31.7 C
Jakarta

Islamofobia; Nasib Umat Islam Sedunia di Tangan Taliban?

Artikel Trending

Milenial IslamIslamofobia; Nasib Umat Islam Sedunia di Tangan Taliban?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Indonesia masih wait and see, menunggu sambil mengamati, bagaimana langkah-langkah Taliban ke depan. Sementara, tulisan-tulisan pakar di Indonesia sudah kadung berhamburan antara optimis dan pesimis. Optimis bahwa Taliban akan berubah moderat, pesimis bahwa mereka akan melanggar janjinya. Lalu mengapa Taliban begitu penting menjadi sorotan internasional? Sebab ini bukan masalah Afganistan saja, melainkan masalah umat Islam sedunia. Islamofobia, terutama.

Adalah Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan, yang mengungkapkan kehawatiran tersebut. Said mengatakan, bahwa jika penduduk Afghanistan saja tidak percaya Taliban dan memilih kabur sampai ada yang bergelantungan di pesawat, bagaimana dengan orang-orang yang selama ini memang benci Islam? Pasti semakin benci, semakin mendapat legitimasi bahwa Islam agama perang, dan mereka jelas semakin jijik dengan umat Islam.

Sebagai terusannya, umat Islam sedunia juga akan mengalami resistansi dari sejumlah pihak, kendati persentasenya belum diketahui pasti. Meskipun spekulasi lebih jauh mengenai Taliban, hari ini, masih terlalu dini, pengamatan tentang mereka lebih ke arah harap-harap cemas. Bukan saja karena sejarah kelam masa lalu, melainkan ihwal masa depan umat Islam. Akankah citra positif Islam yang telah lama dibangun harus ujug-ujug hancur karena ulah Taliban.

Islamofobia sebagai dampak buruk berkuasanya Taliban di Afghanistan bukan kekhawatiran tak berdasar. Seberapa pun pakar meyakinkan bahwa Taliban akan berubah ke arah moderat, setiap hari kabar eksekusi dari Afghanitan tidak pernah absen. Seberapa kuat pun pihak-pihak menganggap itu propaganda media, masyarakat tidak mudah dibodohi. Ini menjadi semacam narasi dua kubu, antara yang ingin membela Taliban dengan yang bercita-cita menghancurkannya.

Islamofobia Gara-gara Taliban

Selama ini islamofobia selalu dianggap sebagai produk Barat untuk mencitraburukkan Islam melalui terorisme yang mereka bikin sendiri. Kali ini, sepertinya orang yang beranggapan demikian harus menjilat ludahnya sendiri. Kita, umat Islam, memang harus mengakui bahwa ada sebagian kelompok umat yang kaku. Rigiditas tersebut mewariskan sikap-sikap ekstrem yang berujung teror. Hirsi Ali dicerca ketika tesisnya menyatakan seperti itu. Tetapi kali ini hal itu terbukti.

Islamofobia muncul pasca peristiwa 9/11. Seiring berjalannya waktu, yang buruk bukan hanya Taliban yang dianggap menyembunyikan Osama bin Laden. Seluruh umat Islam terutama dengan atribut tertentu, terstigmatisasi sebagai teroris. Di Barat, anti-Islam sudah marak dan tidak pernah memudar juga bukan karena peristiwa 9/11 belaka, melainkan aksi-aksi teror setelah itu yang pelakunya umat Islam. Charlie Hebdo hanya satu contoh dari ratusan pematik islamofobia lainnya.

Jadi intinya, islamofobia sudah mendarah-daging di Barat, atau di seluruh pemeluk agama non-Islam sedunia. Mereka punya pandangan bahwa terorisme bukan lagi oknum dalam Islam, tapi karena memang agama itu sendiri mengajarkan kekerasan. Nabi Muhammad dianggap tukang perang. Ekspansi Islam selama masa kejayaan semakin memperjelas tuduhan tersebut. Dan sekarang Taliban juga mau jadi pembenar dari segala anggapan-anggapan miring terhadap Islam tersebut?

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Dampak terburuk dari akan menguatnya islamofobia setelah berkuasanya Taliban di Afghanistan mungkin munculnya kembali diskriminasi terhadap Islam di negara-negara minoritas. Ini adalah ancaman yang menakutkan. Tidak terbayang jika umat Muslim teraniaya di ruang publik sebagai musuh bersama. Seluruh pihak, misalnya, sudah membenci umat Islam. Simbol-simbol Islam juga akan semakin buruk. Jilbab, misalnya. Atribut tersebut harus sama sekali absen dari ruang publik.

Taliban yang berpolah, seluruh umat Islam terkena getahnya. Taliban yang suka mengeksekusi penduduk dan menjepit hak perempuan, agama Islamlah yang terpojokkan. Semua gara-gara Taliban yang iklim keagamaannya sempit, kaku, dan keras, islamofobia menjadi momok paling menakutkan. Apakah mungkin islamofobia tersebut bisa diantisipasi jika, misalnya, Taliban belajar wasathiyah Islam ke Indonesia?

Mungkinkah Belajar Moderasi Islam ke Indonesia?

Ini berkaitan dengan sebagian narasi yang beredar, bahwa konon, Taliban kagum dengan cara keberislaman di Indonesia. Pada 2019 lalu Taliban berkunjung ke Indonesia—di samping bertemu Jusuf Kalla—juga bertamu ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Delapan tokoh perwakilan Pakistan yang dipimpin wakil komandan Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar, berkunjung ke PBNU mengajak bertukar pikiran mengenai bagaimana hidup damai dalam keragaman.

Kunjungan Taliban tersebut melahirkan dua narasi. Pertama, kontribusi NU dan secara umum Indonesia terhadap perdamaian global. Banyak yang mengapresiasi NU sebagai penengah konflik dan penyebar agama yang moderat. Kedua, moderatisasi Taliban. Tidak sedikit yang optimis bahwa Taliban akan menjadikan Afghanistan sebagai negara Islam yang moderat. Orang-orang yang optimis ini yakin bahwa dalam hal relasi agama dan negara, Taliban akan belajar ke Indonesia.

Namun demikian, anggapan demikian tampaknya terlalu buru-buru dan menegasikan aspek-aspek internal Taliban. Penting untuk diketahui bahwa secara ideologis, Taliban adalah Salafi, kaum ortodoks yang menyerukan kembali pada Al-Qur’an dan sunnah blas tanpa negosiasi penafsiran apa pun. Akibatnya, mereka tidak akan menghapus hukum rajam, sebagai contoh, karena itu sama saja dengan mengkhianati ideologinya sendiri. Jadi, mana mungkin bisa bersikap moderat?

Konsekuensi moderasi Islam adalah menghapus penafsiran tekstual dan meniscayakan kontekstualisasi. Itulah yang kemudian melahirkan hukum Islam yang relevan dengan tantangan zaman. Sementara bagi Taliban? Tidak begitu. Tidak ada kontekstualisasi, apalagi istinbath hukumnya mengacu pada imam mazhab, jelas akan ditolak dan dianggap bid’ah, sesat dan menyesatkan. Moderasi dan ekstremitas adalah lawan. Jika ideologi Taliban ekstrem, bagaimana sikapnya bisa moderat? Mustahil.

Selain itu, internal Taliban terpecah ke dalam beberapa fraksi—kalau boleh mengistilahkan demikian. Artinya, tokoh-tokoh di dalamnya saling klaim otoritas, yang itu akan berdampak terhadap iklim penerapan hukum mereka. Boleh jadi satu tokoh mengatakan akan moderat, tapi yang lainnya bagaimana? Jadi cita-cita moderasi Taliban masih sangat jauh. Mungkin saja terjadi, tapi butuh waktu. Sementara islamofobia terus berjalan di tengah masa menunggu yang tak pasti ujungnya tersebut.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru