- Perbedaan riwayat hadis. Perbedaan ada dikarenakan beberapa sebab, diantaranya; a. tidak meratanya hadis seperti suatu hadis sampai pada salah satu fuqahāꞌ namun tidak sampai pada yang lainnya, atau sampai tapi sanad-nya ḍaʻīf tidak bisa dijadikan argument. b. Perbedaan para fuqahāꞌ dalam menilai hadis dan perāwīnya seperti hadis yang sampai dengan sanad sahih atau satu jalur sanad saja hingga salah satu mereka menilai salah satu rāwī-nya ḍaʻīf sedangkan yang lain berpandangan tidak ada masalah dalam rāwī-nya, atau satu hadis yang diperselisihkan dalam syarat aplikasinya seperti hadis mursal. Seperti kasus perwalian dalam nikah. Menurut Ibnu Rusyd Malik, Syafiʻi dan Abu Hanifah mensyaratkan wali dalam nikah dengan berdasarkan hadis yang tidak disepakati kesahihannya. Contoh lain yang muncul sebab tidak meratanya hadis adalah kasus keabsahan puasa orang yang junub di pagi hari sebagaimana hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
- Perbedaan sumber rujukan. Para fuqahāꞌ berbeda pandangan dalam menggunakan dalil rujukan sekunder seperti istiḥsān, maslaḥah mursalah, qaul al-Ṣaḥābī, istiṣḥāb, sad al-żarīʻah dan lain-lain. Mereka tentunya tidak seiya sekata dalam menggunakan masing-masing sumber tersebut. Istiḥsān misalnya, hanya al-Syafiʻi yang tidak berkenan menggunakannya. Sedangkan ʻUrf digunakan dalam mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafiʻi.
- Perbedaan kaedah pokok (uṣūl) seperti kaedah menjadikan ʻāmm yang makhṣūṣ dan mafhūm bukan sebagai argumen atau tidak. Penambahan teks al-Quran merupakan naskh atau tidak dan lain-lain.
- Ijtihad dan Qiyas yang merupakan menjadi ranah terluas terjadinya perbedaan para fuqahāꞌ. Domain ini memiliki prinsip, syarat-syarat, dan ʻillah (sebab). Setiap ʻillah mempunyai beberapa syarat dan cara tersendiri. Di ranah inilah banyak terjadi perbedaan. Kesepakatan menggunakan qiyas sebagai dasar ijtihad merupakan hal yang tidak bisa diambil titik temu kepastiannya. Sebagaimana taḥqīq al-manāṭ (memastikan adanya ʻillah dalam cabangan masalah) menjadi salah satu sebab perbedaan yang sangat penting.
- Kontradiksi dan pengunggulan antar dalil. Aspek ini merupakan salah satu ranah perdebatan dan pertukaran pandangan antara para pakar hukum Islam. Kontradiksi terkadang terjadi antar naṣ-naṣ atau qiyas. Dalam hadis kontradiksi ada pada ucapan, tindakan dan ketetapan. Perbedaan kadang bersumber pada pada tindakan Rasul dalam ranah politik maupun fatwa. Sehingga pertentangan tersebut bisa selesai dengan mengacu pada tujuan (maqāṣid) syariat meski tingkatan urutan maqāṣid masih diperselisihkan.
- Seperti kasus menyentuh kemaluan (żakar) yang masih diperdebatkan keunggulan dalil yang membatalkan wudhu menurut Syafiʻi, Hanbali dan Malik dengan dalil tidak batal yang dipakai oleh Abu Hanifah.
- Kontradiksi (taʻāruḍ) antara beberapa lafal. Seperti kontradiksi lafal dalam kata kerja (fiʻil), ketetapan (iqrār), analogi (qiyās) ataupun kontradiksi selingan antara tiga kategori lafal tersebut.
Alhasil perbedaan ulama fikih masih dalam domain ijtihādī yang kesemua pendapat mereka masih bersifat dugaan kuat (ẓanniyahi) serta layak dihormati dan dihargai secara merata. Tidak dapat dibenarkan perbedaan itu menjadi jalan fanatisme, permusuhan dan perpecahan antar sesama umat Islam. Perlu dicatat, mujtahid dari kalangan sahabat tidak berkenan ijtihadnya disebut sebagai hukum Allah atau syariat Allah. Mereka hanya menyatakan, “ini pendapatku, jika benar itu bersumber dari Allah swt. Namun jika keliru itu berasal dariku dan setan. Allah swt dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan itu”.