26.8 C
Jakarta

Islam yang Disalahpahami oleh Kelompok Radikal

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam yang Disalahpahami oleh Kelompok Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Kemarin, saat acara 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) digelar, saya memilih tidak hadir pada acara itu. Tidak perlu saya ungkap di sini alasan kenapa saya tidak duduk bersama para nahdliyin waktu itu. Tapi, saya memilih berdiskusi dengan teman saya, lulusan UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta. Saya percaya temen saya NU karena dia dari kecil terlahir dan dibesarkan di lingkungan orang Madura yang ketika ditanya agamanya apa, pasti jawabannya NU. Unik, bukan?!

Diskusi itu tidak berlangsung lama, karena temen saya dan dia bertemu kebetulan saja. Entah, kenapa saat pertemuan itu diskusi to the point soal NU. Ada hal menarik saat diskusi soal NU. Temen saya cerita kalau ideologi tawazun, tawasut, tasamuh, dan i’tidal (moderat) yang terkenal itu sebenarnya hasil produksi pakar NU. Melalui ideologi itu NU memiliki spirit yang sama dengan berdirinya Negara Indonesia ini. Negara merah putih ini berdiri di atas nilai-nilai moderasi (wasathiyyah). Nilai-nilai ini merupakan terjemahan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetapi satu juga. Lewat moderasi ini Indonesia tidak memihak kepada satu agama atau paham saja, tetap kepada semuanya selagi tidak berseberangan dengan nilai-nilai tersebut.

Perjuangan NU dalam membumikan nilai-nilai moderasi tergambar terlihat dari, salah satunya, pemikiran Gus Dur (yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU) yang dikenal dengan Pribumisasi Islam. Gus Dur ingin Islam itu benar-benar membumi bukan melangit. Islam yang membumi tentu membela manusia yang tertindas, bukan membela Tuhan yang Maha Kuasa. Pemikiran Gus Dur ini kemudian dihadirkan dalam kemasan buku berjudul ”Tuhan Tidak Perlu Dibela”.

BACA JUGA  Politik Dinasti Jokowi, Apakah Dibenarkan oleh Agama?

Pentingnya membumikan Islam adalah agar Islam dapat berpihak terhadap manusia. Islam bukan hanya menjadi ritual saja, melainkan dapat menjadi kemaslahatan terhadap semesta. Islam yang membumi bukanlah Islam yang dikampanyekan kelompok radikal atau yang dikenal dengan Islam radikal. Islam radikal ini merupakan desain Islam yang tertutup dan keras.

Ketertutupan berpikir kelompok radikalis terlihat dari sikap mereka ketika dihadapkan dengan perbedaan. Mereka langsung mengklaim orang yang berbeda dengan sebutan kafir. Sedangkan orang yang kafir itu halal darahnya atau dibunuh, karena mereka menganggap orang yang berbeda sesat. Mereka yang tidak puas dengan sebatas mengkafirkan akan berlanjut pada aksi-aksi terorisme yang jelas jauh lebih berbahaya. Banyak korban akibat dari kejahatan mereka.

Biasanya orang terjebak dalam ketertutupan berpikir sampai menjadikannya berani melakukan kejahatan terorisme karena mereka menjadikan Islam sebatas membela Tuhan, bukan membela manusia. Padahal, Tuhan sendiri tidak menginginkan pembelaan hamba-Nya. Karena, dengan pembelaan itu justru menunjukkan Tuhan tidak kuasa. Seharusnya yang dibela itu adalah makhluk yang lemah dan tertindas. Kesalahan berpikir ini yang menjadi dasar kebodohan mereka.

Sebagai penutup, Imam Hanafi mencoba menerjemahkan nilai-nilai ketuhanan dengan tauhid. Tapi, yang menarik dari Imam Hanafi adalah cara memformulasikan tauhid sebagai pembelaan terhadap hak-hak kemanusiaan atau disebut dengan tauhid sosial. Tauhid seperti ini tidak akan menciptakan perpecahan di tengah-tengah manusia, apalagi sampai menjadikan mereka harus darah saudaranya sendiri.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru