29.8 C
Jakarta
Array

Islam dalam Fakta Histori Humanistis

Artikel Trending

Islam dalam Fakta Histori Humanistis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berislam pada 15 abad setelah kelahiran Islam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Islam lahir sebelum peradaban manusia mencapai puncak keilmuan yang mapan seperti saat ini. Dulu, persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan dengan cukup memakai pemahaman tekstual kitab suci maupun hadis. Sebab Al-Quran turun sesuai kebutuhan sosial kemanusiaan pada waktu itu, sedangkan, sudah menjadi tradisi Tuhan bahwa peradaban makhuk yang disebut manusia dengan bekal akalnya akan terus menuai perkembangan.

Apalagi Nabi sendiri telah memprediksi Islam nantinya akan terpecah menjadi 73 golongan “ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab terpecah menjadi 72 golongan dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, yang 73 golongan akan masuk neraka dan yang 1 golongan akan masuk syurga” (HR. Abu Dawud). Dari banyaknya golongan yang akan muncul, tidak akan lepas dari faktor social history hingga sampai detik ini kita menyaksikan keributan soal Islam yang sudah luar biasa.

Di luar pembahasan mengenai perpecahan macam apa yang kehendaki Nabi, adalah semua bentuk perpecahan itu terjadi akibat perubahan fakta sosial kemanusiaan yang menuntut pembaharuan interpretasi terhadap teks. Sejarah mencatat mulai dari pemerintahan Ali bin Abi Thalib kaum muslimin telah dihadapkan pada sebuah pilihan mazhab, memilih kubu Ali atau kubu Muawwiyah, atau bahkan tidak melakukan pilihan layaknya kaum Khawarij.

Perseteruan dua kubu partai besar tersebut dilandasi oleh teks Al-Quran surat Al-Anfaal ayat 39, “dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan supaya agama itu semata-semata hanya untuk Allah.” Para pendukung kedua belah pihak memahami bahwa mereka harus melakukan perang sampai jelas siapa yang akan menang. Sebab tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh dua orang pemimpin sehingga akan memicu terjadinya fitnah, sebab kedua belah pihak mengklaim yang paling berhak untuk memimpin Islam.

Persoalan interpretasi seperti inilah yang melahirkan sebuah perbedaan, fakta bernegara dan perubahan sosial kemasyarakatan waktu itu menuntut perkembangan wacana Islam, dan otomatis akan melahirkan perbedaan penafsiran terhadap kitab suci Al-Quran. Sekarang coba kita renungkan, pada masa Ali yang masih dekat dengan masa kenabian saja telah muncul perbedaan yang mengkibatkan pertumpahan darah, lalu bagaimana dengan abad ke-21 saat ini dengan selisih 15 abad lamanya.

Kalau kita lihat sejarah, kata Sumanto Al-Qurtubi: masa pra dan pasca Perang Dunia II yang tampil sebagai primadona dunia dalam mengawal suksesnya sebuah konflik adalah ideologi kebangsaan (nasionalisme), kapitalisme, dan komunisme. Akan tetapi pada akhir abad ke 20 yang menjadi benih tumbuhnya berbagai konflik adalah kebangkitan sensitifitas terhadap persoalan agama dan etnisitas.

Bentuk kerusuhan yang ditimbulkan manusia itu sendiri, mengakibatkan lahirnya macam-macam pertanyaan dari setiap golongan yang membutuhkan sebuah jawaban untuk melindungi kebenaran sesuai konsepnya masing-masing. Islam mulai melakukan reinterpetasi terhadap turast-turast sampai kepada nash Al-Quran dan Hadis. Sehingga pada tahun 1976 pasca perang Arab melawan Israel yang mengakibatkan kekalahan bangsa Arab memunculkan para pemikir Islam yang melahirkan dua garis besar keislaman, yakni ekstrim dan moderat.

Pemberdayaan Islam Era Nation State

Bagi kaum muslimin, berislam berarti hidup dan mati adalah untuk Islam, sebab dengan Islam mereka akan selamat di dunia dan akhirat. Persoalannya adalah, dalam Islam terdapat berbagai wacana keilmuan yang harus diaplikasikan dalam kehidupan, dan yang paling riskan saat ini adalah persoalan jihad bagi kaum muslimin yang nyata-nyata diwajibkan oleh Tuhan bagi setiap kaum muslimin sebagai upaya untuk pemberdayaan Islam.

Jika kita amati pada bab-bab jihad dalam kutub al-fiqh (kitab-kitab fikih) akan ditemukan redaksi yang relatif sama, yakni “hukum jihad adalah wajib kifayah jika orang kafir masih berada di luar negara kekuasaan Islam dan menjadi wajib ain bagi seorang muslim jika orang kafir telah masuk ke negara Islam.” Coba kita cermati dalam redaksi kitab-kitab turast tersebut sering menyebut kata “Dar al-Islam” religion state. Namun faktanya pada abad kita yang ada adalah nation state bukan religion state.

Kita mulai pembahasan ini dengan pola pemahaman terhadap pendapat mazhab empat, di antara ke empat mazhab, Imam Syafi’i merupakan orang yang memiliki pendapat paling ekstrim. Ia mengatakan: “alasan orang Islam melakukan perang adalah kekufuran”, sehingga pendapat ini berimplikasi terhadap halalnya memerangi kaum sebab kekufuran semata.

Kemudian ketiga mazhab yang lain yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan: “alasan orang muslim melakukan peperangan adalah dar al-hirabah” yakni sebuah perlawanan terhadap serangan. Pendapat ini memberi implikasi hukum bahwa tidak boleh memerangi orang kafir selama mereka tidak menyerang negara kita, dan pendapat ini agaknya lebih kontekstual pada kondisi zaman kita sekarang ini.

Akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa dalam pembahasan “jihad” para ulama tak lepas dengan penyebutan kata “dar al-Islam” sehingga dalam aplikasinya saat dihadapkan pada rumusan ketatanegaraan modern yang memakai sistem “nation state” akan cenderung bias. Sebab realita sekarang, antara muslim dan non muslim berada dalam satu negara, dan membangun bersama-sama suatu negara tersebut seperti Indonesia.

Realita berbangsa saat ini jelas berbeda dengan realita berbangsa pada masa awal Islam yang memakai sistem khilafah (religion state). Kita tidak mungkin untuk memakai metode jihad ala Imam Syafi’i atau ketiga mazhab yang lain “tanpa modifikasi” dalam fakta keindonesiaan. Kita juga tidak boleh mengingkari apalagi menyesali realita berbangsa semacam ini. Sebab sistem bernegara dalam Islam pada abad ke-7 sampai awal abad ke-20 (khilafah sentralistis), bukan merupakan sistem yang diperintahkan oleh Nabi saw. Dibuktikan bahwa Nabi tidak pernah mengatakan pengganti setelah dirinya adalah dari golongan keluarganya.

Satu lagi fakta sejarah kenabian yang tak boleh dilupakan bahwasanya suatu saat, ketika Nabi sudah mencapai kemapanan dalam legitimasi politik bernegara, ia lebih memilih jalur politik perjanjian damai yang masyhur disebut perjanjian Hudaibiyah dibanding jalur perang saat hendak menuju Mekah untuk melakukan ibadah haji. Padahal dalam perjanjian itu terdapat poin-poin yang menuai kontroversial di antara sahabat khususnya Umar bin Khattab.

Kemudian untuk memperkuat pendapat keutamaan jihad jalur diplomasi, adalah pernyataan Wahbah Zuhaili yang mengutip dari sebagian pakar politik dalam kitabnya fiqhul Islami wa Adillatuhu, “Sebagian ahli siyasah  kontemporer menjelaskan bahwasanya kewajiban melakukan jihad saat ini telah gugur dari berberapa macam bentuk kewajiban dalam agama Islam.”

Jihad yang dimaksud dalam kutipan Wahbah Zuhaili tersebut adalah jihad yang bernuansa peperangan, angkat senjata. Sedangkan kewajiban jihad di era nation state hari ini, adalah harus bertransformasi kearah diplomasi untuk menjaga perdamaian dunia, sebab bisa jadi negara yang kita perangi terdapat warga muslim yang berdomisili.

Oleh: Mukhamad Ali Masruri, menggeluti isu-isu sosial-keagamaan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru