26.8 C
Jakarta
Array

Islam Tidak Mengenal Konsep Mayoritas-Minoritas

Artikel Trending

Islam Tidak Mengenal Konsep Mayoritas-Minoritas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Al-Quran dan hadits tidak pernah memperkenalkan konsep politik mayoritas-minoritas. Islam hanya memperkenalkan konsep musyawarah antar berbagai kelompok di dalam masyarakat. Islam menyerukan umatnya, jika berada dalam posisi mayoritas agar menghargai umat atau kelompok minoritas di dalam masyarakat. Sebaliknya, jika umat Islam menjadi kelompok minoritas agar tetap memberikan pengakuan, sepanjang umat Islam diberi kebebasan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.

Al-Qur’an hanya pernah mengingatkan dengan sebuah pernyataan: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. al-Baqarah/2:249). Ayat ini mengingatkan umat Islam ketika berada dalam posisi mayoritas untuk berhati-hati, sebab mayoritas bukan jaminan untuk selalu menang di dalam perjuangan.

Sekecil apa pun sebuah kelompok di dalam masyarakat, harus diperhatikan. Safwan ibn Sulaiman meriwayatkan sebuah hadits yang menceritakan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang mendhalimi seorang muhad (orang yang pernah melakukan perjanjian damai) atau melecehkan mereka, membebani beban di luar kesanggupan mereka, atau mengambil harta tanpa persetujuan mereka saya akan menjadi lawannya nanti di hari kiamat”. (HR. Abu Daud).

Nabi dengan begitu tegas memberikan pemihakan kepada kelompok minoritas tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Hadits ini sebenarnya sejalan dengan semangat ayat: Walaqad karramna Bani Adam (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam) (Q.S. Al-Isra’/17:70).

Tradisi Nabi ini dilanjutkan oleh para sahabatnya. Suatu ketika Umar blusukan di daerah-daerah, ia menyaksikan langsung sekelompok non-muslim dihukum dengan berjemur di bawah terik panas matahari di salah satu daerah di Syam (Syiria). Umar bertanya kenapa mereka dihukum seperti itu? Dijawab karena mereka enggan membayar pajak (juzyah). Khalifah Umar kelihatannya tidak setuju dengan hukuman seperti itu dan ia meminta agar mereka dibebaskan. Umar juga meminta kepada para penguasa lokal agar tidak membebani mereka dengan beban di luar kesanggupan mereka, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seperti halnya memperlakukan umat Islam. Khalifah Umar juga pernah menemukan salah seorang pengemis buta dan tua dari kalangan non-muslim. Umar bertanya, “Dari ahlul kitab mana engkau, wahai Kakek Tua?” Kakek tua itu menjawab, “Aku adalah seorang Yahudi.” Umar melanjutkan pertanyaannya: “Apa yang membuatmu jadi seperti begini?” Kakek itu menjawab, “Aku membutuhkan makanan dan kebutuhan pokok.”

Umar membawa kakek itu ke rumahnya dan membuat secarik memo untuk petugas Bait al-Mal  (Perbendaharaan Negara) yang isinya: “Tolong perhatikan orang ini dan orang-orang semacam ini. Demi Allah, kita tidak menyadari bahwa kita telah memakan hartanya lalu kita mengabaikannya di usia tuanya. Sesungguhnya shadaqah itu untuk fakir miskin. Fuqara itu orang muslim, danfuqara ini orang miskin dari ahlul kitab”.

Yang menarik dari hadits dan pengalaman sahabat Nabi di atas adalah pemberian bantuan dan pertolongan di dalam Islam bersifat lintas agama dan budaya. Bantuan dan pertolongan dari umat Islam bukan hanya ditujukan kepada kelompok muslim tetapi juga kepada kelompok non-muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi dan Khulafaur Rasyidin, khususnya Umar ibn Khaththab. Kemiskinan dan keterbelakangan itu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam tetapi juga oleh kelompok agama lain. Siapa pun mereka, jika memerlukan bantuan dan pertolongan, punya hak untuk dibantu, walaupun harus diambilkan dari kas Negara (Bait al-Mal), sebagaimana ditunjukkan oleh Umar ibn Khaththab.

Oleh

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru