29.7 C
Jakarta

Islam Jaya Di Atas Perang, Benarkah Begitu?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam Jaya Di Atas Perang, Benarkah Begitu?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Terorisme seringkali dikaitkan dengan jihad, lebih tepatnya jihad qital (jihad perang). Penerjemahan atau pemahaman jihad dengan terorisme seperti ini banyak dilakukan oleh pelaku terorisme. Mereka merasa bahwa kejahatan yang mereka lakukan mendapat pembenaran agama yang mereka anut. Hal serupa juga terdengar dari anggapan sementara intelektual Barat yang menyatakan bahwa Islam jaya di atas pedang atau, bila disederhanakan lagi, “perang”.

Pemahaman pelaku terorisme dan anggapan sementara intelektual Barat itu hendaknya dikaji ulang. Sejarah dapat membantah segala pemahaman dan persepsi mereka yang keliru. Dalam sejarahnya, Islam tersebar dengan cara damai, seperti penyebaran Islam di Melayu. Bahkan, perang mendapat izin dari Tuhan untuk dilakukan setelah lima belas tahun Nabi Muhammad Saw. mengembangkan dakwah Islam.

Sebelum melangkah lebih jauh tentang Islam mencintai perdamaian, perlu kiranya memahami jihad dengan pemahaman yang benar. Ar-Raghib al-Ashfahani menyebutkan, bahwa jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Kemudian, al-Ashfahani membagi jihad menjadi tiga macam: (1) jihad menghadapi musuh yang nyata; (2) jihad menghadapi setan; dan (3) jihad menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing.

Dari tiga macam jihad tersebut, jihad yang paling berat adalah jihad melawan hawa nafsu. Karena, kata Imam al-Ghazali, “An-Nafsu aduwwun mahbubun.” Maksudnya, nafsu itu adalah musuh yang dicintai, sebab ia berada dalam diri masing-masing orang. Nabi Muhammad Saw. menyebutkan: “Mujahid sejati adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya karena Allah.”

Namun, banyak pemeluk agama yang salah memahami jihad. Mereka hanya sibuk berjihad dengan perang. Apalagi, mereka berperang dengan motivasi yang keliru. Mereka melupakan jihad terberat melawan hawa nafsu yang berada dalam dirinya sendiri. Mereka termasuk orang yang merugi, karena keselamatan dirinya telah diabaikan. Malahan lebih sibuk menyerang orang lain.

BACA JUGA  Politik Dinasti Jokowi, Apakah Dibenarkan oleh Agama?

Kemudian, jihad dengan melawan musuh itu hendaknya dipahami dengan pemahaman yang konprehensif (bukan parsial). Jihad ini hendaknya dipahami hal-hal apa saja yang diperbolehkan perang itu dilakukan. Disebutkan dalam surah al-Hajj ayat 39-40, bahwa perang itu boleh dilakukan jika bertujuan untuk mempertahankan keselamatan jiwa, agama, dan tanah air. Lebih dari itu, tidak diperbolehkan, semisal berperang sebab orang lain itu tidak sepemikiran dan seagama.

Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Ali Jumu’ah menyebutkan enam syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme: (1) cara dan tujuannya jelas dan mulia; (2) perang diperbolehkan dengan pasukan perang yang memerangi, bukan penduduk sipil; (3) perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai; (4) melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusia; (5) memelihara lingkungan, antara lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah/bangunan; (6) menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.

Beberapa syarat dan etika perang yang disarankan oleh mufti besar Mesir tersebut jelas berbeda dengan aksi-aksi terorisme. Terorisme itu dilakukan dengan tujian politis dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Pertumpahan darah dan korban berjatuhan sebab tangan para teroris. Mereka tidak melindungi lawan yang mereka sasar. Bahkan, yang sangat kelihatan kejahatan terorisme telah merusak lingkungan, seperti menghancurkan bangunan yang tegak berdiri.

Terorisme, melalui uraian tersebut, jelas berlawanan dengan misi Islam: perdamaian. Terorisme telah menghadirkan ketakutan. Lebih dari itu, terorisme juga bertentangan dengan fitra manusia yang cenderung tidak menyukai kejahatan atau kekerasan dan lebih mendambakan kedamaian. Bahkan, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tidak dibenarkan tuduhan sementara pemikir Barat yang menyebutkan bahwa Islam maju di atas peperangan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru