28.9 C
Jakarta
spot_img

Isra Mi’raj: Islam sebagai Rahmat

Artikel Trending

KhazanahResonansiIsra Mi’raj: Islam sebagai Rahmat
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di antara fenomena sosial yang hingga kini mewarnai dunia adalah kekerasan sebagai jalan yang ditempuh. Lihat saja perang di Ukraina, Palestina, Yaman, dan Suriah yang masih berlangsung hingga hari ini. Di Indonesia, bisa dilihat dari konflik sosial yang pernah terjadi. Di antaranya Kerusuhan Mei 1998, Konflik Ambon (1999), Kerusuhan Poso (1998-2001), Tragedi Sampit (2001), dan Bentrok Sampang (2012) antara kelompok Sunni dan Syiah. Tentu saja juga kekerasan oleh oknum peserta didik dan tawuran antarwarga. Fenomena ini bertentangan dengan nilai dalam Isra Mi’raj yang sudah diperingati minggu lalu, 27 Januari 2025, karena di antara nilai dalam Isra Mi’raj adalah kehadiran Islam dan Nabi Muhammad sebagai rahmat sesuai QS. Al-Anbiya/21: 107.

Islam sebagai Rahmat

Peristiwa Isra Mi’raj dalam sejarah Islam, kalau ditarik ke empat tahun sebelumnya, berawal dari masuk Islamnya Hamzah, paman Nabi Muhammad, dan Umar bin Khattab. Kemampuan militer keduanya sebanding dengan Abu Jahal, penguasa elite Makkah yang kafir pagan. Ini membuat masyarakat Quraisy Makkah semakin marah dan menghukum Bani Hasyim, suku pelindung Nabi, dengan pemboikotan/pengasingan. Bani Hasyim beserta Nabi terusir dari rumah dan kampung tempat tinggalnya. Yang paling memberatkannya adalah pemutusan hubungan jual beli, karena itu berarti memutus suplai makanan dan minuman.

Namun, seolah penderitaan Nabi tiada henti-hentinya. Dipengaruhi antara lain oleh faktor pemboikotan yang berlangsung selama tiga tahun itu, Nabi kehilangan Abu Thalib, paman pelindung utamanya, karena meninggal dalam usia 87 tahun. Tiga hari selanjutnya, istri Nabi, Khadijah, meninggal dunia dalam usia 65 tahun menyusul kepergian pamannya. Tahun ke-10 kenabian ini pun dinamakan Tahun Kesedihan.

Sepeninggal keduanya, elite dan masyarakat Quraisy yang pagan tidak segan lagi untuk menghancurkan Nabi dan pengikutnya. Nabi pun berdakwah ke Thaif, daerah luar kota, tempat kerabat Nabi dari pihak ibu, 65 km di tenggara Makkah. Di Thaif, ternyata dakwah Nabi mendapat respons lebih buruk lagi. Nabi bukan hanya mendapatkan hinaan, melainkan juga dilempari. Bagian kepala dan badan Nabi pun terluka. Meski begitu, saat ditawari oleh Malaikat Jibril agar mereka dilempari dengan suatu bukit untuk meremukkan Thaif, Nabi melarangnya. Saat darah masih mengalir di wajahnya, Nabi berdoa:

“Ya Allah, berilah mereka hidayah, karena mereka orang-orang yang tak tahu (Islam)” (HR. al-Baihaqi).

Dalam salah satu doa yang dipanjatkannya juga:

“Selama Engkau tak murka kepadaku, maka aku tak peduli.”

Nabi tampak tidak kehilangan optimisme dalam berdakwah, karena Nabi berharap, paling tidak keturunan masyarakat Thaif suatu waktu dapat memeluk Islam. Nabi menyadari dirinya sebagai rasul yang bertugas hanya memberi peringatan saja, bukan yang berkuasa atas masyarakat yang didakwahinya (QS. Ar-Ra’d/13: 7). Karena itu, dalam Islam, agama tak boleh dipaksakan untuk dianut orang lain (QS. Al-Baqarah/2: 257).

Sikap Nabi Muhammad saat memperoleh penolakan di Thaif di atas merupakan lanjutan dari sikap para nabi sebelumnya, seperti sikap Nabi Yusuf yang memaafkan saudara-saudaranya yang jahat (QS. Yusuf/12: 92). Juga sikap/ajaran Nabi Isa dengan golden rule-nya yang menolak kekerasan dengan kekerasan, karena akan melahirkan kekerasan baru setelahnya. Sabda Nabi Isa yang terkenal:

“Jika engkau ditampar pipi kanan, berilah pipi kirimu.”

Juga sikapnya yang penyabar/pemaaf sebagaimana sikap sabar yang ditampakkan oleh para Nabi Ulul Azmi (yang memiliki tekad dan kesabaran yang tinggi) sebelumnya, sesuai QS. Al-Ahqaf/46: 35. Tentu saja juga sesuai hadis Nabi Muhammad sendiri yang dikenal dengan ajaran ihsân, yaitu berbuat baik terhadap orang jahat/buruk.

Sikapnya yang pemaaf dan penuh kasih/rahmat saat di Thaif itu ternyata juga bukan satu-satunya. Dalam Matsnawi karya Rumi, dikisahkan hal yang hampir sama. Ada seorang pagan Quraisy mengunjungi rumah Nabi saat masih di Makkah. Lalu ia makan dengan “tujuh perut” (sekenyang-kenyangnya). Karena kekenyangan, ia buang air besar di atas kain linen baju Nabi. Sebelum fajar tiba, ia menyelinap keluar rumah Nabi sebelum Nabi bangun. Saat harus kembali ke rumah Nabi untuk mencari azimatnya yang tertinggal, ia melihat Nabi sedang mencuci baju kotor akibat ia buang air dengan tangan Nabi sendiri. Orang itu pun kemudian menjadi Muslim.

BACA JUGA  Surah Al-Maidah [5]: 49 Dalil Wajibnya Khilafah, Benarkah?

Maka, salah satu nama Nabi adalah Nabiy al-rahmah (Nabi kasih sayang). Nabi bahkan pernah memotong lengan bajunya karena tidak ingin mengganggu kucing yang sedang tidur di lengan bajunya itu. Salah seekor kucing bahkan melahirkan di atas pakaiannya. Dalam salah satu hadisnya disebut: “Mencintai kucing adalah sebagian dari iman.” Dalam hadis Nabi yang lain bahkan disebut juga:

“Semua makhluk Allah adalah keluarga-Nya. Maka, makhluk (manusia) yang paling dicintai Allah adalah yang paling berbuat baik terhadap keluarga-Nya itu.”

Sikap Nabi yang pemaaf dan penuh kasih di atas membuat Nabi diganjar pada tahun ke-10 kenabiannya dengan memperoleh penghiburan esensial dari Allah dengan mengisra’-kan dari Masjid al-Haram di Makkah hingga Masjid al-Aqsha di Palestina. Juga memi’rajkannya dari Masjid al-Aqsha hingga ke Sidratul Muntaha di atas langit. Disebut penghiburan yang esensial karena, antara lain, di dalamnya terdapat pencapaian spiritual Nabi, di mana hijâb antara dirinya dengan alam malakût sudah tidak ada lagi, dan pencapaian itu tampak dengan terang benderang.

Nabi saat Mi’raj bertemu Allah yang mewahyukan perintah salat secara langsung, tanpa perantara Jibril. Nabi juga melihat alam surga dan neraka secara langsung dengan para penghuninya. Saat Isra Mi’raj, Nabi juga bertemu nabi-nabi senior sebelumnya untuk menghormati mereka, termasuk para nabi yang memiliki kesabaran luar biasa dalam berdakwah (ulu al-‘azm). Di antaranya adalah para pembawa agama samâwî pra-Islam (Yahudi dan Nasrani) sebagai benchmark. Perintah salat menjadi lima waktu yang diperintahkan Allah kepada umat Islam saat Mi’raj adalah hasil konsultasi Nabi dengan Nabi Musa, nabi yang juga seorang jenderal yang membebaskan kaum Yahudi dari kezaliman/ketidakadilan Fir’aun yang menjadikan mereka sebagai budak.

Titik Awal Kesuksesan

Sejak Isra Mi’raj, kemajuan Islam semakin tampak, dan itu adalah titik terang awal kesuksesan dakwah Nabi, di mana Isra Mi’raj berawal dari sikap Nabi yang penuh rahmat. Kemajuan tersebut datang dari sejumlah penduduk Yatsrib/Madinah yang berhaji ke Makkah, yang terdiri dari Suku Aus dan Khazraj pada tahun 620 M, yang menerima Islam. Satu tahun setelah itu, delegasi Yatsrib (13 orang) menyatakan kesetiaannya juga. Bahkan, berikutnya sejumlah 73 orang, atas nama penduduk Yatsrib, memohon Nabi berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela keluarganya. Nabi pun menyetujui. Perjanjian itu dikenal dengan Perjanjian Aqabah I dan II.

Dari Yatsrib/Madinah itulah cahaya Islam terpancar sejak Nabi berhijrah ke sana pada 622 M. Maka, nama lengkap Kota Madinah adalah al-Madînah al-Munawwarah, kota yang memancarkan cahaya Islam. Berbeda dengan saat di Makkah, di Madinah Nabi memiliki kekuasaan temporal sebagai kepala negara, tak hanya sebagai kepala agama. Bukan hanya kepala negara untuk kaum Muslimin, melainkan juga untuk non-Muslim dengan membentuk negara multi-etnis dan agama sesuai dengan Perjanjian Madinah. Sayangnya, ini berlaku hanya selama tiga tahun. Nabi juga mengganti jalan penyelesaian masalah melalui kekerasan—terutama perang, sebagai cara masyarakat pra-Islam—dengan musyawarah dan penegakan hukum, sebagaimana cara yang dipilih Nabi saat di Thaif sebelum Isra Mi’raj.

Sikap ihsân-nya yang penuh rahmat sebagaimana saat di Thaif juga terus terpelihara. Misalnya, hal ini tampak dari Perjanjian Damai Hudaibiyah pada tahun 6 H (628 M) dengan kaum non-Muslim/kafir pagan Makkah, di mana perang hanya sebagai jalan darurat saja. Juga tampak dari pembebasan/penaklukan Makkah (Fathu Makkah, 630 M—saat Nabi berusia 60 tahun), yang dilakukan Nabi tanpa setetes darah pun yang tertumpah. Satu tahun berikutnya (10 H/631 M), Nabi melakukan Haji Wada’ (haji perpisahan) dengan mencanangkan kesetaraan antar manusia dan juga meritokrasi, di mana manusia tidak dilihat berdasarkan darahnya, melainkan amal usaha dan prestasinya (ilmu dan integritas).

Wallâhu a’lam bis-shawâb.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru