30.8 C
Jakarta
spot_img

Ironi Khilafahers HTI: Buta Politik dan Pandir Ilmu Pengetahuan

Artikel Trending

Milenial IslamIroni Khilafahers HTI: Buta Politik dan Pandir Ilmu Pengetahuan
image_pdfDownload PDF

Sebagai salah satu negeri Muslim terbesar, Indonesia semestinya ada di garda terdepan dalam upaya pembebasan Palestina. Dengan kekuatan tentaranya dan bekal ideologi Islam yang ada padanya, Indonesia semestinya mampu memimpin pembebasan Palestina… Sayang di bawah kepemimpinan rezim sekuler demokrasi kapitalis hari ini, potensi besar tersebut menjadi mandul sama sekali. Alih-alih seperti pasukan khilafah di bawah kepemimpinan Umar bin Khaththab, atau pasukan jihad di bawah kepemimpinan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang dengan gagah berani dan didorong iman yang tinggi menjadi pasukan pembebas Palestina, pasukan yang dimiliki Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya hari ini dibiarkan tidak berfungsi selain untuk kepentingan pragmatis dan seremoni.”

Harakatuna.com – Baca dengan cermat potongan artikel tersebut. Judulnya “Stop Retorika, Palestina Butuh Aksi Nyata!,” dimuat di Muslimah News, website milik para khilafahers HTI. Di situ, penulis menyorot kunjungan Presiden Prabowo pada KTT G20 2024 di Brazil. Dalam kesempatan pertemuan bilateral dengan Sekjen PBB Antonio Guterres itu, Prabowo menyampaikan dukungan dan kesiapan RI untuk memperkuat pasukan perdamaian PBB di Palestina.

Namun, alih-alih mendapat apresiasi, Prabowo justru dicecar orang-orang HTI sebagai presiden yang omon-omon belaka, karena menjadikan isu Palestina sebagai retorika yang tidak ada hasilnya. Selain itu, para khilafahers HTI menyebut ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengalienasi isu Palestina sehingga perkembangan terbaru soal Palestina susah ditemukan. Singkatnya, HTI ngomel-ngomel tentang Prabowo.

Jadi, menurut HTI, Indonesia harus segera mengirim tentara ke Palestina. Secara tidak langsung, mereka meminta tolong TNI untuk bergerak. Padahal, pada saat yang sama, mereka menuduh TNI dan semua perangkat negara sebagai antek-antek kapitalis-sekuler yang anti-Islam. Ada pertentangan yang aneh di situ, yang menegaskan ironi HTI itu sendiri, yaitu: buta politik sekaligus pandir ilmu pengetahuan.

Bagaimana tidak, mereka menuduh perjuangan membela Palestina yang diupayakan pemerintah Indonesia sebagai retorika. Sementara, mereka sendiri yang mengaku ‘si paling Islam kaffah’ itu tidak ada yang berangkat ke Palestina. HTI takut berperang, hanya nyerocos di medsos, tapi menuduh pemerintah sebagai retoris yang tak memperjuangkan Islam. Aneh, bukan? Sok melek politik, tapi mereka sendiri pengecut.

Selain sok-sokan paham geopolitik, khilafahers HTI juga bebal soal ilmu pengetahuan. Mereka yakin, Islam akan maju kalau berhasil mendominasi kekuatan politik dunia. Hanya politik, tidak perlu yang lain, makanya HTI mengajarkan pemberontakan. Ihwal sains dan seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang selama abad pertengahan, bagi HTI semua itu tidak penting. Mereka anti-sains dan mengincar jabatan politik belaka. Sangat naif.

Peran Sains dalam Golden Age Islam dan Renaisans

Narasi khilafahers HTI bahwa sains bukanlah faktor penting dalam Renaisans maupun masa keemasan Islam mencerminkan pemahaman sempit tentang sejarah peradaban itu sendiri. Anggapan tersebut mengabaikan kontribusi ilmu pengetahuan sebagai fondasi kemajuan masyarakat dan mencoba menggeser narasi ke arah yang politis an sich. Padahal, baik Islam pada abad VIII-XIII maupun Eropa pasca-Renaisans, tidak lepas dari peran sains.

Dalam sejarah, abad VIII-XIII disebut sebagai golden age atau masa keemasan Islam. Itu terjadi ketika ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Razi, dan ratusan lainnya mengintegrasikan tradisi keilmuan Yunani, Persia, India, dan Arab untuk menghasilkan karya-karya monumental. Filsafat, matematika, kedokteran, hingga astronomi berhasil mereka temukan dan menjadi kekayaan khazanah Islam.

Tentu saja, kemajuan sains di dunia Islam tidak terjadi dalam ruang hampa. Terdapat dukungan struktur intelektual yang mengakar pada konsep Islam tersebut. Ayat-ayat Al-Qur’an, dalam hal ini, mendorong umat untuk berpikir dan mencari ilmu. Itulah motivasi spiritual bagi para ilmuwan Muslim. Misalnya, ayat “Afala tatafakkarun” menjadi pompa epistemologis yang kuat bagi cendekiawan Muslim untuk mengeksplorasi alam semesta.

BACA JUGA  Doa Lampion Merah: Menelisik Ruh Imlek dari Kacamata Muslim Tionghoa

Lantas, di manakah posisi sistem politik? Kala itu, sistem politik Islam memang berperan, tetapi hanya sebagai fasilitator belaka. Khalifah al-Ma’mun, pendiri Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, mendukung pengembangan sains dengan mendanai penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun, peran politik sebatas menciptakan ekosistem yang kondusif; aktor utamanya tetaplah ilmuwan, intelektual, dan saintis.

Begitu juga dengan Renaisans di Eropa pada abad XIV-XVII. Ia tidak muncul secara spontan. Eropa pada masa Renaisans memanfaatkan warisan ilmu pengetahuan dari peradaban Islam, termasuk karya Al-Khazin dalam optik dan Al-Khawarizmi dalam matematika. Penerjemahan karya ilmuwan Muslim ke bahasa Latin selama abad XII-XIII adalah jembatan utama yang menghubungkan sains Islam dengan Eropa.

Sebagaimana dalam golden age Islam, Renaisans tak dibangun di atas fondasi politik semata. Sekalipun Florence atau patronase oleh keluarga Medici menyediakan dukungan finansial dan infrastruktur, peran sains tetap menjadi penentu arah. Penemuan ilmiah memicu transformasi ekonomi, teknologi, dan bahkan keagamaan, seperti Reformasi Protestan yang didukung kemajuan percetakan dan penyebaran ide.

Dari situ jelas, sains dan ilmu pengetahuanlah pelopor kemajuan peradaban. Umatnya maju, masyarakatnya maju, maka peradabannya juga banyak. Peradaban bukan wadah kosong yang tersedia untuk umat atau masyarakat yang pseudo-ilmiah. Peradaban yang maju lahir dari masyarakat yang maju secara intelektualitas dan didukung oleh stabilitas politik. Dalam konteks itu, jelas bahwa narasi HTI tentang kebangkitan Islam adalah omong kosong belaka.

Jangan Tertipu Khilafahers HTI yang Anti-Sains!

Narasi yang meremehkan peran sains dalam kemajuan peradaban mengandung kekeliruan epistemologis yang serius. Politik, tanpa landasan keilmuan, hanya mampu menghasilkan kekuasaan yang stagnan atau bahkan destruktif—korup, culas, dan nihil kemajuan dan kesejahteraan. Contohnya adalah Abad Kegelapan Eropa, yang lahir dari dominasi politik gereja tanpa concern ilmu pengetahuan dan penguasaan sains.

Adalah maklum ada sejarah, kemajuan politik bergantung pada inovasi ilmiah. Teknologi pengairan, teknik pertanian, navigasi maritim, dan percetakan adalah hasil dari kemajuan sains yang memungkinkan peradaban tumbuh pesat dan negara menjadi maju. Sejarah membuktikan, ilmu pengetahuan menciptakan solusi bagi masalah mendasar masyarakat, dari kesehatan hingga ekonomi, yang kemudian melahirkan stabilitas politik.

Dengan demikian, menyimpulkan bahwa politik adalah satu-satunya faktor kemajuan peradaban, sebagaimana yang khilafahers HTI selalu narasikan, adalah penyederhanaan yang keliru dan kebutaan politik yang akut. Politik memang penting sebagai kerangka institusional yang mendukung perkembangan masyarakat, tetapi ilmu pengetahuanlah motor penggerak sesungguhnya. Pandir ilmu pengetahuan justru menghambat kemajuan.

Masa keemasan Islam membuktikan bagaimana kemajuan peradaban dipicu oleh eksplorasi sains, sedangkan Renaisans Eropa menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan menjadi landasan revolusi sosial, politik, dan ekonomi. Meminggirkan peran sains dalam narasi sejarah tidak sekadar mengabaikan fakta, tetapi juga menghalangi umat dari kemajuan dan memantik kemunduran.

Kalau para khilafahers HTI kembali menyerukan bahwa politiklah satu-satunya pencipta kemajuan negara-bangsa, maka pegang saja kerah bajunya dan ludahi mulutnya. Sebab, omongan mereka adalah bullshit dan kepandiran yang tidak ada faedahnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru