Yahya Cholil Staquf merupakan salah satu nama penting dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) saat ini. Ia merupakan seorang anggota Pengurus Besar NU yang pernah disebut akan menjabat sebagai menteri agama untuk menggantikan Lukman Hakim Saifuddin. Pada 19 Agustus lalu sebuah media Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, memublikasikan wawancara dengan Yahya mengenai Islam dan terorisme.
Terorisme dekat dengan Islam?
Time menerjemahkan transkrip wawancara Frankfurter Allgemeine Zeitung ke dalam Bahasa Inggris pada Jumat (8/9). Dalam wawancara tersebut, Yahya mengeluarkan sejumlah pernyataan bahwa pandangan fundamentalis mengenai Islam menjadi faktor pendorong terjadinya terorisme.
Ia mengkritik sejumlah politikus dunia Barat yang justru mengatakan bahwa Islam ortodoks atau yang berpandangan keras tidak memicu terorisme.
“Para politisi Barat harus berhenti berpura-pura seakan ekstremisme dan terorisme tak ada hubungannya dengan Islam. Padahal ada hubungan yang jelas antara fundamentalisme, terorisme dan asumsi dasar dari Islam ortodoks,” ujarnya.
Ia pun tak mengelak bahwa ada pengaruh negara-negara Teluk di Timur Tengah terhadap penyebaran paham yang melahirkan terorisme. “Selama lebih dari 50 tahun, Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya mempromosikan secara besar-besaran versi ultra-konservatif dari Islam ke seluruh dunia,” ucapnya.
Kejujuran bisa selesaikan masalah.
Menurut Yahya, untuk bisa menyelesaikan persoalan terorisme, kita semua harus jujur dan mencapai kesepakatan bahwa agama punya kontribusi dalam melahirkan kekerasan. Alasan itu juga yang membuatnya berbicara terbuka.
“Jika kamu menolak mengakui keberadaan sebuah masalah, kamu tak bisa menyelesaikannya. Seseorang harus mengidentifikasi masalahnya dan secara jelas menyatakan siapa dan apa yang bertanggungjawab atas itu,” tegasnya.
Hanya saja, Yahya menggarisbawahi bahwa ada banyak faktor lain yang ikut mendukung lahir dan berkembangnya terorisme, terutama di negara-negara Barat.
“Saya tidak berkata bahwa Islam adalah satu-satunya faktor yang menyebabkan muslim minoritas di negara-negara Barat terisolasi dari masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut dia, ada faktor-faktor lain dari negara yang mereka tinggali, seperti rasisme, yang terjadi di seluruh dunia. Namun, Islam tradisional – yang melahirkan perilaku segregasi dan permusuhan terhadap non-muslim – adalah faktor penting,” tambahnya.
Yahya sendiri menolak disebut Islamofobia. Sebab sebagai akademisi ia hanya mengatakan apa yang menurutnya memang sebuah fakta. Ia tidak ingin diskusi terkait Islam dan terorisme selalu dikaitkan dengan Islamofobia.
Doktrin Islam Ortodoks sudah ketinggalan zaman.
Sebagai salah satu akademisi, Yahya berpendapat bahwa asumsi dasar dalam fundamentalisme Islam tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Asumsi yang dimaksud mulai dari, “hubungan antara muslim dan non-muslim, hubungan antara muslim dan negara, serta hubungan muslim dengan sistem hukum tempat mereka tinggal”.
“Dalam tradisi klasik, hubungan antara muslim dan non-muslim diasumsikan sebagai permusuhan. Mungkin ini ada alasannya selama Abad Pertengahan, ketika pemikiran Islam ortodoks digalakkan, tapi saat ini doktrin itu tak masuk akal,” kata Yahya.
Terkait hubungan pandangan Islam ortodoks dengan sistem negara, ia membenarkan bahwa mendirikan khilafah adalah bagian dari tradisi Islam. “Dalam tradisi Islam, negara adalah entitas tunggal dan universal yang menyatukan semua muslim dibawah kendali seorang laki-laki yang memimpin mereka melawan dunia non-muslim.”
Bahkan, Yahya memandang bahwa seruan ISIS untuk membentuk khilafah memang diakui dalam tradisi Islam ortodoks. “Namun, kita tinggal di dunia yang terdiri dari negara-bangsa. Segala usaha untuk mendirikan negara Islam di abad 21 hanya akan mengakibatkan kekacauan dan kekerasan,” tegasnya.
Hukum syariah Islam sendiri menurutnya juga ada dalam Islam, tapi jika diterapkan saat ini akan sangat bertentangan dengan sistem legal yang sudah diakui. Agar ini tak terjadi, ia melanjutkan, ajaran Islam harus menyesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat yang terus berubah.
Yahya mencontohkan mayoritas muslim Indonesia berpendapat bahwa beragam asumsi yang terdapat dalam tradisi Islam harus dilihat dalam konteks sejarah, politik dan sosial saat kemunculannya di Abad Pertengahan [di Timur Tengah] dan bukan sebagai perintah mutlak untuk mendikte perilaku muslim saat ini”.
Terkait pernyataannya yang mungkin memicu kontroversi publik, IDN Times sendiri sudah melakukan konfirmasi kepada Yahya. Melalui akun twitternya, dia membenarkan bahwa pendapat yang dimuat dalam berita tersebut adalah benar dari dirinya. Bahkan, akun Yahya, @Staquf juga menautkan berita dari Time tersebut pada cuitannya.