33.2 C
Jakarta

Intoleransi Beragama di Indonesia dan Solusinya

Artikel Trending

KhazanahOpiniIntoleransi Beragama di Indonesia dan Solusinya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tren sikap intoleransi beragama di Indonesia, sebagaimana ditulis dalam laporan hasil survei Wahid Institute, senantiasa mengalami peningkatan dalam setiap tahunnya. Dalam data terbaru, lembaga yang sama juga mengungkapkan bahwa persentase intoleransi naik 8% dari tahun sebelumnya, dari mulanya 46% kini menjadi 54%.

Meningkatnya angka tersebut sejatinya disebabkan oleh banyak hal, namun para peneliti dan aktivis menyepakati bahwa faktor yang paling utama, setidaknya kerap ada dalam setiap hasil penelitian dan survei, adalah pemahaman yang ekstrim atas suatu ajaran agama.

Intoleransi beragama yang disebabkan oleh pemahaman yang ekstrim terhadap ajaran agama nampaknya bukan merupakan hal baru. Sejarah telah mencatat peristiwa 14 abad yang lalu, di mana seseorang dengan pemahaman agama terbatas membunuh sesosok pemimpin dengan dalih telah berpaling dari hukum Tuhan.

Kala itu, betapa paham keagamaan yang esklusif telah mengantarkannya pada arah yang salah. Namun sangat disayangkan, alih-alih menyadarinya, sang eksekutor khalifah tersebut dengan perasaan yakin dan penuh percaya diri berdiri di atas klaim “sesuai petunjuk dan firman Tuhan”. Ini merupakan fakta masa lalu dan kembali terulang di masa kini, di Indonesia.

Pemahaman agama yang kaku telah mengantarkan sebagain penduduk Indonesia pada tindakan yang anarkis, brutal, dan berlebihan. Beberapa peristiwa yang terekam jelas di antaranya adalah seorang ulama yang bernama Rizieq Shihab yang melakukan penistaan terhadap agama Kristen, pelarangan pendirian gereja, beberapa aksi sweeping yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (kini telah resmi dibubarkan) terhitung dari tahun 2005-2018 yang sangat meresahkan warga.

Kasus terbaru adalah tindakan sikap tidak terpuji para pendukung Ustaz Abdul Somad pascaditolaknya sang panutan untuk menginjakkan kaki di Singapura. Beragam tindakan intoleransi tersebut sejatinya merupakan sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang ada.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Tindakan-tindakan tersebut sejatinya tidak perlu dilakukan, sebab sangat banyak opsi untuk menjadi taat dan beriman tanpa harus mengganggu, meresahkan, dan mengancam nyawa orang lain. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang berbeda, baik agama, suku, budaya, warna kulit, dan lainnya.

Menjadikan intoleransi sebagai tradisi hanya akan menciptakan citra buruk bagi bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Sebagaimana disampaikan banyak akademisi, sejauh ini Indonesia sudah menjadi cerminan dunia dalam berbagai aspek, seperti pluralisme agama, moderatisme paham keagamaan, juru damai dunia, percontohan aplikasi demokrasi, dan juru toleransi beragama.

Hal tersebut seyogyanya tetap dipertahankan bahkan diupayakan untuk ditingkatkan, bukan justru dirusak diluluhlantakkan dengan tindakan intoleransi-vandalisme yang tidak dapat dibenarkan sama sekali. Dengan demikian, budaya intoleransi-radikalisme di Indonesia harus disadari bersama dan secara tegas dihentikan dengan segera.

Berbagai upaya yang dapat dilakukan di antaranya, pendindaklanjutan wacana Sertifikasi Dai yang dapat menyaring pendakwah secara selektif dan moderat, sekolah kebangsaan terfokus dan terintegrasi, penetapan Hari Toleransi Nasional, porsi muatan materi toleransi dalam buku-buku pelajaran sekolah ditambah dan dikontekstualisasikan, dan mencabut izin siar televisi, radio, YouTube, dan platform lainnya yang menyiarkan tayangan yang bersifat intoleran dan radikal.

Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menggerus sikap dan tindakan intoleransi yang kini sudah mulai menjamur di negeri ini. Berharap tananan negeri berada pada level yang ideal, usaha berkelanjutan yang terstruktur dan tertata rapih hingga ke bawah, bukan tidak mungkin mengantarkan Indonesia pada negeri yang didambakan, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru