Harakatuna.com – Masih ingat perhelatan konser bertemakan “1001 Seasons of Elie Saab” di Riyadh, Arab Saudi, beberapa waktu lalu? Konser itu menampilkan para penyanyi dunia berpakaian seksi seperti Celine Dion, Jennifer Lopez dan lainnya. Ironisnya, di panggung, backdrop-nya adalah Ka’bah dan berhala-berhala di dalamnya. Konon, itu lambang kebudayaan pra-Islam belaka. Jadi Dion dan Lopez menyanyi dilatari hologram Ka’bah. Innalillah.
Di tengah gencarnya Arab Saudi mempromosikan diri sebagai garda terdepan penjaga moralitas Islam ala Wahabi, dunia justru disuguhi pertunjukan kontradiktif: konser megah namun menyimpang, sang diva dengan pakaian vulgar berdiri membelakangi simbol suci umat Islam. Itu jelas merupakan cermin nyata dari kemunafikan sistem yang mengaku paling suci; Saudi jadi amoral demi politik dan ulama Wahabi diam atas kemungkaran sejati.
Seperti itu juga, para dedengkot Wahabi di tanah air—yang gemar membid’ahkan, menyesatkan, bahkan mengafirkan ulama lain—justru bungkam seribu bahasa. Bagai kucing kehilangan lidah, mereka tak berani mengkritik kezaliman penguasa Arab Saudi yang jelas-jelas merendahkan simbol Islam. Menuduh ustaz lain sebagai “ahli syubhat” hanya karena berbeda pendapat, namun yang batil sendiri mereka diamkan. Naif, bukan?
Tetapi itulah wajah asli Wahabi: keberaniannya hanya muncul saat berhadapan dengan mereka yang lemah, sementara di hadapan penguasa yang menjamin pendanaan mereka, kendati batil, mereka tunduk seperti kadal jatuh. Ketika ulama kredibel seperti Gus Baha dan Quraish Shihab dijelekkan, difitnah, dan dituduh perusak akidah; para pengikut Wahabi ramai-ramai mengoceh bak katak yang ribut setelah hujan.
Namun ketika simbol agama diinjak-injak di negeri sendiri, mereka memilih diam. Diam yang bukan berasal dari kebijaksanaan, melainkan dari ketakutan kehilangan patronase politik dan finansial, yang kalau itu terjadi akan meruntuhkan sebaran Wahabisme global alias Wahabisasi. Kasus Riyadh Bajrey yang viral hari-hari ini, misalnya, semakin memperjelas satu ironi Wahabi, yaitu: ustaznya munafik dan jemaahnya dungu.
Riyadh Bajrey: Potret Ketololan dan Kesombongan Wahabi
Jika kemunafikan Wahabi di level atas sudah begitu vulgar, di level akar rumput, kebobrokan itu semakin tak terbantahkan. Lihat saja Riyadh Bajrey, ustaz Wahabi yang baru-baru ini viral karena kedapatan merokok sambil memancing di kapal, hanya mengenakan kolor dan kaos oblong. Padahal, ia kerap ngoceh sebagi si paling sunah, ikut manhaj salaf, dan berbagai label dusta lainnya, dan pada saat yang sama selalu menjelekkan orang lain.
Namun, yang lebih memalukan adalah responsnya ketika kasus tersebut viral. Alih-alih meminta maaf atau introspeksi, Bajrey justru menyombongkan diri di depan jemaahnya. “Mau apa lu? Gue emang perokok, so what?,” ucap congor Bajrey dengan nada mendongak penuh arogan.
Jelas itu bukan sekadar ketidaksantunan, melainkan bukti nyata mentalitas hipokrit yang diwarisi dari doktrin Wahabi: merasa paling benar, anti-kritik, dan menganggap diri berada di atas hukum moral. Bajrey, seperti kebanyakan ustaz Wahabi, hidup dalam ilusi kesucian diri sambil memandang rendah orang lain. Para ustaz Wahabi itu munafik; sok saleh di luar padahal di dalamnya busuk, takabur, serta tolol sekaligus congkak.
Kesombongannya semakin jelas ketika ia ‘ngamuk-ngamuk’ dan menyerang mereka yang mengkritiknya. Alih-alih menggunakan dalil untuk membela diri, ia memilih bahasa preman yang jauh dari etika seorang ulama. Padahal, Islam mengajarkan rendah hati, bukan arogansi. Tapi, bagi Wahabi seperti Bajrey, Islam hanyalah alat untuk menipu jemaah dan nyari cuan, bukan pedoman untuk islah. Tolol, memang.
Jika sang ustaz saja sudah tolol dan munafik seperti itu, bagaimana dengan jemaahnya? Pembelaan membabi-buta dari para ikhwan dan akhwat terhadap Bajrey membuktikan satu fakta: jemaah Wahabi itu dungu. Alih-alih menuntut perbaikan akhlak sang ustaz yang munafik, mereka justru berkoar dan sibuk nyebokin. Sebut saja Heri Pras, salah seorang jemaah Wahabi yang dungunya tak terkira. Innalillah.
Padahal, kesalahan yang dilakukan Bajrey bukanlah sekadar slip kecil, melainkan pengingkaran terang-terangan terhadap ajaran yang ia sendiri—sebagai Wahabi—gembar-gemborkan. Ketololan dan kesombongan Wahabi ternyata bersambut dengan kedunguan jemaahnya. Alhasil, Wahabi terus banyak membela. Siapa yang keukeuh membela itu? Jelas, mereka berasal dari kalangan yang sama, yakni sama-sama munafik dan dungu.
Jauhilah Kemunafikan dan Kedunguan Orang Wahabi
Kasus Bajrey dan pembelaan jemaahnya merupakan buah dari indoktrinasi buta yang diajarkan Wahabi: jemaah dibiasakan untuk ikut-ikutan (taqlid) tanpa kritik, mematuhi ustaz seolah mereka terbebas dari dosa (ma’shum). Akal dan nalar dibungkam, otaknya ditaruh di dengkul, lalu isi kepalanya diganti kedunguan berkedok ketaatan absolut pada figur yang dianggap ‘paling sunah‘. Hasilnya? Lahirlah Bajrey, Pras, dan para Wahaboy lainnya.
Jemaah Wahabi kehilangan kemampuan membedakan antara kebenaran dan kemunafikan. Mereka rela membela kesalahan ustaznya meski nyata-nyata bertentangan dengan syariat, karena dalam pikiran mereka, mengkritik ustaz sama dengan mengkritik kebenaran itu sendiri. Parahnya, kedunguan tersebut tidaklah kebetulan, melainkan hasil rekayasa sistemik. Sejak era Bin Wahhab, Wahabi telah membangun hierarki keagamaan yang menempatkan ulama sebagai gatekeeper kebenaran.
Masyarakat, dalam hal ini jemaah Wahabi, dipaksa tunduk pada fatwa ulama tanpa hak bertanya. Akibatnya, ketika sang ulama terjatuh dalam kemunafikan, jemaahnya tak punya mekanisme untuk mengoreksi. Yang ada hanya membela terus secara membabi-buta. Tentu, kasus Bajrey dan pembelaan jemaahnya hanyalah puncak gunung es dari kebobrokan Wahabi; kebatilan yang tengah berusaha menghancurkan Islam dari dalam.
Lihatlah bagaimana mereka gencar menyerukan amar makruf nahi mungkar, tetapi diam saat perempuan Yaman dibom dengan senjata buatan Saudi. Lihatlah bagaimana mereka ribut soal aurat dan lagu-lagu religi, tetapi bungkam saat konser musik dan klub malam bermunculan di Riyadh. Wahabi telah mengejawantah sebagai legitimator penguasa untuk melakukan apa saja, termasuk menghancurkan Islam, demi kekuasaan di tangan mereka.
Bajrey dan kroni-kroninya adalah produk dari sistem hipokrit: ustaz-ustaz yang paham keislamannya hanya di mulut, bukan di hati. Mereka pandai mengutip hadis dan ayat, tetapi kosong dari keteladanan. Wahabi lantang menyalahkan orang lain, tetapi buta akan kemunafikannya sendiri. Seperti kata Nabi, Al-Qur’an hanya sampai di kerongkongan mereka saja. Dan jemaahnya? Tidak hanya dungu, tapi juga bangga akan kedunguannya.
Untuk itu, seluruh Muslim WAJIB sadar, bahwa Wahabi, dengan segala ironinya, bukanlah representasi Islam, melainkan parasit yang tengah berusaha menghancurkan ajaran Nabi Saw. Kasus Riyadh Bajrey juga menegaskan, bahwa kontra-Wahabi bukan soal perbedaan mazhab belaka, melainkan pertarungan melawan kebatilan dan kemunafikan. Umat harus bangkit untuk melawan Wahabi. Jangan kasih ruang untuk si penista Islam!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…