31.8 C
Jakarta
Array

Inilah Sebab Perbedaan Fikih dan Mazhab (Bagian II)

Artikel Trending

Inilah Sebab Perbedaan Fikih dan Mazhab (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perlu dicatat juga, tidak ada perbedaan antara para pakar hukum Islam dalam domain sumber syariat yang bersifat dalil pasti dan yakin seperti dalil-dalil yang berasal dari al-Quran dan hadis mutawātir.

Dari sumber syariat yang bersifat ẓanniyah (dugaan), fuqaha berbeda pendapat. Berikut di antara sebab-sebab perbedaan hukum fikih dan munculnya beragam mazhab;

  1. Perbedaan makna lafal berbahasa Arab, seperti berupa lafal mujmal (global) atau musytarak (bermakna lebih dari satu), antara umum atau khusus, hakikat atau majas, muṭlaq atau muqayyad, perbedaan I’rāb, dan musytarak lafẓī baik secara mufrad seperti lafal al-qurꞌu.

Secara perinci sebab ini bisa dijabarkan sebagai berikut;

a). Lafal naṣ mengandung beberapa kemungkinan maksud. Adakalanya lafal itu umum (ʻāmm) namun yang dikehendaki khusus (khāṣṣ) atau lafal itu khusus (khāṣṣ) tapi yang dikehendaki umum (ʻāmm). Terkadang juga lafal itu umum (ʻāmm) yang dikehendaki keumumannya (ʻāmm). Juga ada lafal khusus yang dikehendaki kekhususannya (khāṣṣ). Ada lafal yang memiliki indikator yang diajak bicara (dalīl khiṭāb) terkadang juga tidak ada.

Salah satu contohnya adalah kasus menyentuh wanita yang berdalilkan QS al-Māꞌidah [5]: 6. Bagi mazhab Syafi’i menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu meski tanpa syahwat, sebab yang dimaksud ayat lāmastum al-Nisāꞌ ialah lafal umum (ʻāmm) yang dikehendaki umum (ʻāmm). Sedangkan Malik berpendapat batal dengan syarat syahwat karena lafal umum (ʻāmm) tersebut yang dikehendaki adalah kekhususannya (khāṣṣ).

b). Lafal naṣ yang memiliki banyak makna. Terkadang lafal berbentuk tunggal seperti al-Qurꞌ (القرء) yang berarti haid dan suci. Begitu juga kata kerja bentuk perintah yang mengandung perintah wajib atau sunah. Juga bentuk kata kerja larangan yang berarti larangan haram atau makruh. Lafal naṣ yang memiliki banyak makna juga ada dalam lafal yang tersusun beberapa kata (murakkab) seperti firman Allah swt;

إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا

Kata pengganti (ḍamīr) dalam penggalan ayat di atas memungkinkan kembali pada orang fasik saja atau juga bisa kembali pada orang fasik dan orang yang menyaksikan.

Contoh yang lain adalah perbedaan ulama tentang menggauli isteri yang sudah suci dari haid. Suci yang dimaksud apakah setelah mandi atau terputusnya darah? Menurut al-Syāfiʻi dan mayoritas mazhab lain melarang menggauli isteri sebelum ia mandi. Sedangkan mazhab Abu Hanifah memperbolehkannya dengan syarat telah suci dalam maksimal waktu suci yakni 10 hari. Sedangkan al-Awzāʻī memperbolehkannya walaupun hanya dengan membasuh kemaluannya saja.

c). Perbedaan iʻrāb, seperti perbedaan membasuh atau mengusap dua kaki dalam berwudu. Menurut mayoritas mazhab, membasuh kedua kaki merupakan rukun wudu yang berpedoman pada bacaan perawi dan imam yang membaca naṣb kata arjul. Sedangkan menurut Syiah Imamiyah yang wajib adalah mengusap kedua kaki sebab kata arjul dibaca majrūr di-ʻatf-kan pada bi ruꞌūsikum sebagaimana bacaan Ibnu Kaṡīr, Abū ʻAmr, Syuʻbah dan Ḥamzah.

d). Kemungkinan lafal bermaksud hakikat atau majas. Majas memiliki beberapa macam seperti penghapusan (hażf), penambahan (ziyādah), pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (taꞌkhīr).

Contoh majas dan hakikat terjadi pada permasalahan kewajiban menghilangkan najis. Syafiʻi dan Abu Hanifah menilai wajib dan yang lain menilai sunah, wajib jika ingat dan tidak apa-apa jika lupa. Hal ini berdasarkan perselisihan makna hakikat dan majas pada QS al-Muddaṡṡir [74]: 4. Begitu juga pada perbedaan penafsiran QS al-Māꞌidah [5]: 6 antara menyentuh atau berhubungan badan.

e). Lafal yang muṭlaq ataupun muqayyad seperti kemutlakan budak dalam memerdekakan dan terkadang juga ada embel-embel (taqyīd) beriman, yakni budak yang beriman. Contoh yang lain adalah mewudhukan jenazah. Syafiʻi berpendapat harus diwudhukan. Sedangkan menurut Abu Hanifah tidak harus diwudhukan dan sunah menurut Malik. Perbedaan ini bermula dari salah satu hadis yang memerintahkan untuk memulai memandikan jenazah dari anggota wudhu. Pendapat yang tidak mengharuskan wudhu memandang kemutlakan hadis setelah menilik hadis-hadis lain tanpa menyebutkan perintah wudhu secara jelas. Namun Syafiʻi menilai hadis di atas merupakan taqyīd dari hadis yang lain.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru