Harakatuna.com – Pemerintahan Prabowo-Gibran, membawa sebuah harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk memajukan Indonesia di masa yang akan datang. Mereka berkomitmen akan membawa Indonesia ke arah pembangunan berkelanjutan dan kemajuan merata. Untuk memajukan bangsa dan negara ke depan, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memiliki visi yakni “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”.
Adapun Astacita atau delapan misi untuk mencapai visi tersebut, yaitu: pertama, memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Kedua, memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Ketiga, meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.
Keempat, memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Kelima, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Keenam, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
Ketujuh, memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Kedelapan, memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Visi di atas sebenarnya sudah dicanangkan dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Namun dalam 10 tahun terakhir pemerintahan yang sudah berjalan, pembangunan sebuah negara membutuhkan proses yang sangat panjang, sehingga dalam rentang waktu dua periode kepemimpinannya, masih menyisakan banyak PR pada pemerintahan selanjutnya. Catatan demokrasi yang diwariskan oleh Presiden Jokowi, cukup mendapatkan banyak perhatian publik. Hal ini karena, para ekonom sepakat bahwa Presiden Jokowi dalam dua periode kepemimpinannya berhasil memperbanyakan infrastruktur dan menggaet investasi. Namun, warisan baik tersebut dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi.
Masyarakat tentu masih ingat, pada tahun-tahun terakhirnya Presiden Jokowi menjabat sebagai presiden, ia mendapatkan peringatan keras dari para akademisi, mahasiswa, dikarenakan mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenang dengan memuluskan langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, pada Pemilu 2024. Hari ini, Gibran sudah menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Artinya, praktik politik dinasti dalam pemerintahan Indonesia berjalan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), baru-baru ini sudah merilis 3 buku berkenaan dengan kecacatan dan pelanggaran demokrasi dan HAM pada periode pemerintahan Jokowi. Artinya, dosa-dosa pemerintah pada pengambilan kebijakan, bisa dibaca oleh semua lapisan masyarakat sebagai bahan bacaan, agar kita selalu bisa mengawasi dinamika pemerintahan yang akan berlangsung di masa akan datang. Di balik kemunduran demokrasi itu, nyatanya para aktivis khilafah bersorak ria menerima cacatnya demokrasi dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berbondong-bondong hijrah kepada pemerintahan Islam. Benarkah ini solusi terbaik?
Intrik Licik Aktivis Khilafah
Fakta di atas merupakan sebuah fenomena yang diketahui oleh publik. Setiap masyarakat bisa menganalisis bagaimana dinamika pemerintahan Presiden Jokowi dan bisa berimajinasi ihwal pemerintahan Presiden Prabowo di masa yang akan datang. Kemunduran demokrasi yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya, diharapkan dapat diperbaiki dengan berbagai ruang dan kebijakan, serta dinamika pemerintahan yang sehat di bawah kepemimpinan Prabowo. Tentu, kritik, pendapat dan saran dari seluruh lapisan masyarakat, wajib jadi bagian dari proses demokrasi yang berjalan.
Namun, pikiran semacam itu tidak ada di benak aktivis khilafah. Sebaliknya, justru dijadikan bahan serangan oleh mereka dalam mempromosikan pemerintahan Islam sebagai solusi dari sekian banyak kecacatan yang terjadi pada praktik demokrasi. Mereka menuduh demokrasi sebagai jalan kelam dalam dinamika pemerintahan dan mengajak semua lapisan masyarakat berbondong-bondong mengakui pemerintahan Islam sebagai solusi terbaik.
Para generasi Muslim perlu untuk terus diingatkan bahwa, cita-cita pendirian khilafah di Indonesia hanyalah ilusi belaka. Melalui pikiran yang kritis dan cerdas, Islam yang dipahami adalah Islam yang menjunjung keadilan, perdamaian dan saling merangkul satu sama lain. Tentu, ini sangat tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi yang saling terbuka akan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, kita dituntut untuk terus mengawal praktik demokrasi agar mampu dijalankan dengan baik oleh para stakeholders, dan ini bukan salah sistem, melainkan pelaku dari sistem itu sendiri.
Propaganda yang dilakukan oleh para aktivis khilafah melalui narasi kelam demokrasi, perlu kita kritisi. Generasi Muslim tidak boleh terprovokasi oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam, apalagi menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi Indonesia. Itu semua hanyalah ilusi belaka. Wallahu A’lam.