26.8 C
Jakarta

Islam Indonesia dan Budaya Damai

Artikel Trending

Milenial IslamIslam Indonesia dan Budaya Damai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Fenomena ujaran kebencian, berita hoak, intoleransi dan ekstremisme kekerasan atas nama agama merupakan ancaman dalam kehidupan umat beragama, berbangsa dan bernegara. Islam adalah agama yang kian masif dihujani problem yang merusak etika dan harmonisasi sosial.

Islam setengah dipaksakan untuk intervensi pada persoalan agama dan negara, narasi kekerasan (discriminative) tidak kunjung redup dari muara cinta dan keindahan umat Islam. Diterminasi politik kaum mayoritas mencoba melompat dari kedamaian ke arah kekerasan yang diawali oleh sikap intoleransi.

Peran negara mulai lemah tidak berdaya dalam menjaga momentum damainya umat beragama, bahkan. Di tengah krisis kesadaran kita banyak kalangan yang berbeda pandangan di internal agama Islam. Dan membuat toleransi persaudaraan dan perbedaan sesama umat beragama dan berislam kian sirna.

Di tambah lagi maraknya intoleransi, konflik sosial agama, hoak, dan ujaran kebencian yang memicu api permusuhan dalam hubungan persaudaraan kebangsaan, kemanusiaan, dan keberagamaan. Pun dalil-dalil Islam sendiri malah dikotomi dan dipolitisasi oleh oknum muslim demi suksesnya agenda politik.

Politik kaum ekstremis, radikalis, dan para aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia merancang agenda penegakan formalisasi syariat di bawah kepemimpinan atau khilafah Islamiyah guna mengganti ideologi negara, yaitu Pancasila. Ide kekhilafahan mereka sungguh mengikis hasrat kedamaian kita.

Dalam konteks politik, motif rasa cinta dan jiwa oknum muslim tampak memanfaatkan dalil-dalil agama Islam (khilafah) hanya untuk meraih kekuasaan. Dan aksi revolusi ideologi agama demi tergantinya ideologi negara, Islam hanya menjadi identitas di balik aksi buruk mereka yang berkepentingan.

Pada kenyataannya, banyak fakta yang menunjukkan Islam didakwa sebagai agama intoleran, ekstremisme kekerasan, radikal, dan produk teroris. Peristiwa ini digambarkan paska tindakan dan kebiadaban Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansarut Daulah, dan Hizbu Tahrir.

Kelompok tersebut bukan pahlawan agama yang cinta situasi-kondisi damai. Akan tetapi, mereka adalah pahlawan kekerasan yang menggunakan identitas agama Islam. Karena itu, doktrin agama memang tidak pernah mengajarkan kita bersikap keras. Justru sebaliknya mereka semakin bertindak anarkis.

Islam Intoleran

Ketika Islam dipersepsikan sebagai agama intoleran terhadap perbedaan dalam keyakinan (iman), maka menunjukkan fakta sebagian oknum muslim yang merusak citra agama dengan perilaku tidak sopan dan santun. Sehingga momen umat beragama terbengkalai menjaga oase kedamaian.

Padahal, semua agama tidak menuntut umatnya untuk melakukan kekerasan atau perilaku yang tidak sopan dan santun. Terutama Islam sendiri yang tercermin agama pengayom umat, dan agen kedamaian. Jalan damai pun pernah dilewati semasa Nabi Muhammad SAW hidup di kota Madinah.

Di mana piagam Madinah kala itu cenderung merangkul persatuan dan persaudaraan dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Nabi tidak terpikirkan meski menduduki jabatan pemimpin negara, hakim, dan legislator. Yang muncul hanyalah bagaimana di tengah perbedaan ini tetap rukun dan damai.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Konflik sosial dan agama semakin bertambah di berbagai daerah, hal ini salah satu faktor yang membuat momentum damai hilang di tengah kehidupan masyarakat majemuk. Di sisi lain, kekurang-aktivan tokoh agama dalam menggelar dialog lintas iman guna menjadi pintu damainya suatu konflik.

Wacana keislaman damai di berbagai media massa banyak disuguhkan ujaran-ujaran kebencian yang membuat banyak generasi semakin bersikap intoleran. Problem ini tentu perlu pemecahan dan peran banyak pihak untuk menpertebal keimanan kita terhadap doktrin agama dan syariat Pancasila.

Fakta lain memperlihatkan krisis budaya damai disebabkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengadu domba, baik dalam umat beragama maupun sesama umat Islam itu sendiri. Sehingga Islam dinilai agama yang memiliki doktrin pada intoleransi dan kontra terhadap budaya damai negeri ini.

Membudayakan Budaya Damai

Sumber budaya damai dipaparkan dalam maqasidus syariah (tujuan bersyariah), sebagaimana menjaga agama (al-hifd al-din) merupakan hal paling penting dalam menjaga akidah atau keyakinan. Pun agama sebagai agen kedamaian bagi umat beragama di Indonesia, maka menjaga agama sama dengan menjaga budaya damai.

Dalam kontek sosio-kultur, peran budaya damai dalam kehidupan sosial tidak hanya terwujud di negara Indonesia. Namun, pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika itu ia merumuskan piagam Madinah. Piagam ini memperkuat simbol kemajemukan dan budaya kedamaian.

Nabi pun merumuskan pada pasal 1 piagam Madinah, “Sesungguhnya mereka satu umat, bukan dari (komunitas) manusia lain”. Artinya, esensi dari komunitas umat itu adalah persaudaraan dan persatuan (budaya damai) yang tak dapat dipisahkan dalam sistem keberagamaan dan kenegaraan.

Di Indonesia, pelbagai konflik dan sikap intoleransi perlu solusi dan pemecahan guna memperkuat mozaik kebhinekaan dan keislaman. Dua dimensi kebangsaan ini sebuah refleksi yang harus kita wujudkan di negeri yang mayoritas muslim. Sehingga kaum minoritas selalu tidak merasa tertindas.

Apalagi pembajakan Islam cukup sering terjadi, maka dengan peran organisasi Islam moderat negara Pancasila (Indonesia) sangat terbantu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan demi tegaknya budaya damai. Paling tidak, kiprahnya langsung membuat dialog dan sosialisasi budaya damai.

Sosialisasi ini supaya membuat masyarakat sadar dan terbantu secara wawasan keagamaan. Kalau perlu budaya damai diangkat dalam kurikulum pendidikan agar ilmu pengetahuan tersebut dapat dipahami oleh generasi pendidikan kita. Sisi lain, adalah peran semua guru dan civil society.

Mengingat krisis praktik budaya damai dalam keberagamaan kita, maka masyarakat perlu memahami dan mengamalkan substansi damai sebagaimana dalam QS. al-Anfal ayat [61], “wa in janahu li as-salmi fajnah laha.” Artinya, dan jika mereka condong pada kedamaian maka condonglah kepadanya.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru