Judul Buku: Masa Depan Pesantren: Ekoliterasi dan Digitalisasi, Penulis: Yohan Fikri Mu’tashim, dkk., Penerbit: Diva Press, Tahun Terbit: 2024, Tebal Buku: 418 halaman, Teks Bahasa: Indonesia, Peresensi: Abdul Azis Fatkhurrohman.
Harakatuna.com – Pesantren sebagai ikon khas pendidikan Indonesia, tidak berhenti melakukan penyesuaian serta transformasi menghadapi pesatnya laju zaman. Institusi yang lekat dengan label cara pandang tradisional ini, pada titik tertentu terus menunjukkan kehadirannya untuk ikut berperan dalam rangka perubahan sosial-modern melalui pendidikan.
Realitas tersebut, menampik klaim tradisional dan terbelakang atas pesantren yang telah basi. Buku yang akan saya ulas di sini, menjadi semacam pembuktian akan hal tersebut.
Keresahan terhadap isu lingkungan yang menjadi buah bibir berbagai kalangan dan kelas sosial, menjadi salah satu isu global yang masih terus dicari solusinya. Pesantren dengan modal pengetahuan dan sosialnya, merasa bertanggung jawab untuk ikut mengurai problematika tersebut.
Memilih tajuk Masa Depan Pesantren: Ekoliterasi dan Digitalisasi, buku ini menjadi semacam curahan gagasan, yang coba diajukan oleh para santri di tengah belantara problem yang tengah dihadapi masyarakat modern. Buku ini merupakan hasil renungan sejumlah santri yang disusun atas dua isu di atas; ekologi dan digital. Dua tema yang tengah menyelimuti serta berkelindan di seputar kehidupan bangsa Indonesia hari ini.
Etika Lingkungan sebagai Kesalehan
Pesantren dikenal erat sebagai pembentukkan kesalehan aspek spiritual dengan pengetahuan agama sebagai pengajaran utamanya. Karakter spiritualitas yang menduduki hubungan horizontal dengan Sang Pencipta, tidak dapat dinilai paripurna. Memperluas kesalehan tidak hanya pada aspek ritual dan sosial, ke ranah kesalehan ekologis, menunjukkan telah lahirnya gelagat kesadaran atas persoalan lingkungan yang dialami masyarakat.
Dengan keutamaan pengajaran agama dengan pondasi ketersambungan keilmuan dari para guru atau ulama terdahulu, praktik kesadaran ekologis menjadi komponen pengajaran yang mencoba digali. Penggalian atas warisan keilmuan para ulama hubungannya dengan relasi dengan alam, menjadi core dari upaya yang dikerjakan.
Urgensi keseimbangan dalam ranah kesalehan dijadikan indikator bahwa saleh secara agama dan sosial saja dirasa belum cukup. Di tengah krisis ekologis yang dihadapi bangsa dan dunia secara umum, melahirkan konsekuensi pada tindakan konkret untuk memasukkan pengajaran berbasis etika lingkungan dalam pendidikan pesantren.
Jauh sebelum wacana ekologis secara formal tersusun dalam buku ini, sejumlah pesantren telah mengawalinya terlebih dahulu. Dengan berbagai program semisal bank sampah dan lain-lain, beberapa pesantren telah menginisiasi tindakan yang menjurus pada problem lingkungan di masyarakat. Tidak hanya dalam lingkup lembaga, sejumlah pemuka pesantren, juga secara konsisten ikut bergerak dalam isu-isu lingkungan membersamai masyarakat di tingkat daerah maupun nasional (hlm. 96-101).
Mengutip salah satu ungkapan dalam buku ini, menyadari betapa kesalahan dan kekhilafan manusia yang berujung pada dosa, laiknya tidak hanya ditempatkan pada relasi dengan Tuhan, melainkan juga tindakan kecil yang menempatkan alam sebagai objek ‘mati’ yang berhak dieksploitasi secara semena-mena.
Tindakan demikian, menunjukkan nir kesadaran atas amanat yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai khalifah (pengelola), untuk menjaga keseimbangan antar makhluk. Oleh karenanya, introspeksi diri dengan taubat ekologis yang diiringi dengan mengolah serta mempertimbangkan berbagai tindakan dalam mengelola sumber daya alam, menjadi konsekuensi logis atas berbagai kekeliruan selama ini (hlm. 49).
Modalitas Pesantren Menanggapi Isu Lingkungan
Pesantren menjadi agen yang berpotensi pada perubahan sosial. Potensi tersebut mengejawantahkan bahwa, institusi ini tidak hanya dipandang sebagai lembaga yang menekankan pendidikan spiritual an sich, namun juga mampu mendorong terwujudnya transformasi sosial.
Kemampuan tersebut menjadi modal berlapis di sisi ketersambungan keilmuan yang dipegang erat serta keterbukaan terhadap isu-isu kiwari. Dengan menggali kekayaan khazanah keilmuan pesantren, menjadi upaya untuk memberikan wacana yang otoritatif khususnya dalam pemecahan problem ekologis.
Modal pesantren dalam menjangkau ajaran-ajaran Islam klasik, ikut menopang solusi yang ditawarkan dari sisi keagamaan. Puspa ragam persoalan dalam menempatkan alam sebagai objek yang terus-menerus dieksploitasi tanpa mempertimbangkan keseimbangan di baliknya, tentu kontraproduktif dengan nilai agama itu sendiri. Keseimbangan inilah yang diarahkan pada harapan terwujudnya kesalehan ekologis.
Melalui pesantren, hal ini setidaknya terbangun dengan konstruksi yang tepat. Yaitu mewarisi ajaran para pendahulu dalam memperlakukan sesama makhluk hidup, bukan hanya antar sesama manusia, melainkan juga relasi dengan lingkungan alam yang notabene menjadi tanda-tanda eksistensi-Nya.