32.9 C
Jakarta

Islam Sempalan dan Kesalahan Kolektif

Artikel Trending

KhazanahOpiniIslam Sempalan dan Kesalahan Kolektif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Abdurrahman Wahid menulis istilah ini di salah satu esainya. Di tulisan yang ciamik itu, ia membahas ihwal gerakan sempalan Islam. Dalam tesmak beliau, lema ‘sempalan’ berbeda dengan ‘pecahan’. Hanya saja keduanya sama-sama sebagai terlepasnya cabang dari induk. Jika yang pertama mengindikasikan yang pecah lebih kecil dari induknya maka yang kedua pembagiannya sama rata. Kita akan memasukkan gerakan-gerakan yang selama ini mengkhawatirkan pada kosa kata pertama. Sebuah gerakan yang secara kuantitatif justru lebih kecil daripada kelompok Islam yang menentramkan.

Meski demikian, secara ide atau gagasan yang dilontarkan tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita mengakui bahwa secara kuantitatif mereka masih relatif kecil. Problemnya, pecahan ini memang kecil secara kuantitatif tetapi banyak. Meminjam bahasa Abdurrahman Wahid, jumlahnya banyak, berukuran kecil, dan kecenderungan untuk memecah diri terus menerus. Dengan bahasa yang berbeda, sempalan ini tidak sendirian, mereka ditemani sempalan-sempalan lain yang nyaris setali tiga uang.

Kegagalan kita kadangkala di sana yakni ihwal memahami ciri khas tiap sempalan. Dahulu, kita tidak jarang miskonsepsi ihwal satu sempalan dan sempalan lainnya. Pernah suatu ketika seseorang teman menyamakan sempalan yang menolak Pancasila sebagai dasar negara dengan sempalan lain yang menerima, tetapi hanya saja maneuver politiknya cenderung keras. Keduanya disamakan hanya karena bertemu di satu titik: sedikit keras—untuk meminimalisir tekanan psikis pada lema ‘keras’ tanpa lema ‘sedikit’.

Pernah juga terjadi miskonsepsi bahwa orang yang sering menentang presiden adalah gerakan orang-orang puritan. Padahal, salah satu sempalan ini  justru menjadikan konsepi taat kepada Allah, rasul, serta pemimpin disertai landasan ayat. Dari sana kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak jarang sebagian orang salah paham ihwal orang yang berada di seberangnya. Kegagalan-kegagalan mengidentifikasi ini patut untuk dibenahi agar tidak meracuni. Juga tidak menjadi perespi yang keliru di kepala dan generalisir yang tak akurat.

Meski mereka sempalan-sempalan, yang dalam kacamata kita, dipandang mengkhawatirkan tetapi tiap sempalan bisa diidentifikasi. Pengetahuan akan lawan yang hendak kita hadapi memang diperlukan demi membentuk semacam definisi yang benar di kepala. Tidak cukup sampai di situ, definisi yang benar di kepala ini membantu kita bagaimana menyangkal mereka. Menyangkal gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan tepat.

BACA JUGA  Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Sejujurnya, berbicara kesalahan semacam itu tidak hanya di kalangan kita. Di kalangan mereka kadangkala(untuk tidak mengucapkan sering) melakukan hal sejenis. Ketika orang yang di seberang mereka melontarkan gagasan yang tidak sesuai dengan perespsi mereka, bukan hal muhal dicap sebagai liberal dan komunis. Antiknya, kedua label tersebut disematkan pada satu orang yang sama tanpa paham terlebih dahulu masing-masing konsep. Ini hal yang kelihatannya sepele namun tidak pantas disepelekan.

Saya tidak mau kejadian yang dialami seorang teman berulang. Teman saya menuduh temannya yang bergabung dengan salah satu sempalan—yang kritis pada pemerintah—sebagai orang yang menolak tahlilan. Padahal ia sama sekali tidak anti terhadap amalan tersebut. Apa yang memicu hal itu? Kesalahan di kepala teman saya yang menganggap bahwa orang yang kerap mengkritik pemerintah sebagai orang yang anti Pancasila. Dan langsung disimpulkan bahwa orang yang anti Pancasila pasti menolak keras tahlilan.

Sikap kita barangkali masih sama ketika dihadapkan dengan gerakan-gerakan sempalan yang saya sebut. Kita cenderung untuk memberi wacana tandingan atau bahkan perlawanan bagi mereka. Kegagalan demi kegagalan, meski sifatnya kasuistik sekali, patut untuk dibenahi bersama-sama. Kita hanya akan membuat suatu sistem berpikir yang benar dan presisi. Untuk sampai di titik itu, terlebih dahulu kita membuat definisi.

Definisi inilah yang—dalam diskursus logika—membedakan satu sempalan dengan sempalan yang lain. Kita akan menarik benar merah diferensial untuk membedakan tiap sempalan. Dengan cara yang ringan seperti ini, kita kemungkinan besar dijauhakn dari miskonsepsi sebagaimana disebut. Sesungguhnya, hal ini tidaklah eksklusif bagi golongan kita, golongan mereka harusnya melakukan usaha yang sama.

Untuk menyematkan lakab terhadap lawannya harus dipahami terlebih dahulu definisi setiap lema. Liberal, komunis, ateis, kafir, dan sebagainya tidak bisa disematkan sembarangan. Setiap lema tersebut secara tegas mengeksklusi ciri-ciri tertentu. Akhirnya, baik tugas kita maupun mereka sama yakni membenahi kerangka berpikir. Ini kesalahan kolektif yang harus dibenahi sama-sama.

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru