33 C
Jakarta
Array

Îtsâr: Kisah Teladan Para Sahabat Anshar

Artikel Trending

Îtsâr: Kisah Teladan Para Sahabat Anshar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dikisahkan pada zaman Nabi saw tersebutlah seorang sahabat yang berpuasa. Ia termasuk orang tidak mampu. Hanya air putih yang dimilikinya untuk berbuka puasa. Keesokan harinya ia pun puasa kembali dan berbuka seperti hari pertama ia puasa. Di hari ketiga ia kembali berpuasa. Sudah tiga hari perutnya hanya terisi air saja. Ia mulai merasakan rasa lapar yang sangat dahsyat. Ia sudah tidak tahan lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Rasulullah saw mengadukan keadaannya yang sangat terbatas yang membuatnya belum menelan makanan sejak tiga hari. Rasulullah saw pun menawari para sahabat dari kalangan Anshar yang bersedia untuk menjamu orang tersebut di rumahnya. Berdirilah satu di antara mereka dengan sigap dan siap menjamu orang yang kelaparan tadi. Ironisnya setiba di rumah, sang isteri memberi tahu bahwa logistik makanannya habis. Hanya tersisa makanan untuk putera kecilnya. Kemantapan niat baik sang tuan rumah tidak bisa dihalangi oleh keadaan. Sang isteri pun diminta untuk menidurkan sang anak lebih cepat dari biasanya. Makanan sang anak pun disiapkan untuk tamu spesial malam itu. Isteri juga diminta untuk mematikan lampu templok rumahnya agar sang tamu bisa makan lebih lahap tanpa mengetahui sang tuan rumah yang pura-pura menyantap hidangan bersamanya. Sang tamu yang kelaparan pun akhirnya bisa kenyang karena kedermawanan sang tuan rumah. Keesokan harinya Rasulullah saw mendengar cerita tersebut dan mengatakan bahwa Allah swt dan para malaikat kagum dengan apa yang diperbuat oleh sahabat Anshar yang menjadi tuan rumah tersebut.

Berangkat dari kisah di atas turunlah QS al-Hasyr [59]: 9, sebuah ayat yang memuji perlakuan para sahabat Anshar terhadap sahabat Muhajirin.

            Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat di atas dilatarbelakangi oleh kisah teladan lainnya. Seorang sahabat Nabi saw memberikan hadiah kepada saudaranya berupa kepala kambing. Namun yang menerima menjawab, saudara kami yang lain dan keluarganya lebih butuh dibanding kami. Akhirnya kepala kambing itu dikirim ke yang lainnya. Diterimalah hadiah tersebut. Akan tetapi bukannya dimanfaatkan malah diberikan ke saudara lainnya. Terus saling beri terjadi di antara para sahabat. Hingga kepala kambing itu bolak-balik ke tujuh rumah yang berbeda. Pada akhirnya kepala kambing kembali pada pemberi pertama.

Kisah senada juga dialami oleh Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Muhajirin yang hijrah hanya membawa badan dan pakaian yang ia kenakan saja. Harta, isteri dan yang ia miliki ia tinggalkan di Mekah. Sahabat Anshar yang bernama Amir bin al-Rabi’-lah yang berniat memberikannya separuh hartanya dan satu isterinya (baca: beliau mempunyai dua isteri). Sebab Amir memandang kebutuhan Abdurrahman bin Auf sangatlah perlu untuk dibantu. Padahal mereka berdua tidak mempunyai hubungan darah. Hanya persaudaraan seiman-lah yang mengikat mereka berdua.

Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan yang dibina Nabi saw antara kaum Muhajirin dan Anshar sangatlah kuat. Hingga mereka berslogan kebahagianmu adalah kebahagianku. Kebutuhanmu adalah tanggunganku. Mereka tidak mengenal egoisme. Apalagi yang namanya iri dan dengki. Sehingga terjalin kerukunan dan keharmonisan di kota Madinah saat itu.

Dari sinilah muncul konsep îtsar yakni mementingkan orang lain dari pada diri sendiri. Sikap îtsar sangatlah dipuji oleh Islam. Namun perlu dicatat mementingkan, mendahulukan dan mengutamakan orang lain di sini dalam hal di luar ibadah. Sebut saja seperti kebutuhan primer manusia; sandang, pangan dan papan. Akan tetapi jika mementingkan orang lain dalam hal ibadah, maka itu oleh ulama dinilai bukan sebagai amal kebajikan namun menjadi suatu ke-makruh-an. Al-Îtsâr fî al-Qurb Makrûh, demikian kaedah fikih yang sering didengungkan oleh para fukaha.

Alangkah indahnya hidup saling memberi, menghormati, mengasihi, yang didasari tanpa sikap keegoisan dan iri dengki. Semoga tertanam dalam diri kita untuk sikap îtsar. Amin [Ali Fitriana]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru