31 C
Jakarta

Islam itu Agama Cinta, Tidak Keras dan Bukan Teroris!

Artikel Trending

KhazanahOpiniIslam itu Agama Cinta, Tidak Keras dan Bukan Teroris!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Imam Ja’far al-Shadiq, cucu Rasulullah SAW pernah berkata, “Agama itu adalah cinta!”. Bahkan dalam kesempatan lain beliau bertanya, “Apalagi agama itu jika bukan cinta?”. Kiranya pernyataan maupun pertanyaan yang disampaikan Imam Ja’far al-Shadiq tersebut telah sangat jauh dari wajah Islam di zaman modern.

Islam kini tampil keras dengan berbagai alasan yang dibawanya, termasuk alasan dakwah. Padahal, Islam sejatinya agama yang disebarkan atau didakwahkan dengan penuh cinta, bukan dengan kerasan yang belakangan ini disebut terorisme. Tentu, aksi semacam ini telah sangat jauh dari makna Tuhan sebagai ar-Rahim, Maha Penyayang.

Pada sebuah riwayat juga diceritakan bahwa Rasulullah SAW setiap hari memberi makanan kepada pengemis buta dari kalangan Yahudi. Padahal, setiap hari pengemis itu selalu menyebut Rasulullah SAW sebagai pendusta. Beliau bahkan menyuapi pengemis tersebut dengan lembut, hingga setelah beliau wafat pengemis tersebut baru mengetahui bahwa selama ini yang memberinya makanan adalah Rasulullah SAW.

Singkat cerita, pengemis tersebut akhirnya memeluk Islam. Berdasarkan kisah ini, betapa bodohnya kita jika masih memandang Islam sebagai agama yang harus disampikan dengan keras apalagi memaksa. Rasulullah SAW tak pernah mengajarkan untuk bersikap keras dalam dakwah.

Kegagalan umat Islam menyadari bahwa Islam itu adalah agama cinta lagi damai sebagaimana makna Islam itu sendiri yaitu menuju kedamaian membuat Islam kini mulai dipandang sebagai ideologi yang berakar dari kekerasan.

Akibatnya, gerakan anti-Islam mulai muncul sebagai respon terhadap kegagalan tersebut. Bahkan belakangan ketakutan terhadap Islam kian menjadi-jadi melalui serangkaian aksi bakar salinan al-Quran oleh tokoh-tokoh politik yang mendukung gerakan anti imigran Islam.

Pembakaran salinan al-Quran oleh Rasmus Paludan, tokoh sayap kanan Partai Stram Kurs di depan gedung Kedutaan Besar Turki di Denmark beberapa pekan lalu hanya salah satu dari sekian banyaknya aksi pembakaran salinan al-Quran tersebut.

Kekerasan dan terorisme kini amat melekat pada Islam. Stigma ini diperkuat oleh berbagai propoganda para politisi yang mencari dukungan melalui gerakan anti Islam. Bahkan, secara terang-terangan dalam kampanyenya mereka menyebut akan membantu penolakan Islam jika mereka didukung dalam pemilu negaranya.

Sebagai contoh, dalam kampanyenya, Marine Le Pen seorang politisi asal Prancis mengatakan akan melarang penggunaan jilbab di tempat umum Prancis. Kampanyenya tersebut sukses memperoleh banyak suara dari masyarakat Prancis. Stigma buruk Islam pun dijadikan alat memperoleh kekuasaan. Peristiwa ini tentu dilahirkan oleh persoalan citra Islam yang sejak awal telah rusak sebagai akibat dari kekerasan berdakwah dan terorisme yang pelakunya disebutkan sebagai orang Muslim.

Melawan gerakan anti Islam yang kini akrab disebut islamofobia, maka sejatinya Islam harus kembali kepada kesejatiannya sebagai agama cinta, sebagai rahmat dari Tuhan, sebagai cinta Tuhan yang dirisalahkan oleh Rasulullah SAW. Kini, Islam harus didakwahkan dengan penuh rasa damai dan kasih sayang, bukan melalui kekerasan apalagi terorisme.

BACA JUGA  Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

Organisasi dakwah, kini harus mulai memahami bahwa bukan negara atau agama lain yang menjadi musuh mereka dalam dakwah, tetapi diri mereka sendiri. Sifat-sifat egoisme atau perasaan benar sendiri, merendahkan paham orang lain, arogansi dan memaksakan kehendak dalam dakwah hanya segelintir yang kini menjadi wajah Islam di Nusantara. Bahkan, pertikaian antar ormas Islam sudah menjadi berita lama di media-media online dan cetak. Tentu, ini juga sangat berbeda dari makna Islam sebagai jalan keselamatan.

Memang, di tengah propoganda anti-Islam dan teroris sangat sulit mengembalikan wajah Islam kembali pada kesejatiannya yaitu cinta. Namun, alangkah lebih bijak jika para umat Muslim sendiri tidak memperburuknya dengan dakwah yang bersifat memaksa dan terkesan arogan.

Selain itu, dengan mengembalikan esensi dakwah kembali ke nuansa cinta dan kasih, akan memperkuat kembali kepercayaan masyarakat maupun negara pada Islam. Maka, dengan sendirinya Islam akan kembali pada kejayaannya.

Meskipun pasti akan ada pertentangan dari pihak-pihak yang memang sejak awal membenci Islam seperti dahulu ketika Islam baru didirikan, bukan berarti hal tersebut membenarkan arogansi, kekerasan apalagi terorisme dilakukan dengan alasan dakwah. Bagaimanapun, sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dakwah mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan, cinta kasih dan damai.

Melalui sebuah pengantar dalam buku yang berjudul “Tuhan Maha Asyik” karya Sujiwo Tejo dan Muhammad Nursamad Kamba, ahli filsafat Islam Haidar Baqir berkata bahwa Tuhan bukan cuma logos, Dia adalah cinta. Artinya, agama juga merupakan cinta Tuhan kepada manusia. Perintah Tuhan adalah perintah cinta, bukan perintah dalam arti yang memaksa lagi keras. Jika kacamata perintah Tuhan dipandang sebagai kekerasan, maka manusia pun beragama dengan kekerasan.

Akibatnya, agama yang sejatinya jalan cinta akan berubah menjadi ideologi yang keras. Sebaliknya, jika Islam dipandang hanya sebagai agama bukan cinta, maka ia akan berubah eksklusif hanya untuk para pemeluknya. Padahal, dalam kacamata yang luas, Islam bisa ditemukan bahkan dalam rumah-rumah non-Muslim.

Peristiwa ini sebagaimana ucapan Muhammad Abduh yang berkata, “Aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam tapi tidak melihat orang Muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang Muslim namun tidak melihat Islam”. Akhirnya, untuk menutup artikel ini, mari mengingat kembali kutipan potongan sabda Rasulullah SAW dalam kitab Ihya karya Al-Ghazali yang berbunyi, “Cinta adalah asas ajaran (agama)-ku”. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ali Wardani
Ali Wardani
Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru