31.3 C
Jakarta

Islam Nusantara dan Islam Prancis; Solusi Islam Radikal

Artikel Trending

KhazanahPerspektifIslam Nusantara dan Islam Prancis; Solusi Islam Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aksi-aksi brutal para kaum radikalis Islam sekali lagi membuat kita gusar. Seperti kejadian baru-baru ini di negara populasi minoritas Muslim terbesar ke-2 di Eropa, Prancis. Pemenggalan guru, Samuel Paty oleh imigran asal Cechnya, Abdulakh Anzorov terjadi di Paris pada hari Jumat, 16 Oktober 2020 lalu. Penusukan di gereja Basilica Notre Dame, Nice pada 19 Oktober 2020 hingga menewaskan tiga orang korban diduga merupakan rangkaian reaksi dari kejadian Paty. Islam Prancis pun menjadi sorotan dunia.

Pada awalnya motif aksi Anzorov, si pelaku pemenggalan adalah untuk memberi pelajaran kepada Paty karena ia tersinggung dengan Paty yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Marah sebagai umat Islam sebenarnya adalah hal yang wajar, karena visualisasi wajah Rasulullah SAW dalam Islam memang tidak diperbolehkan. Namun, kemarahan tidak lantas membenarkan perilaku vandal penghilangan nyawa seseorang. Hal itu justru mencederai ajaran Islam itu sendiri yang sangat mengedepankan cinta kasih serta tidak mencerminkan sama sekali akhlak Nabi Muhammad SAW.

Pandangan yang disampaikan Nadirsyah Hosen atau yang akrab disebut Gus Nadir malah lebih jauh. Beliau mengajak umat Islam berpikir kritis untuk tidak terpancing emosi. Gus Nadir mengatakan bahwa karikatur Nabi Muhammad itu tidak ada, karena di era sekarang tidak pernah ada orang yang tahu persis wajah Nabi itu seperti apa. Jadi menganggap itu sebagai sebuah bentuk penghinaan adalah hal yang tidak tepat, dan marah-marah hingga membunuh orang lain tidak dibenarkan.

Aksi-aksi pembunuhan di Prancis tersebut tentu tidak asing bagi kita bahwa mereka yang membunuh adalah orang yang mempunyai pemahaman Islam radikal dan juga ekstremis. Literatur keislaman yang mereka pelajari sangat dangkal sehingga menyebabkan pemahaman anarkis yang menghalalkan darah karena ketersinggungan. Teks-teks keagamaan yang mereka pahami juga tidak relevan digunakan dalam ruang dan waktu kondisi sekarang.

Negara Prancis yang mereka tinggali adalah sebuah negara modern berbentuk kebangsaan yang menghargai setiap jiwa dan nyawa seseorang termasuk para imigran dan minoritas agama seperti Islam. Perilaku brutal tersebut malah akan berefek menyudutkan posisi umat Islam Prancis yang merupakan populasi minoritas di sana.

Islam Nusantara dan Islam Prancis: Islam vis-à-vis Budaya Lokal

Islam kawasan menjadi salah satu kajian yang menarik dibahas sepanjang abad kontemporer ini. Ia menjadi satu tawaran solusi yang berangkat dari budaya lokal atas merebaknya kasus radikalisme dan ekstremisme agama yang mencuat di berbagai negara bangsa modern hari ini. Ideologi impor dari luar ini diam-diam kerap mengobrak-abrik nilai budaya singgahannya dan mengusik harmonisasi penduduk setempat.

Paham pemikiran Islam wilayah ini diadopsi oleh sebagian negara seperti yang terjadi di Indonesia. Salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) mencanangkan Islam Nusantara sebagai sebuah platform pemikiran yang menyebarkan nilai-nilai moderat dan inklusif. Pemikiran ini digali dari corak masyarakat dan corak budaya bangsa untuk diakulturasikan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang arif. Produk nyata Islam Nusantara adalah penyebaran pemikiran yang menyatakan bahawa Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Di Prancis, diskursus mengenai istilah Islam Prancis memang tidak pernah disebutkan secara gamblang dan formil. Namun, wacana-wacana yang senafas dengan ini terus didiskusikan dan diperjuangkan oleh pemerintah, akademisi maupun sebagian besar masyarakat muslim Prancis. Hal ini mengingat sejarah pahit Prancis dan karakteristik masyarakat yang lekat dengan prinsip laïcité-nya, dan tidak pernah bisa dipisahkan dari prinsip hidup warganya.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Namun, seiring bergeraknya peradaban, laïcité ini diamandemen sesuai kondisi zaman. Meskipun banyak aliran di Prancis tentang penafsiran laïcité ini, tetap saja yang dicita-citakan kaum moderat Prancis adalah Islam yang sesuai dengan kearifan budaya Prancis, yang bisa harmonis dan kolaboratif dengan sesama warga negara Prancis. Cendekiawan Muslim progresif jebolan Sorborn University, Muhammad Arkoun pernah menyatakan bahwa laïcité Prancis ini pada prinsipnya selaras dengan Islam.

Macron dan Perjuangan Melawan Radikalisme

Pidato Perdana Menteri Prancis, Emmanuel Macron, yang mengecam aksi pembunuhan di negaranya menuai kecaman dari berbagai negara berpenduduk Muslim, tak ketinggalan tokoh nasional di tanah air. Pidato Macron tersebut memang dengan tegas menyebut Islamis radikal untuk diperangi.

Namun yang perlu dipertanyakan dan dikaji ulang adalah apakah Macron ini benar-benar penganut Islamophobia sehingga kita mengamini perspektif para pengecamnya. Apakah benar Macron ini ingin memarjinalkan umat Islam secara umum atau sebenarnya ia berusaha mempertahankan negaranya. Jangan sampai kita terjebak paradigma sempit Islamophobia yang isunya semakin panas digoreng oleh kaum ekstremis dan radikalis karena menemukan momentumnya.

Jika kita menelisik ideologi politiknya, Macron yang berasal dari Partai Sosisalis justru memperjuangkan hak-hak minoritas agama maupun imigran. Ia memenangkan pertarungan politik dari ideologi partai konservatif maupun partai sayap kanan. Ayang Utriza Yakin, cendekiawan Muslim yang concern pada isu keislaman dan Eropa berpendapat bahwa yang dimaksud radikal dalam pidato Macron itu sifatnya netral untuk semua agama mengingat masa lalu Prancis yang kelam akan perang saudara karena agama. Setiap radikalis agama harus diperangi dan dalam kasus ini radikalis Islam menjadi target karena ia adalah momok yang akan menghancurkan tatanan negara.

Macron dan pemerintahannya sebenarnya tengah memperjuangkan hak-hak minoritas agama seperti Islam. Salah satu bentuk kebijakan yang akan dicanangkan olehnya adalah memutus seluruh pembiayaan dari luar untuk lembaga keagamaan. Pemerintah sendiri yang akan membiayai dana-dana lembaga dan institusi agama. Hal ini dimaksudkan untuk memotong rantai pemahaman radikalisme yang diimpor dari asing dan sebagai upaya kontrol pemerintah atas pemahaman agama yang harus selaras dengan nilai dan karakteristik bangsa.

Kontrol negara atas agama juga dicanangkan Macron di bidang pendidikan. Hal ini mengingat sebagian besar penduduk Prancis yang terpapar radikalisme agama adalah mereka dari kelompok pendidikan dan ekonomi yang rendah. Akibatnya mereka gampang masuk ke lembaga pendidikan radikal.

Ranah pendidikan memang salah satu yang ditargetkan oleh pemerintah Prancis untuk melawan radikalisme. Negara berusaha hadir dengan fasilitas dan dana pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang inklusif, moderat, dan sesuai dengan karakteristik bangsa Prancis. Akan difasilitasi pusat-pusat pengajaran bahasa Arab yang sebelumnya hanya terdapat di lembaga-lembaga radikalis. Prancis juga menggadang-gadang pendirian pusat studi Islam terbesar di dunia yang menawarkan inklusivisme Islam.

Adanya kebijakan-kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah Prancis ingin menggalakan pemikiran Islam yang sesuai dengan budaya Prancis, Islam Prancis yang harmonis, yang koeksistensif, dan kolaboratif bagi kelangsungan persatuan negara Prancis. Pendek kata, Islam Prancis sangat kompleks dan partikular.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Penerjemah buku-buku sejarah klasik dan penulis literasi Islam klasik dan kontemporer

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru