34 C
Jakarta

Islamofobia, Rekayasa Politik HTI Menghancurkan NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamIslamofobia, Rekayasa Politik HTI Menghancurkan NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tulisan ini merupakan respons vis-à-vis artikel Dedeh Wahidah Achmad, seorang insinyur yang menjadi Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah, dalam portal MuslimahNews milik HTI dengan judul “Islamofobia, Rekayasa Politik Barat Mengadang Islam Politik”. Dedeh, yang notabene kolumnis asal HTI, dengan ideologi khilafahnya, mengkritik keras islamofobia di NKRI sebagai upaya menghalangi Islam. Maka, sebagai antitesis, judul dalam tulisan ini saya miripkan, dengan inti yang sangat kontras.

Untuk diakui, tulisan Dedeh bagus. Argumentatif. Tanpa wawasan yang memadai, pembaca akan langsung mengangguk setuju lalu menebarkan kebencian di media sosial. Misalnya, Dedeh mengatakan bahwa Hari Anti-Islamofobia tidak mampu membendung arus para pembenci Islam. Forum R20 yang digelar PBNU, menurutnya, juga justru memperparah islamofobia karena menyebut agama sebagai sumber konflik di berbagai belahan dunia; ekstremisme, radikalisme, hingga konflik komunal.

Tidak hanya itu. Dedeh juga menyebut rezim hari ini, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, mengidap penyakit islamofobia—tuduhan tak berdasar yang bisa dibawa ke ranah hukum. Memang, adalah benar, bahwa pemerintah saat ini lebih represif daripada zaman SBY di mana HTI, FPI, dan sejenisnya, bebas bergentayangan. Namun apakah Jokowi melarang kegiatan keagamaan tertentu di Indonesia, atau membatasi ritus keislaman, atau memangkas syariat? Jika tidak, artinya Dedeh memfitnah.

Yang kelihatan ilmiah namun sebetulnya menunjukkan kebodohan dirinya adalah, Dedeh memprotes rekontekstualisasi dan reaktualisasi pemahaman Islam. Ia menganggapnya sebagai upaya mereduksi syariat demi kepentingan Barat. Dan akhirnya, ia seolah mempunyai solusi untuk mengakhiri itu semua, mengentaskan islamofobia yang dianggapnya proyek melemahkan Islam. Menurutnya, dibutuhkan institusi Islam yang akan menerapkan syariat Islam kaffah, yaitu institusi khilafah.

Ada dua kritik yang bisa dilayangkan pada artikel tersebut. Pertama, judul dan isi tidak selaras. Pada bagian judul, Dedeh memakai diksi “Islam politik”, namun isinya adalah “politik Islam”. Padahal keduanya berbeda. Entah disengaja sebagai bentuk kamuflase atau tidak, yang jelas Dedeh keliru. Kedua, apa pun argumentasinya selalu diseret pada kesimpulan ihwal pentingnya menegakkan khilafah. Dalam konteks ini, istilah syariat dan Islam kaffah ia manipulasi demi melawan NKRI.

Islam Kaffah Palsu Para Khilafahers

Islam kaffah, istilah yang sangat familiar di kalangan umat Muslim. Islam kaffah adalah sebuat predikat keberislaman, ketika seseorang berhasil menjadi Muslim yang mengamalkan seluruh aspek agama: akidah, syariah, dan akhlak. Akidah tidak bisa ditawar dan tidak berubah, sementara syariah penerapannya menggunakan ilmu Fikih agar relevan setiap tempat dan waktu. Sementara akhlak, mencakup urusan etika-moral trinitas; habl min Allah, habl min an-nas, dan habl min al-‘alam.

Nabi adalah contoh insan sempurna yang berislam secara kaffah, yakni secara holistis; menyeluruh; komprehensif. Umat Islam berlomba-lomba untuk mencapai predikat tersebut, sesuai perintah Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah [2]: 208. Prinsipnya, setiap Muslim harus menerapkan syariat dengan sempurna—dalam satu aspek Islam kaffah adalah antitesis hipokrisi keberislaman. Dalam konteks ini, predikat Islam kaffah adalah cita-cita ideal setiap Muslim; konsekuen terhadap Islam.

Sayangnya, istilah Islam kaffah yang digembar-gemborkan HTI di NKRI—Dedeh si penulis artikel di atas termasuk salah satunya—adalah Islam kaffah palsu. Mereka memanipulasi kepalsuan sebagai kebenaran, lalu menuntut umat Islam untuk tunduk dalam kebenaran manipulatif tersebut. Para khilafahers yang nafsunya untuk mendirikan khilafah sudah memuncak sampai kehilangan akal. Khilafah dianggap sebagai bagian dari syariat, dan harus ditegakkan untuk mencapai predikat kaffah itu sendiri.

Ratusan literatur telah menjelaskan bahwa Islam kaffah sama sekali tidak seperti yang para khilafahers dakwahkan. Artinya, untuk menjadi umat Islam yang beragama secara sempurna, tidak dibutuhkan sebuah institusi yang menyatukan seluruh Muslim. Apalagi sampai menganggap hal itu sebagai bagian dari syariat yang Allah Swt. dan Nabi Saw. perintahkan. Itu namanya memfitnah syara’—Allah dan Rasul. Mengapa para khilafahers enggan jujur bahwa aslinya mereka punya kepentingan politik kekuasaan?

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Islam kaffah palsu para khilafahers telah tersebar di mana-mana. Di Indonesia, ia telah menjadi wasilah fitnah dan ujaran kebencian antarsesama, terutama di media sosial. Para jemaah HTI, yang ilmunya minim dan otaknya sudah tercuci doktrin khilafah, akan menjelek-jelekkan pemimpin NKRI, mencemooh pemerintahan, dan mengolok-olok warga negara yang tak sepaham sebagai budak thaghut. Gara-gara Islam kaffah yang telah dipalsukan pengertiannya, banyak umat Islam terprovokasi dan terpecah-belah.

Khilafah Meluncur, NKRI Hancur

Unite as one ummah. Demikian misi organisasi pejuang khilafah: menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Dalam aplikasinya, HTI sebagai cabang HT ingin mendirikan suatu pemerintahan di bawah satu bendera, yaitu bendera HTI. Bendera tersebut diklaim sebagai liwa’ Nabi Muhammad, yang punya istilah lain yaitu rayah, panji. Cita-citanya, di bawah bendera tersebut, HTI yakin umat Islam akan menjalankan Islam secara kaffah, tidak terjerat liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme.

Tiga term terakhir ini, liberalisme, kapitalisme, dan sekularisme, adalah musuh besar HTI. Mereka mengatakan bahwa sistem dunia hari ini dikuasai Barat dan anti-Islam, dan mereka menyerukan kemandirian umat Islam di bawah pemerintahan bernama “khilafah”. Namun demikian, tebak apa yang bisa membungkam HTI? Mereka akan linglung jika ditanya: mana nas Al-Qur’an dan hadis yang eksplisit menuntut pendirikan khilafah? Siapa yang akan jadi pemimpin tertinggi? Di mana contohnya saat ini?

Ajukan tiga pertanyaan tadi kepada Ismail Yusanto, maka dia akan diam seperti kadal jatuh. Ajukan juga kepada Felix Siauw, ustaz tersebut akan membahas Turki Utsmani dan kejayaan-kejayaannya selama lebih dari lima abad. Namun jika ditanya lebih jauh bahwa Turki Utsmani itu monarki, apakah yang dimaksud khilafah itu monarki, dan apakah Islam mengajarkan monarki, Felix juga akan mendadak diam. Ajukan semua pertanyaan itu, misal, kepada Dedeh, penulis artikel di atas, dia mungkin akan pingsan.

HTI itu kelompok politik. Kepentingannya murni politik. Mengatakan mereka tengah memperjuangkan kejayaan Islam adalah puncak kenaifan. Dalil-dalil khilafah ala mereka juga dangkal, mudah dibantah, tidak punya pijakan nas Al-Qur’an dan hadis dengan pengertian yang benar—karena selama ini mereka memanipulasi nas, serta tak punya bukti sejarah baik dulu maupun hari ini. Namun kenapa narasi khilafah seolah keren dan sangat menakjubkan? Ada dua alasan.

Pertama, umat Islam yang buta nas dan buta sejarah. Kasarnya, bodoh. Dan ini fakta yang harus diterima meskipun menakutkan. Para khilafahers HTI berdakwah kepada orang yang mereka anggap bodoh dan tidak akan bertanya secara kritis, maka dakwah mereka lancar. Kedua, kegigihan para khilafahers. Dedeh contohnya, adalah perempuan yang militan dengan dakwah HTI. Kegigihan ini menyeluruh. Seluruh kader HTI bergerak dan akhirnya, banyak umat Islam yang terpapar.

Jadi, apa jadinya jika dua alasan tersebut tetap lestari di kalangan umat Islam dan tidak ada tindaan tegas kepada para khilafahers seperti Dedeh cs? Tidak peduli seberapa dangkal dalil-dalil HTI, umat Islam di NKRI akan tertarik semua masuk ke dalamnya, dan kelak boleh jadi—semoga tidak—khilafah HTI akan tegak. Apa yang terjadi kalau seluruh umat Islam di Indonesia bersatu meluncurkan khilafah? jawabannya jelas: NKRI hancur tidak tersisa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru