30.1 C
Jakarta

Intoleransi Adalah Cobaan Kaum Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniIntoleransi Adalah Cobaan Kaum Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hashtag #TindakTegasIntoleran di Twitter berada di trending kelima, dan mencapai delapan belas ribu tweet. Warganet ramai-ramai mendesak Presiden Jokowi untuk mengentaskan intoleransi yang terjadi hari-hari ini. Gesekan antarumat beragama memang seringkali terjadi. Jelas ini di luar konflik internal setiap agama. Intoleransi bukan milik satu agama. Ia inheren dalam tatanan sosial kita.

Intoleransi terjadi misalnya di Karimun, Kepulauan Riau. Sekelompok warga setempat menolak renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjung Balai, dengan menggugat izin pendiriannya. Konon gereja tersebut sudah berdiri sejak tahun 1935 dan belum pernah direnovasi. Para jemaat seringkali terpaksa beribadat di halaman, karena hanya mampu menampung seratus orang.

Gereja yang didirikan oleh Pastor Engelmund Tromp itu sebenarnya bukan berstatus ilegal. Setelah sekitar delapan tahun mengurus surat perizinan, pihak gereja akhirnya mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) No. 0386/DPMTSP/IMB-81/2019 pada 2 Oktober 2019 kemarin oleh Bupati Karimun. Tiga bulan setelahnya, yakni 30 Desember, IMB tersebut digugat ke PTUN Tanjung Pinang.

Belum lagi pengrusakan Mushalla Al-Hidayah di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara, pada Rabu (29/1) lalu. Tempat beribada umat Islam yang berada di tengah mayoritas masyarakat non-Muslim tersebut dianggap mengundang kebisingan. Sempat terjadi ketegangan, hingga Bupati Minahasa Vonnie Anneke Panambunan mendinginkan suasana.

Apa yang menimpa umat Kristen di Kepulauan Riau dan apa yang menimpa umat Islam di Minahasa Utara hanya contoh kecil. Di negeri ini, intoleransi masih bisa dikatakan berada dalam persentase mencengangkan. Baik yang terekpose maupun yang tidak. Umumnya, sekat mayoritas-minoritas menjadi pemicu. Di samping singgungan-ketersinggungan  antarumat beragama.

Toleransi nyatanya masih menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia. Pluralitas juga faktanya belum diterima sebagai murni kehendak Tuhan. Akibatnya, intoleransi menjadi cobaan untuk keberagaman keberagamaan kita. Oleh karena sebenarnya tidak ada satu ajaran pun perihal intoleransi, maka perlu kita tanya, sebenarnya apa musuh besar toleransi kita?

Musuh Besar Toleransi

Islam tidak pernah mengajari pemeluknya untuk bersikap intoleran. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, nasnya sudah jelas, bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak ada hak untuk setiap Muslim berseteru lantaran berbeda. Apalagi perbedaan dengan outsider, bahkan perbedaan sesama umat Islam pun, atau dikenal perbedaan insider, tak patut untuk dipolemikkan.

Kristen pun, seperti juga agama-agama yang lain, tidak pernah mendoktrinkan intoleransi. Kitab suci mereka mengajarkan belas kasih antarumat manusia. Sehingga bila ada peristiwa seperti di Minahasa Utara, yang bermasalah bukan agama Kristen, melainkan umat pemeluknya. Lalu umat beragama dibuat heran, apa sebenarnya yang membuat mereka bersikap intoleran?

Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik beberapa hal penting. Pertama, fanatisme umat antaragama. Kedua, kecemburuan sosial. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi barangkali tidak signifikan. Sebab, intoleransi tersebut tidak terjadi dalam solidaritas mekanik, juga dalam ekonomi setara: sama-sama menengah ke bawah, misalnya.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Tetapi fanatisme benar-benar menjadi problem utama. Dalam contoh intoleransi yang terjadi, ketika merasa terganggu dengan peribadatan orang lain, maka ada yang absen dalam diri kita: kemanusiaan. Kemanusiaan itu tak akan hadir, kecuali fanatisme keberagamaan sudah hilang dari dalam diri kita. Sayangnya, kemanusiaan itu sendiri seringkali dianggap sesuatu yang tabu.

Memberangus fanatisme, itu artinya kita mengharapkan kemanusiaan. Sedang mengharapkan kemanusiaan, itu artinya kita mengedepankan toleransi. Musuh terbesar toleransi adalah fanatisme. Fanatisme sendiri tidak inheren dalam agama, melainkan murni penyakit para pemeluk agama. Karenanya, ketika intoleranis terjadi, merekalah yang mesti ditegur, bukan agamanya.

Lalu bagaimana cara memberantas fanatisme keberagamaan, sementara ia sendiri tak diajarkan oleh setiap agama?

Yang dapat kita lakukan adalah pelurusan doktrin, juga peneguhan kembali moderasi beragama. Kasus-kasus seperti di atas tidak akan terjadi, jika pandangan moderat tertanam dalam diri setiap umat. Fanatisme sendiri bukan organ tunggal. Di dalamnya ada eksklusivisme, absolutisme, di samping absennya humanisme. Itulah musuh terbesar toleransi kita.

Intoleransi dalam Masyarakat Kita

Telah banyak contoh intoleransi. Artinya, masyarakat kita banyak yang tidak siap menghadapi perbedaan. Nuansa keberagamaan kita cenderung masih hitam putih. Yang berbeda maka salah, yang seragam dipaksa tegakkan. Umumnya, rumah ibadah menjadi pelampiasan. Rumah Tuhan menjadi sasaran dari egoisme keberagamaan pelaku intoleransi.

Melihat kasus yang terjadi, tampaknya masyarakat kita melakukan aksi intoleran juga dipengaruhi motif balas dendam. Setiap ada kasus intoleransi umat Islam, umat Kristen juga mengalami, meski di lain tempat dan di waktu yang tepaut jauh beda. Yang terakhir ini cukup rumit. Sebab, terjadinya bergantung pada seberapa kecil perilaku intoleran terjadi. Jika faktanya besar, ia pun juga demikian.

Sebagai musuh besar bersama, langkah-langkah strategis pemerintah menjadi sesuatu yang urgen. Ternyata tak hanya radikalise-ekstremisme yang mengusik keberagamaan kita, melainkan juga intoleransi. Jika ekstremisme menuntut perombakan sistem pemerintahan atau delegitimasi, intoleransi justru menuntut keseragaman—tuntutan yang sejujurnya mustahil terpenuhi.

Intoleransi dalam masyarakat tak bisa kita katakan berada di ambang batas. Setiap perilaku intoleran mesti dilawan, karena selain kontradiktif dengan agama, ia berpotensi memporak-porandakan kerukunan sosial. Tentu perlawanan di sini bisa ditempuh melalui penguatan moderasi tadi. Tidak melalu dengan mempidanakan. Karena ketika bebas, mereka akan mengulanginya lagi.

Apa yang menimpa saudara setanah air perihal peribadatan mereka, sejujurnya adalah masalah kita juga. Oleh karena itu, lepas tangan adalah keputusan terburuk. Intoleransi adalah PR kita. Ia adalah cobaan semua umat beragama. Terserah kita, cobaan tersebut akan kita biarkan. Atau justru kita akan saling berpangku tangan, dan tidak pernah memberikan ruang intoleran mencatut agama kita.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru