31.8 C
Jakarta

Inkonsistensi MUI tentang Polemik Sertifikasi Dai

Artikel Trending

Milenial IslamInkonsistensi MUI tentang Polemik Sertifikasi Dai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sertifikasi dai. Atau, dai yang bersertifikat. Apakah keduanya memiliki arti berbeda, atau sama saja. Hari-hari ini, agenda Kementerian Agama tersebut menuai polemik. Pertengahan bulan ini, kebijakan tersebut akan disahkan. Beberapa pihak kemudian merespons secara frontal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak, karena akan mengekang dai di satu sisi, dan rentan disalahgunakan penguasa di sisi lainnya. Atas keputusan MUI itulah, kemudian, perbincangan tentangnya semakin menegangkan.

Sebenarnya, kebijakan sertikasi dai bukanlah rencana baru. Menag Fachrul Razi pernah menyinggungnya hampir setahun yang lalu. Tujuannya, dikatakan Fachrul, bukan untuk membatasi kebebasan dakwah, sehingga yang tidak punya sertifikat menjadi terlarang berceramah. “Enggak ada kita memaksakan orang harus punya ini, enggak punya ini nggak boleh ceramah, enggak,” ujarnya di Kantor Kemenag, Jum’at (22/11/2019).

Menariknya, saat itu, MUI memiliki rencana kebijakan yang mengafirmasi Menag. Namanya standarisasi dai. “Kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk wadah pendidikan yang dapat mendidik dan mengembangkan kemampuan para dai atau daiyah sehingga dapat merespons perkembangan zaman dan dapat menyelesaikan problematika umat, khususnya dalam konteks keindonesiaan,” jelas Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, Cholil Nafis, di Menteng, Jakarta, empat hari sebelum Menag menyinggung sertifikasi dai.

Lalu bagaimana mungkin MUI menolak kebijakan tersebut hari ini? Kenapa respons MUI malah menunjukkan inkonsistensinya sendiri?

Dilansir Republika, pada Jum’at (22/11/2020), MUI meluncurkan program standarisasi pendakwah. Program tersebut diproyeksikan untuk mencegah penyebaran ekstremisme keberagamaan, sekaligus merupan realisasi program yang sudah direncanakan setahun sebelumnya, alias dua tahun sebelum hari ini. Standarisasi itu bersifat suka rela, bahkan MUI sudah menghadirkan aplikasi online yang memuat nama-nama pendakwah bersertifikat tersebut.

“Kita dorong masyarakat untuk mengundang ulama yang bersertifikat… Dai bersertifikat itu beda dengan sertifikasi. Kalau sertifikasi orang gak boleh berceramah kalau tidak punya sertifikat. Tapi kalau standarisasi, oreng itu boleh saja berceramah walau tidak punya sertifikat MUI, tapi kami tidak dapat memberikan garansi,” terang Cholil Nafis.

Sepuluh bulan dari pernyataan Nafis, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengulang persis pernyataan tersebut, ketika dirinya menanggapi polemik sertifikasi dai. “Ini sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa. Karena bukan sertifikasi profesi, sehingga tidak berkonsekuensi wajib atau tidak. Bukan berarti yang tidak bersertifikat tidak boleh berceramah… sama sekali tidak begitu. Jadi ini bukan sertifikasi, tapi penceramah bersertifikat,” terang Kamaruddin, Senin (7/9) kemarin.

Poin sederhananya begini. MUI, dulu, punya program standarisasi dai. Polanya persis dengan agenda sertifikasi dai ala Kemenag hari ini. Lalu kenapa sekarang MUI justru menjadi pihak yang lantang menolak? Ada apa? Apakah memang benar bahwa institusi tersebut kini dirasuki pihak-pihak yang salah, dan pemangku kebijakan MUI hari ini adalah mereka yang turut melancarkan munculnya ekstremisme itu sendiri?

Sertifikasi Dai dan Standarisasi Dai

Tidak ada yang berbeda dari keduanya. Hanya beda dalam pemilihan kata. Yang perlu diherankan ialah, kenapa MUI bisa mengambil sikap yang inkonsisten. Tentu kekhawatiran akan ketidakmurnian MUI hari ini bukanlah asumsi yang tak berdasar. Sejauh apa dinamika birokrasi internal MUI menuntunnya untuk mengambil sikap yang sekarang kita saksikan bersama, sejauh itu pula sikap harus segera diambil, dan kemungkinan buruk mesti segera diwaspadai.

BACA JUGA  Melihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi

Selama ini MUI ditengarai tidak netral, dan cenderung partisan tertentu. Terutama ketika Zaitun Rasmin, Tengku Zulkarnain, Yusuf Martak, hingga Bachtiar Natsir berada di jajaran kepengurusan. Mereka tidak jarang bersebelah paham dengan civil society, bahkan terlibat dalam aksi PA 212 dan sejenisnya. Maka menjadi tidak mengherankan ketika MUI menolak kebijakan sertifikasi dari Menag, masyarakat justru beranggapan bahwa ada yang tidak beres dengan MUI sekarang.

Dilansir Detik, ada tiga poin penolakan yang dialamatkan MUI kepada Kementerian Agama, perihal kebijakan sertifikasi dari. Pertama, menganggap rencana tersebut telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman, dan kekhawatiran akan intervensi pemerintah dan tendensi penyalahgunaan untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Kedua, pentingnya program peningkatan kompetensi dai selaiknya diserahkan kepada MUI. Ketiga, tidak boleh mengaitkan radikalisme dengan tampilan fisik termasuk pada mereka yang lantang menyuarakan amar makruf nahi mungkar.

Poin kesatu dan kedua mengindikasikan inkonsistensi MUI perihal sertifikasi dai, sedangkan poin ketika justru mengindikasikan kebobrokannya. MUI sangat laik dikatakan inkonsisten karena dulunya mereka juga menerapkan kebijakan yang sama, dan tidak ada yang berbicara soal kegaduhan? Juga inkonsisten karena menganggap hanya dirinyalah yang memiliki otoritas mengatur keagamaan. Dan bobrok karena ternyata, melalui poin ketiga, MUI hendak menggiring opini publik bahwa radikalisme tidak ada, dan bahwa semua amar makruf nahi mungkar harus diberi kebebasan sebesar-besarnya.

Bukankah indoktrinasi khilafahisme itu juga berkedok dakwah amar makruf nahi mungkar? Apakah MUI akan bertanggung jawab atas terjadinya infiltrasi radikalisme-khilafahisme di tangan para dai berkedok amar makruf nahi mungkar tersebut? Harusnya MUI tidak seceroboh itu. Mau standarisasi dai, sertifikasi dai, atau dai yang bersertifikat pun, seharusnya tidak ditanggapi seagresif itu, kecuali untuk memancing anggapan masyarakat bahwa MUI hari ini memang tidak asli, melainkan sudah dirasuki.

Esensi Kebijakan

Pada dasarnya, terlepas dari tafsir berbagai kalangan, niat utamanya adalah satu: menjaga Indonesia. Baik Kemenag maupun MUI, keduanya sama-sama mengorientasikan kebijakannya untuk membentengi diri dari paham ekstrem keagamaan, dan potensi perpecahan bangsa karenanya. Karena itu, penolakan MUI tentang sertifikasi dai, dan pada saat yang bersamaan mereka getol tentang sertifikasi produk yang tidak penting, merepresentasikan pergolakan internal MUI itu sendiri.

Orang sah-sah saja berspekulasi, jangan-jangan MUI memiliki kepentingan tertentu, terkait responsnya yang inkonsisten. Jika MUI menarik opini publik ke arah ketidakperluan sertifikasi dai, maka seharusnya mereka juga tidak melakukan sertifikasi terhadap sesuatu yang remeh-temeh—sebagaimana agenda rutin mereka selama ini. Atau, apakah penolakan tersebut didasari kecemburuan belaka karena merasa wewenangnya diambil Kemenag? Tetapi, mungkinkah karena alasan sepele tersebut mereka mengambil sikap yang sebobrok itu?

Sertifikasi dai bukanlah pengekangan, melainkan upaya menertibkan dai, agar secara kompetensi tidak lagi diragukan, dan konten ceramahnya tidak lagi mengkhawatirkan. Itulah esensinya. Dengan kata lain, ia memiliki peran penting untuk Indonesia itu sendriri. Apa saja bukti keniscayaan sertifikasi tersebut? Kita bahas di Editorial besok pagi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru