31.4 C
Jakarta
Array

Islam Agama Terbuka

Artikel Trending

Islam Agama Terbuka
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Adalah kesepakatan keimanan seluruh kaum muslimin bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah agama yang dihadirkan untuk menjadi petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia. Pandangan ini didasarkan pada teks suci al Qur-an : “Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(Q.S. al-Saba,[34:28]. Dalam teks lain dikemukakan bahwa visi atau tujuan akhir agama ini adalah terwujudnhya kerahmatan global (kasih sayang). “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam”.(Q.S. al-Anbiya,[21: 107).

Berdasarkan teks al Qur-an tersebut, maka seluruh manusia meski memiliki latarbelakang kultutal, etnis, warna kulit, bahasa, kebangsaan dan jenis kelamin, menempati posisi yang sama di hadapan-Nya. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam al Qur-an : “Wahai manusia, Kami ciptakan kamu sekalian terdiri dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah)”.(Q.S. Al Hujurat, 13). Manusia juga merupakan makhluk Tuhan yang dihormati. Al-Qur’an menyatakan “Dan sungguh, Kami memuliakan anak-cucu Adam dan Kami bawa (angkut) mereka di daratan dan lautan. Kami berikan mereka rizki yang baik-baik, dan Kami unggulkan mereka dari kebanyakan ciptaan Kami yang lain”.[Q.S. al-Isra, [17:70]. Ini adalah pernyataan paling tegas tentang universalitas Islam.

Ajaran-ajaran Islam adalah lengkap (syamil). Kelengkapan Islam muncul dalam konsep “Trilogi Islam”. Trilogi ini merupakan ajaran yang mewadahi dimensi-dimensi manusia. Pertama, dimensi keimanan. Dimensi ini berpusat pada keyakinan personal manusia terhadap “Kemahaesaan Tuhan”, pada “al Nubuwwat” (kenabian dan kitab-kitab suci) dan“al-Ghaibiyyat” (metafisika/ma ba’da al-thabi’ah). Dimensi ini biasanya juga dikenal dengan istilah “aqidah”, sebuah komitmen. Kedua adalah dimensi aktualisasi bagi keyakinan tersebut yang bersifat eksoterik (hal-hal yang dapat dilihat, yang lahiriyah). Dimensi ini berisi aturan-aturan bertingkahlaku baik tingkah laku personal dengan Tuhannya, tingkah laku interpersonal yakni antar suami-isteri dan bertingkahlaku antar personal (mu’amalat). Dimensi ini biasanya disebut “syari’ah”. Aturan-aturan ini kemudian dirumuskan oleh para ulama Islam sebagai : aturan ibadah, aturan hukum keluarga (al ahwal al syakhshiyyah), dan aturan mu’amalat atau pergaulan antar manusia dalam ruang publik dengan segala persoalannya. Dimensi ketiga dari system Islam adalah norma-norma yang mengarur dan mengarahkan gerak hati-nurani (qalb). Ini merupakan aspek esoterik Islam yang melahirkan kehalusan budi, moral luhur atau al-Akhlaq al-Karimah.

Seluruh dimensi ajaran Islam tersebut diambil dari sumber-sumber otoritatif Islam yakni al Qur-an dan Hadits Nabi. Dua sumber utama Islam ini mengandung prinsip-prinsip, dasar-dasar normatif, hikmah-hikmah dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan bagi hidup dan kehidupan manusia. Dari sini para ulama kemudian mengeksplorasi dan mengembangkan kandungannya untuk menjawab kebutuhan manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah. Ekplorasi dan pengembangan tersebut dilakukan melalui alat analisis yang bernama Ijtihad, Istinbat atau Ilhaq al Masail bi Nazha-iriha (menganalogikan keputusan yang ada untuk memutuskan problem baru) atau nama lain yang sejenis, yang mengandung makna aktifitas-aktifitas nalar-intelektual yang bekerja secara serius. Alat-alat analisis inilah yang digunakan untuk menjawab berbagai problem sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya yang dibutuhkan masyarakat. Aktifitas nalar-intelektual ini dalam sejarahnya telah melahirkan khazanah intelektual Islam yang maha kaya dalam beragam dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktifitas intelektual kaum muslim paling produktif dalam sejarah Islam lahir pada tiga abad pertama Islam yang sering disebut orang sebagai zaman keemasan Islam.

Menelusuri aktifitas intelektual kaum muslimin pada tiga abad pertama Islam itu kita menemukan bahwa para sarjana Islam klasik ternyata tidak melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama dan pengetahuan umum. Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan adalah ilmu Allah yang mahakaya. Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan dengan mengadopsi secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik dan Persia terutama dalam bidang filsafat dan fisika. sejarah peradaban Islam abad pertengahan memperlihatkan kepada kita bagaimana para khalifah Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap ‘Ulûm al-Awâil  itu. Sejak abad VIII Masehi, Khalifah Hârûn al-Rasyid telah menarik ke istananya para cerdik pandai dan ahli bahasa dari segala bangsa dan agama. Mereka ditugasi menerjemahkan buku-buku ‘Ulûm al-Awâil. Penggantinya, khalifah al-Makmûn, bahkan mendirikan sekolah penerjemah dan perpustakaan terbesar ketika itu: “Bait al-Hikmah” yang berisi sejuta buku. Salah seorang penerjemah kenamaan adalah Hunain bin Ishâq, seorang Kristen. Dialah yang kemudian men-terjemah karya-karya kedokteran matematika, astronomi, fisika di samping karya-karya filsafat dan politik para sarjana Yunani. Sementara Al-Fazari menerjemahkan buku astronomi India; Shidanta karangan Brahmagupta.

Dari karya penerjemahan atas ‘Ulûm al-Awâil ini kemudian lahir para sarjana, ilmuwan dan filosof muslim; Al-Farabî, al-Râzî, al-Khawarizmi, Ibnu Sîna, Ibnu Thufail, Ibnu Bajah, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Al-Birunî, Ibnu Khaldûn dan lain-lain. Berkat mereka ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia modern di Barat.

Dengan begitu “ulum al-awail” diterima kaum muslimin awal dengan penuh penghargaan, tanpa menganggapnya sebagai bertentangan dengan Islam. Ilmu pengetahuan adalah bagian dari “hikmah” yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. “Yu’ti al-Hikmah Man Yasya. Wa Man Yuta al-Hikmah fa Qad Utiya Khairan Katsira”. (Dia menganugerahkan hiikmah (kepahaman yang dalam), kepada siapa yang dikehendaki Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah , ia telah benar-benar dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran). Mungkin tidak banyak diketahui orang bahwa Imam Al-Syafi’i, di samping pendiri mazhab besar, ia juga memahami dengan baik ilmu kedokteran. Abû ‘Abdullah al-Hâkim dalam buku biografi al-Syâfi’î menceritakan: “Khalifah Hârûn al-Rasyid di Baghdad, Irak, suatu hari bertanya kepada al-Syâfi’î tentang keahliannya di bidang ini. Imâm al-Syâfi’î menjawab: “Aku memahami dengan baik pikiran-pikiran orang Yunani seperti Arsitoteles, Porporius, Galenus, Epicurus dan lain-lain melalui bahasa mereka”. (Sami Nasyar, Manâhij al-Bahts ‘Inda Mufakkir al-Islam, 84-85). Meski demikian, beliau memang lebih suka ilmu-ilmu syari’ah dibandingkan ilmu-ilmu logika.

Menghargai beragam pandangan

Pada tataran pengetahuan keagamaan, bidang hukum adalah aspek ajaran Islam yang paling hidup dan paling produktif. Ini memang wajar karena ia berkaitan dengan tingkahlaku manusia yang tak pernah berhenti bergerak dalam ruang dan waktu yang semakin meluas dan cepat. Aspek ini juga paling dibutuhkan dan paling mudah dipahami banyak orang. Tidaklah mengherankan jika sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah menghasilan ratusan para ahli hukum Islam terkemuka (mujtahidin). Selain empat Imam mujtahid; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, antara lain adalah Abu Tsaur, Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyaiynah, Ibnu Syubrumah, Daud al-Zhahiri, Ibn Jarir al-Thabari dan lain-lain. Mereka bekerja keras mengeksplorasi dan mengembangkan hukum-hukum Islam bagi keperluan masyarakat yang senantiasa berkembang di wilayahnya masing-masing.  Setiap Mujtahid tampil dengan metodenya dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Produk-produk hukum mereka yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan “fiqh”, senantiasa memiliki relevansi dengan konteks sosio-kulturalnya masing-masing. Jika kita harus memetakan pola fiqh ke empat mazhab paling terkenal di atas, maka dapat kita kemukakan : Mazhab Hanafi adalah mazhab ahl al Ra’y(rasionalis), mazhab Maliki; mazhab “muhafizhin” (menjaga tradisi), Syafi’i mazhab al Tawassuth (moderat), dan Hanbali ; mazhab “mutasyaddidin” (literal ketat).  Pembagian pola atau katagorisasi ini tentu saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai kecenderungan utama atau umum. Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka dan para pengikutnya yang awal saling menghargai pendapat lainnya. Satu pernyataan yang sering dikemukakan mereka adalah “Ra’yuna Shawab Yahtamil al Khatha’ wa Ra’yu Ghairina Khatha Yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja benar). Dan “Ikhtilaf Ummati Rahmah” (perbedaan pendapat adalah rahmat).

Sikap menghargai pandangan orang lain yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Malik bin Anas melalui penolakannya terhadap Khalifah dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur yang menghendaki kitab  “Al Muwattha’” sebagai rujukan hukum bagi seluruh masyarakat muslim. Kepada Khalifah beliau mengatakan : “Anda tentu tahu bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum sesuai dengan kemaslahatan setempat. Biarkanlah masyarakat memilih sendiri panutannya. Saya kira tidak ada alasan untuk menyeragamkannya. Sebab tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim kebenaran atas nama Tuhan sekalipun”, (Inna likulli qawmin Salafan wa Aimmah).(Baca : Subhi Mahmasani,Falsafah al Tasyri’ fi al Islam, 89).

Upaya-upaya ke arah pengembangan hukum Islam sesudah abad IV H, memang kemudian mengalami proses stagnasi atau tidak berjalan secara progresif. Kecenderungan umum keberagaman umat Islam adalah mengikuti apa yang sudah ada, yang sudah jadi, produk para ulama sebelumnya. Pemikiran mereka direproduksi dalam beragam pola ; syarh(ulasan), hasyiyah (ulasan atas ulasan), matan (materi pokok) dan nazhm (syair).

Meski tak seprogresif kajian Fiqh, kemajuan juga terjadi pada disiplin ilmu pengetahuan Islam lainnya; Kalam (teologi), Tasawwuf, (sufisme/mistisisme), tarikh (Sejarah), Nahwu-sharaf (gramatika), Balaghah (Retorika), bahasa dan sebagainya.

Menghidupkan Teks

Dewasa ini sangat disadari bahwa produk-produk Islam tidak lagi cukup memadai untuk menjawab berbagai problem baru yang dengan cepat merubah struktur dan tradisi-tradisi masyarakat. Ada adagium yang sangat terkenal: “al-Nushush qad Intahat wa al-Waqai’ La Tantahi” (teks-teks adalah terbatas, sementara peristiwa-peristiwa kehidupan tak terbatas). Ibnu Rusyd dalam bukunya “Bidayah al-Mujtahid” mengatakan: “Al-Waqâi’ baina Asykhas al-Anasi ghair mutanahiyah wa al-Nushûsh wa al-Af’âl wa al-Iqrârat mutanahiyah”. (Tindakan-tindakan Nabi (al-af’âl) dan pengakuan-pengakuan (al-iqrârat) adalah terbatas, sementara peristiwa-peristiwa yang dihadapi manusia tidak terbatas. Adalah tidak mungkin bahwa hal-hal yang terbatas bisa memutuskan (menjawab) hal-hal yang tak terbatas”.

Karena itu upaya-upaya menghidupkan teks-teks fiqh untuk konteks kehidupan masyarakat kontemporer, sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dilakukan oleh para sarjana Islam. Beberapa hal yang bisa dijadikan dasar kontekstualisasi adalah :

  1. Mengkaji substansi, kausalita atau “illat” hukum yang terdapat dalam teks. Cara ini sejalan dengan kaedah fiqh : “al Hukm Yaduru ma’a ‘Illatihi Wujudan wa ‘Adaman”(Hukum berkutat pada ada atau tidak adanya illat atau kausalitas).
  2. Mengkaji sosio-kultural dan Politik yang melatarbelakangi teks-teks fiqh klasik.
  3. Menjadikan realitas sosial baru sebagai bahan analisis bagi kemungkinan dilakukannya perubahan hukum. Ini sejalan dengan kaedah “Taghayyur al Ahkam bi Taghayyur al Ahwal wa al Azminah wa al Amkinah”(hukum bisa berubah karena perubahan keadaan, zaman dan tempat).
  4. Perubahan hukum tersebut harus selalu mengacu pada empat hal : Keadilan, Kemaslahatan, Ke Kerahmatan dan Kebijaksanaan.

Problem Indonesia Hari ini

Realitas bangsa Indonesia sampai hari ini tetap saja tak bergerak ke arah kehidupan sosial yang lebih baik. Praktek hidup dan berkehidupan masyarakat memperlihatkan kondisi yang tak sejalan dengan norma-norma agama atau sebagaimana yang dianjurkannya. Realitas Indonesia adalah bangsa dengan kemiskinan yang besar, tingkat kesehatan yang masih buruk, dan yang fenomenal adalah tingkat korupsi dan suap (risywah) paling tinggi di dunia. Korupsi dan suap telah menjadi praktik yang menyebar dan merembes ke dan di mana-mana, seakan-akan semua warga bangsa ini, terlepas dari identitas kultralnya, mempraktikkannya. Sebagian orang menyebut “korupsi dan suap telah menjadi “budaya”, bangsa ini. Pada dimensi lain, kekerasan atas nama agama, radikalisme, premanisme, kekerasan seksual, dan sejumlah pelanggaran hak-hak asasi manusia semuanya terjadi hampir setiap hari dan di banyak tempat di negeri ini. Adalah sungguh ironis bahwa kondisi yang buruk dan memprihatinkan ini justeru terjadi dalam sebuah bangsa dengan jumlah warga muslimnya yang sangat besar, bahkan terbesar di dunia. Kesimpulan yang mudah kita tangkap adalah bahwa perilaku masyarakat muslim Indonesia masih memperlihatkan wajah-wajah yang paradoks. Ibadah individual yang bergemuruh dengan ratusan ribu tempat ibadahnya itu ternyata tidak/belum merefleksikan makna ketaqwaan sosial, ekonomi, politik dan budaya, dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Bangsa muslim Indonesia belum bisa membuktikan dirinya sebagai“Khair Ummah ukhrijat li al-Nas” (bangsa yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia).

Problem-problem ini tengah membutuhkan penyelesaiannya oleh kita sendiri, bukan oleh orang lain. Ini karena kitalah yang diperintahkan Tuhan untuk membebaskan manusia dari kehidupan dalam dunia gelap dan dekaden di satu sisi, dan melahirkan kehidupan yang bermartabat dan maju, di sisi yang lain. Tampaknya problem besar kemanusiaan ini tidak cukup hanya bisa diatasi dengan melakukan ibadah-ibadah individual dan retorika-retorika yang menyihir akal publik atau agitasi-agitasi yang memprovokasi kemarahan terhadap orang lain. Ini sama sekali tidaklah cukup. Tanpa mengurangi betapa pentingnya aktifitas-aktifitas individual ini, kita juga dituntut untuk berjuang secara terus menerus meningkatkan kecerdasan masyarakat, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, menegakkan supremasi hukum, menciptakan keadilan, menumbuhkan solidaritas sosial dan membebaskan penderitaan masyarakat dan penindasan atas mereka. Sejarah kehidupan kaum muslimin awal telah memperlihatkan kepada kita bahwa mereka tidak pernah melakukan pembedaan antara ibadah individual dan ibadah sosial, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu humaniora, filsafat, eksakta dan lain-lain. Malam-malam kaum muslimin generasi awal adalah malam-malam yang khusyu’ dalam rukû’ dan sujûd,  membaca dan mengkaji ayat demi ayat suci al-Qur’ân, merenungi keagungan dan keajaiban alam dan berdo’a dalam keheningan yang hangat. Sementara pada siang hari yang cerah, mereka bekerja di ladang, di puncak-puncak gunung, menggembala ternak, membantu teman-temannya yang lemah dan tak berdaya, mengeksplorasi ilmu pengetahuan dari manapun datangnya, berdiskusi dalam suasana yang sangat terbuka dan menghargai lawan pikiran, serta kerja-kerja sosial-kemanusiaan lainnya tanpa pamrih. Mereka digambarkan sebagairuhbânan fî al-lail wa fursânan fî al-nahâr (bagai rahib di waktu malam dan penunggang kuda di waktu siang). Mereka sangat memahami bahwa seluruh perjuangan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan menegakkan martabat kemanusiaan adalah ibadah atau pengabdian kepada Tuhan yang tidak kalah besar pahalanya dengan praktik-praktik ritual-spiritual yang massif dan intensif. Memadukan kerja spiritual, moral, intelektual dan aksi-aksi kemanusiaan adalah kunci kesuksesan mereka untuk membesarkan dan mengagungkan agama. Tak pelak, dalam seratus tahun kemudian, dunia yang gelap-gulita berubah menjadi cahaya. Hanya dengan cara itulah Islam akan kembali menjadi rahmat bagi dunia kemanusiaan.

(Kiai Husein Muhammad)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru