28.9 C
Jakarta
spot_img

Islamofobia Pasca-Peristiwa New Orleans: Sampai Kapan Islam Dicitraburukkan Terorisme?

Artikel Trending

Milenial IslamIslamofobia Pasca-Peristiwa New Orleans: Sampai Kapan Islam Dicitraburukkan Terorisme?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di sebuah kedai kopi sederhana di pusat kota, di antara dua pengamat politik, tengah terjadi perbincangan serius. “Ahmad, kamu dengar soal bom di New Orleans?” tanya Haris, sambil menyesap kopinya. Ahmad mengangguk. “Iya. Dan seperti biasa, pelaku langsung dikaitkan dengan Islam. Sampai bosan membaca headline yang menyebut Islam biang teror seolah agama ini mengajarkan kekerasan.”

“Padahal kita sudah sering mengatakan bahwa ISIS atau kelompok semacamnya tidak mewakili Islam, tapi mereka masih saja menggunakan narasi itu,” Haris mengeluh, lalu menambahkan, “aku bahkan membaca di salah satu media bahwa mereka menyebut ini kekerasan yang diilhami agama. Ironis sekali.” “Islam lagi-lagi dijadikan kambing hitam,” jawab Ahmad dengan nada kecewa. Pembicaraan dua orang itu berlanjut yang, intinya, menanggapi peristiwa di New Orleans, Amerika Serikat.

Di tengah euforia Tahun Baru 2025, hari-hari ini, duka datang dari negeri Paman Sam. Peristiwa serangan di New Orleans itu membuka luka lama: Islam kerap dijadikan sasaran atas tindakan oknum Muslim atau kelompok teroris yang mengatasnamakan agama. Padahal, Islam sendiri melarang ekstremisme. Namun, arus islamofobia bak tak terbendung. Ada tendensi masyarakat dan media untuk menyimpulkan, tindakan teror adalah produk Islam.

Stereotipe tersebut jelas salah dan berbahaya. Islam terus-menerus dicitrakan sebagai ancaman global bukan hanya karena kebencian orang Barat, melainkan karena kebarbaran sebagian Muslim itu sendiri. Pelaku teror di AS kemarin, sebagaimana peristiwa 9/11 pada 2001 silam, sama-sama mewariskan kebencian akut yang dampaknya ke depan semakin kompleks. Lantas, sampai kapan Islam akan dicitrakan sebagai agama radikal yang mengajarkan terorisme?

Ihwal islamofobia, penting dicatat bahwa umat Muslim, selama dua dekade terakhir, terutama di negara-negara Barat, kerap jadi sasaran kekerasan verbal, fisik, hingga kebijakan yang mengekang kebebasan dan hak sebagai warga negara. Islamofobia mengejawantah sebagai ancaman terhadap keadilan sosial dan harmoni masyarakat global. Dan dalam kondisi buruk semacam itu, para teroris tak juga jera: mereka terus melakukan teror dan membuat Islam semakin distigmatisasi.

Narasikan ISIS Bukan Islam!

Apakah edukasi tentang Islam di kalangan masyarakat global itu kurang? Jawabannya subjektif. Yang jelas, banyak yang belum paham bahwa ISIS dan kelompok serupa bukan representasi Islam, tetapi kelompok ekstremis yang mengeksploitasi ajaran agama demi tujuan politik. Mau Al-Qaeda, ISIS, HTS, atau apa pun namanya, jika doktrin yang dibawa adalah penghalalan membunuh sesama, maka ia bukan representasi dan sama sekali tidak memanifestasikan ajaran yang dibawa Nabi Saw.

ISIS menganut ideologi kekerasan, mengabaikan prinsip wasatiah Islam. Bahkan, ulama dari seluruh dunia telah berulang kali mengeluarkan fatwa yang mengecam ISIS dan tindakan barbarnya. Sayangnya, narasi-narasi positif selalu dikalahkan oleh gaungan media yang lebih tertarik pada sensasi daripada fakta: lebih suka framing Islam sebagai agama teror daripada agama moderat. Moderasi pun dianggap narasi tak populer—bahkan algoritma medsos pun tak mendukungnya.

BACA JUGA  Kekeliruan HTI tentang Khilafah dan Islam Kafah di NKRI

Jelas, langgengnya islamofobia di masyarakat merupakan sesuatu yang riskan. Dan pasca-peristiwa teror di New Orleans, atau juga di Pasar Natal Jerman akhir Desember lalu, persoalannya semakin rumit. Ironisnya, ketika Islam dijadikan target islamofobia terus-menerus, Muslim-lah yang sebenarnya menjadi korban terorisme dua kali. Pertama, oleh aksi kelompok radikal-teror. Kedua, oleh stigma yang disematkan secara paten kepada mereka.

Masalahnya semakin kompleks ketika stigma tersebut ternyata juga jadi bahan propaganda. ISIS, umpamanya, memanfaatkan islamofobia untuk merekrut teroris-teroris baru. Mereka menjual narasi bahwa umat Muslim tak pernah diterima di dunia Barat, dan bahwa satu-satunya cara melawan adalah melalui teror berkelanjutan. Lingkaran setan semacam itu terus tak memiliki titik stop. Barat semakin islamofobis, dan teroris semakin memperluas citra buruk Islam di dunia global. Innālillāh.

Karena itulah, seluruh Muslim perlu membuat narasi global yang intens dan paten: “ISIS bukan Islam!”. Narasikan itu secara terus-menerus, masifkan di berbagai negara, dan sadarkan publik luas bahwa eksploitasi Islam oleh kelompok-kelompok teror harus disudahi segera. Di Indonesia, sel-sel ISIS maupun kelompok teror lainnya juga mesti diburu total dan dihabiskan. Jangan pernah sisakan ruang untuk teroris, agar islamofobia tak semakin menjadi-jadi.

Tawaran Solusi Alternatif

Menarasikan secara persisten bahwa ISIS bukan Islam itu tugas umat Muslim. Sementara, secara umum, solusi alternatif juga bisa diupayakan. Untuk menghentikan langkaran setan islamofobia, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Pertama, media harus lebih bertanggung jawab dalam pemberitaan. Sensasi tidak boleh mengalahkan fakta, apalagi yang semakin mencitraburukkan Islam. Jurnalisme sensasi tidak boleh dibiarkan. Perlu ada UU terkait masalah tersebut.

Kedua, umat Muslim perlu terus menunjukkan wajah Islam wasatiah melalui tindakan nyata, utamanya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Berikan keteladanan ihwal kasih-sayang, bukan malah suka meneror sesama. Terorisme telah menggerogoti Islam sejak lama dan setiap Muslim perlu punya kesadaran untuk menyudahi kesalahkaprahan semacam itu. Ketiga, pemerintah di berbagai negara harus memastikan kebijakan mereka tidak mendiskriminasi Islam.

Peristiwa di New Orleans adalah reminder bahwa islamofobia masih menjadi tantangan besar. Namun, ini juga peluang bagi dunia untuk bersatu melawan kebencian dan ketidakadilan yang merugikan Islam. Penekanannya jelas: Islam bukan terorisme, dan menstigmatisasinya karena tindakan para teroris adalah ketergesa-gesaan yang meresahkan umat Muslim sedunia. Sampai kapan Islam dicitrakan buruk di kancah global akibat kesalahkaprahan yang dibiarkan?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru