakwah tetap dijalankan tanpa mengabaikan kebebasan sesama untuk menentukan pilihan.

Dalam sejarahnya, Ahlus sunah yang hakiki tidak pernah memantik pergolakan dan pemberontakan dalam sebuah negara atau pemerintahan. Seringkali konflik pemerintahan terjadi dari kalangan Rafidhah dan Khawarij. Tercatat sepanjang pemerintahan seperti Yazid bin Muawiyah ataupun khalifah yang lain yang dinilai bertindak semena-mena (jika tidak mau menyebutnya zalim), tidak ditemukan para salaf yang melakukan pemberontakan baik itu al-Hasan al-Bashri, Ali Zainal Abidin hingga zaman Malik bin Anas, al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Mereka yang menjadi panutan Ahlus sunah tersebut tidak pernah memberontak atau pun melawan selagi pemerintahan tidak melakukan kekufuran secara nyata dan terang-terangan. Sikap dan tindakan panutan Ahlus sunah di atas didasarkan pada tiga manhaj yang telah disebutkan di atas yakni atas dasar ilmu, dakwah dan tazkiyah (penyucian jiwa dan akhlak).

Lalu karakteristik Ahlus sunah yang hakiki ada empat hal. Pertama, jumlahnya mayoritas (baca: al-sawad al-a’zham). Kedua, memiliki sifat rahmah (kasih sayang dan santun) serta akhlak-akhlak mulia. Ketiga, tidak mudah mengkafirkan sesama Muslim. Keempat, manhaj yang diikuti oleh mayoritas Ahlu Bait Nabi saw (baca: habaib).

Disadur dari uraian al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dalam acara Halaqah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh PWNU Jawa Barat bekerjasama dengan Pemprov Jawa Barat pada tanggal 9 Oktober 2018 di hotel Aryaduta Bandung.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru