26.8 C
Jakarta

Islam Progresif di Madura, Mungkinkah?

Artikel Trending

Milenial IslamIslam Progresif di Madura, Mungkinkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Cukup lama Madura secara stigmatis dikenal terisolir, terbelakang dan tradisional. Kesan kasar ketika berbicara dan bahkan stigma primitif oleh masyarakat luar terhadap masyarakat Madura masih terus diderangkan seakan mendapat legitimasi dari masyarakat Madura sendiri.

Padahal, di masa-masa awal, Madura merupakan daerah berperadaban. Hal tersebut dapat dilihat dengan fakta bahwa banyak raja-raja di Jawa yang berasal dari Madura. Bahkan menurut Gus Dur dalam suatu ceramahnya di Sumenep, Joko Tingkir yang diakui sebagai moyangnya juga berasal dari Madura, di samping ada Joko Tole yang memang sudah familiar bagi masyarakat Madura.

Masyarakat feodal, di mana otoritas dimiliki kalangan bangsawan dan pemangku keagamaan menjadi prototipe orang Madura. Adanya sebuah prinsip hierarki ketundukan, yakni bhuppa’-bábbhu’-ghuru-rato bagi masyarakat sudah tidak bisa diotak-atik, dianggap tradisi yang memiliki implikasi cukup signifikan dalam melahirkan sikap fanatisme.

Siapa pun yang berusaha merongrong otoritas tersebut akan dicap menyimpang, bahkan jika istilah teologis boleh ikut campur, akan dicap sebagai orang durhaka dan kafir.

Diakui atau tidak, kekakuan (baca: stagnasi) cara berpikir sebagian orang Madura barangkali dipengaruhi hierarki ketundukan tersebut. Guru, yang berada di hierarki ketiga, misalnya, bagi orang Madura juga memiliki peran sentral dalam kejumudan yang terjadi. Sikap normatif telah menjadikan guru—atau umumnya kiai—sebagai pemegang otoritas dalam aspek keagamaan.

Menyadari akan posisi di tengah masyarakatnya pun telah memaksa guru (kiai) harus memiliki kesiapan mental-intelektual melebihi masyarakat—kaum proletar. Dengan pendekatan Islam normatif, mereka mengajarkan ilmu keagamaan yang terkadang tidak objektif, dipenuhi ideologi-ideologi tertentu ulama kuno, dan bahkan tidak bisa mengontekstualisasikan ke masanya sendiri.

Dalam morok (mengajar) Al-Qur’an, misalnya, mereka hanya terpaku pada penafsiran-penafsiran klasik yang temporal, tanpa menyadari temporalitasnya. Akibatnya, belajar “tentang” Al-Qur’an menjadi hal yang penuh problem dan karenanya ditakuti.

Lebih parah lagi karena ketakutan tersebut, yang orang Madura menyebutnya sebuah penyakralan terhadap Kitab Suci, telah menjadikan Al-Qur’an sebagai “teks indah nan suci” yang hanya diperkenankan dibaca dalam ritus keagamaan, seperti ketika tahlil, menjadikannya kaligrafi dan sekadar rajah yang dipampang di depan pintu sebagai penolak gangguan setan.

Memperlakukan Al-Qur’an demikian, sebenarnya sudah melupakan perannya sebagai kitab petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas) di satu sisi, dan sama sekali mengabaikan universalitas teks di sisi lain. Alih-alih menyakralkan, perlakuan tersebut sebenarnya mengejawantahkan teks Al-Qur’an yang hidup menjadi terbengkalai.

Progresif, Penyimpangan?

Karena yang melakukan adalah guru (kiai), maka hal tersebut mendapat legitimasi dari masyarakat. Tidak ada yang menyadari bahwa Al-Qur’an tidak semestinya diperlakukan demikian, sebagaimana telah disebutkan, karena guru dianggap sudah lebih mumpuni mental maupun intelektualnya. Tanpa ada maksud mengucilkan peran kiai, tetapi adalah sebuah kekeliruan jika ini tidak disebut sebagai biang kejumudan.

Jika Nor Hasan dalam bukunya, Budaya Migran Masyarakat Madura, beranggapan bahwa Madura merupakan ekor Jawa, dan bahwa perbedaan antara keduanya hanya dalam aspek ekologis yang kemudian berimplikasi terhadap perbedaan dari segi sosial-ekonomi, maka sebenarnya perlu ada perbedaan signifikan lain antara Madura dan Jawa, yaitu dari aspek intelektualitasnya.

Seperti telah disebutkan, ada anggapan bahwa masyarakat Madura lebih kaku menghadapi persoalan, dalam artian bahwa sikap terbuka menghadapi perbedaan masih kalah sama masyarakat Jawa. Kita telah melihat bahwa sikap moderat kebanyakan orang Madura merupakan hasil pergesekan mereka dengan masyarakat luar, di mana sikap moderat itu ada.

BACA JUGA  Mewaspadai Dampak Serangan Iran-Israel di Indonesia

Barangkali, tendensi menundukkan intelektualitas dengan moralitas yang dijunjung tinggi inilah, masyarakat Madura—khususnya di pedalaman—cenderung menganggap pemikiran progresif-historis sebagai penyimpangan tradisi.

Bukti dari hal ini dapat dilihat dari minat mereka terhadap studi keislaman, khususnya Al-Qur’an, yang masih berada pada skala kecil dibanding dari daerah-daerah lainnya. Lebih jauh, keprihatinan ini telah disinggung oleh Ah. Fawaid dalam bukunya, Jejak Orientalis dalam Kajian Al-Qur’an Kontemporer.

Jika keprihatinan Fawaid masih general pada persentase masyarakat (baca: mahasiswa) Indonesia, maka akan lebih memprihatinkan lagi minimnya minat masyarakat Madura terhadap kajian keislaman, khususnya ke-Al-Qur’an-an.

Hal tersebut, selain karena mereka merasa cukup dengan kajian dari hasil jerih payah ulama kuno, juga karena pesimistis mereka akan kemampuannya sendiri mengkaji Al-Qur’an, mengkhawatirkan diri jika merombak tradisi dengan sikap progresif-liberal akan terperangkap dalam kekafiran.

Titik Tolak Kesadaran

Kita telah dikejutkan sejarah Perang Enam Hari (harb al-ayyam al-sittah) pada tahun 1967, di mana gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair, berperang dan mengalami kekalahan melawan negara kecil, Israel. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.

Kesadaran umat Islam di Arab lahir pasca insiden tersebut, dibuktikan dengan lahirnya tokoh pengkaji Al-Qur’an yang tidak jumud seperti sebelumnya. Meski terkadang progresivitas mereka akan kajian Al-Qur’an demi kemajuan peradabannya mengantarkan pada kajian yang subjektif.

Tetapi, sulit memang memahami Al-Qur’an secara objektif. Sebagian sarjana bahkan yakin bahwa semua upaya pemahaman terhadap Al-Qur’an atau umumnya disebut tafsir, adalah subjektif. Namun asumsi ini disanggah oleh pengkaji Al-Qur’an asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd. Menurutnya, menolak objektivitas sebenarnya memapankan subjektivitas.

Objektivitas yang dapat direalisasikaN dalam memahami Al-Qur’an adalah objektivitas kultural yang terikat dengan waktu dan ruang, bukan objektivitas mutlak yang memang hanya sekadar “ilusi” hasil kreativitas ideologi Barat-kolonialis. Yang jelas, mengkaji Al-Qur’an baik subjektif maupun objektif, jauh lebih baik dari pada sebatas menjadikannya teks mati. Sakral namun tak tersentuh.

Barangkali karena kesadaran akan pentingnya mengkaji Al-Qur’an dan tidak sekadar menjadikannya komplementer ritus keagamaan, tampaknya di Madura studi keislaman yang progresif digalakkan.

Berkat upaya para sarjana yang pernah bertabrakan dengan modernitas dunia luar, di mana pemikiran konservatif terpojokkan, belakangan ini perguruan tinggi sudah menyiapkan program studi ke-Al-Qur’an-an, dan otomatis para mahasiswa sudah tidak lagi diajarkan secara normatif semata.

Tetapi ketika pemikiran (baca: pengetahuan) yang didapatkan dibawa ke kampungnya yang notabene konservatif, persoalan lain terjadi, mereka dianggap nyeleneh bahkan murtad. Maka pertanyaan yang semestinya dilontarkan adalah jika sedemikian sulitnya menyandingkan pemikiran progresif dengan konservatif yang mayoritas, mungkinkah kemajuan Islam Madura dapat terjadi?

Jawaban dari pertanyaan ini tergantung pada bagaimana persepsi masing-masing individu tentang kemajuan Islam, tetapi jika sikap kaku dan konservatif masih mendominasi, dapat dipastikan Madura akan itu-itu saja tanpa perubahan. Bahkan boleh jadi lebih buruk, apalagi sekarang FPI ada di tengah-tengah masyarakat. Sepertinya Islam progresif di Madura semakin jauh dari harapan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru