32.9 C
Jakarta
Array

Islam Moderat untuk NKRI Hebat

Artikel Trending

Islam Moderat untuk NKRI Hebat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kita harus semakin meneguhkan moderasi agama. Moderasi dalam artian agama tidak boleh dibawa kepada pemahaman dan bentuk pengamalan yang ekstrem (berlebihan)”, pesan Menteri Agama Lukman Hakim saat bertemu tokoh lintas agama di Istana Merdeka, Jakarta, belum lama ini.

Bahkan, dalam kesempatan yang sama, Presiden Jokowi juga menyampaikan tentang pentingnya peran pemuka agama untuk memelihara kedamaian, ketentraman, dan kondusifitas masyarakat. Kedamaian dan kondusifitas akan tercipta—terlebih di tengah situasi bangsa yang dirundung serangan teroris—mana kala segenap umat beragama di Indonesia menerapkan moderasi agama.

Dalam bingkai Islam, moderasi sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru muncul. Pada tanggal 1-3 Mei kemarin, ketika acara KTT Ulama dan Tokoh Intelektual Muslim Dunia atau High Level Consultation (HLC) of World Muslim Scholars on Washatiyat Islam, di Bogor, Jawa Barat, juga melahirkan resolusi urgensi membumikan Islam Moderat. Ini dipertegas lagi oleh Imam Besar Al-Azhar Mesir Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb. Ia berpesan kepada kaum muslim di Indonesia tentang pentingnya bersikap moderat dalam beragama.

Dari sini dapat ditarik sebuah benang merah; bahwa Islam moderat merupakan sikap beragama yang paling ideal untuk diterapkan dalam berkehidupan sehari-hari, tanpa terkecuali Indonesia. Dengan demikian, Islam moderat-lah yang mampu menghindari permusuhan dan konflik berkepanjangan di tubuh umat Islam dan dapat menyelesaikan berbagai konflik yang mendera dunia Islam.

Menurut Ibnu Atsir dalam An-Nihâyah fî Gharib al-Hadits, setiap sifat terpuji memiliki dua sisi (ujung) yang tercela. Sebagai contoh, sifat dermawan adalah pertengahan antara kikir dan boros; berani pertengahan antara takut dan sembrono.

Beberapa Tantangan

Sekjen Ikatan Alumni al-Azhar Internasional (IAAI) Muchlis M. Hanafi, ketika memberikan pengantar buku Islamic World View Karya Abas Mansur menjelaskan, ada dua persoalan umat saat ini yang menuntut untuk segera diselesaikan. Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan bahkan sangat ketat dalam memahami teks-teks agama (hukum-red) dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, kecenderungan ekstrem lain yang bersikap longgar dalam beragama dan belakangan mereka tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain—barat-utamanya (h. xvi).

Lebih lanjut, Muchlis mengatakan, dua sikap sebagaimana di atas sungguh amat merugikan Islam dan umat Islam. Kecenderungan pertama jelas telah mencoreng (citra negatif) Islam sehingga Islam distigmasisasikan sebagai ajaran yang disebarkan dengan teror dan pedang. Sementara kecenderungan kedua menjadikan Islam kehilangan jati dirinya karena larut dalam budaya dan peradaban lain (h. xvi).

Dan belakangan ini, kecenderungan pertama benar-benar terjadi yang diluapkan dengan cara mengebom tiga rumah ibadah di Surabaya dan diteruskan pada pengeboman aparat polisi hingga gugur seperti yang terjadi di Riau kemarin.

Dalam situasi inilah, sekali lagi, moderasi Islam menemukan urgensinya. Artinya, tidak ada solusi lain selain kita kembali pada karakter umat Islam sendiri, yakni ummatan wasathan. Umat yang tengah inilah yang mempunyai pemahaman yang luwes, tetbuka, mengedepankan dialog, tidak gampang menuduh sesat kelompok lain (menghargai perbedaan, toleransi, menebar perdamaian, dan memahami teks keagamaan secara komprehensif. Umat Islam, terutama di Indonesia, membutuhkan sikap beragama seperti ini.

Namun, membumikan Islam moderat bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan untuk kemudian diselesaikan secara bersama-sama.

Diantara tantangan atau hambatan dalam upaya membumikan Islam moderat adalah menguatnya radikalisme di kalangan generasi muda. Ini merupakan “kepanjangan tangan” dari kecenderungan pertama. Dilansir dari Antara News, data BIN mengungkapkan, 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal. Data yang menunjukkan bahwa 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad demi berdirinya negara Islam. Ini mencerminkan betapa konservatisme masih diminati di Indonesia.

Kemudian hambatan lainnya adalah  trent intoleransi semakin tinggi. Bisa dibayangkan betapa mirisnya bangsa ini jika ternyata benih-benih toleransi tumbuh di sekolah. Apalah daya menuntupi kenyataan ini. Pada rentan waktu Juli-September 2016 lalu, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menggelar penelitian di 2 SMA negeri dan 2 SMA swasta di kota Salatiga dan Singkawang. Dalam penelitian tersebut (dalam kuesioner) menunjukkan sekitar 25% siswa lebih nyaman berteman dengan siswa lain yang seetnis dan seagama. Sementara setidaknya ada 20% siswa lebih cenderung memilih Ketua OSIS yang seagama, dan lebih dari 40% siswa lebih setuju memilih pemimpin masyarakat yang seagama dan se-etnis.

Dua kondisi di atas semakin diperparah dengan adanya ujaran kebencian. Berita hoax untuk menghantam lawan dan ceramah provokatif yang menjadikan suasana semakin panas.

Gerakan Semesta

Diakui maupun tidak, sikap beragama yang paling cocok dalam kondisi kekinian dan kedisinian Indonesia adalah moderasi agama. Sebab, moderasi agama sesuai dengan nilai-nilai, budaya dan kondisi Indonesia yang plural.

Begitu juga Islam, harus benar-benar menerapkan dan membumikan sikap moderat dalam beragama. Hal ini juga sebagai komitmen awal Islam Indonesia, melalui para ulama, untuk menjaga Indonesia dan merawat nilai-nilai bangsa.

Mengingat banyaknya ganjalan dalam upaya membumikan Islam moderat, maka segenap para tokoh agama dan dibantu oleh pemerintah, wajib menjadikan dan membumikan Islam moderat sebagai gerakan semesta.

Dengan demikian, para tokoh agama, elit politik, pemerintah dan umat harus memiliki kesadaran nasional akan pentingnya Islam moderat untuk Indonesia hebat dan kuat. Sementara untuk mewujudkan sifat moderat, harus dimulai dari diri sendiri. Kemudian ditopang oleh teladan para tokoh agama. Setelah itu, sebuah perubahan dan kedamaian abadi serta kebaikan-kebaikan akan hadir di tengah kehidupan umat/masyarakat.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru