Harakatuna.com – Sejatinya, menulis itu tidak hanya sekadar menuangkan ide atau imajinasi penulis, tanpa memerhatikan faktor di sekitarnya atau lingkungannya. Menulis itu juga memerlukan kesiapan mental yang cukup. Bagi beberapa penulis, kegiatan menulis itu juga sering dianalogikan sebagai obat untuk kestabilan psikis dan fisik. Harus ada keseimbangan antara konektivitas psikis dan fisik waktu menulis.
Menjadi terampil dalam menulis adalah sebuah fase panjang untuk menghasilkan karya tulis yang berkualitas. Sebab menulis seyogianya tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan dan kepuasan penulis, tetapi juga mampu memberikan umpan balik dari pembaca. Pada fase ini, tulisan yang sampai kepada pembaca akan menimbulkan kesan. Hal yang paling dasar bagi penulis, kuasai literasi!
Ada stigma yang keliru dalam masyarakat, termasuk penulis/pengarang. Ada anggapan dalam teori menulis itu semua disamakan. Hal yang sering dihubung-hubungkan dengan identifikasi sosial, bahwa seorang penulis itu memiliki kecakapan untuk menulis apa saja. Penulis fiksi dianggap juga memiliki kecakapan untuk menulis karya ilmiah; non-fiksi. Di sini, posisi sebutan penulis menjadi mainstream yang sulit diasumsikan. Misalnya ada pertanyaan: “Apa pekerjaan Anda?” Jawabannya: “Pekerjaan saya penulis.” Sebab pertanyaan ini bersifat universal. Dan jawabannya juga bersifat sama.
Terlepas dari persoalan ini, dalam sudut pandang saya yang didasarkan pada hasil pengalaman, banyak penulis yang tidak atau kurang memperhatikan kebutuhan psikologis dalam menulis. Hingga ada yang beralibi “belum ada mood untuk menulis”, tetapi ini sebetulnya bukan persoalan utama bagi penulis. Sebab, menulis itu juga melatih kebiasaan psikis untuk menghadapi segala kondisi. Jika alibi ini menjadi sebuah pembenaran, maka jangan pernah berharap untuk menghasilkan karya tulis yang berkualitas.
Dalam menulis, terutama bentuk cerita, aspek psikologis dibutuhkan melalui pendekatan kritik psikologis dan psikoanalisis. Ada beberapa hal yang digunakan sebagai faktor psikologis dalam menulis, antara lain:
- Psikodinamika yang mencakup aspek kognitif, emosional dan kemauan atau hubungan interpersonal.
- Teori psikologi, terutama digunakan dalam penelitian karya sastra. Teori psikoanalisis dikemukakan oleh Sigmund Freud.
- Kondisi sosial, yang meliputi pengaruh emosi, kestabilan pikiran dan perilaku tokoh dalam cerita.
- Analisis kepribadian tokoh (dalam alur cerita yang dikarang seorang penulis).
Perlu diketahui juga, bahwa bagi penulis dalam proses kehidupan psikis masing-masing individu pasti berbeda. Dan ini tentu akan memengaruhi hasil tulisannya. Meski sangat subjektif, ada beberapa kasus ditemukan; tidak bisa dihindari. Seperti misalnya seorang penulis yang menulis dalam keadaan terbawa perasaan emosional, tetapi hasil karyanya menjadi begitu menarik untuk dibaca. Bahkan tidak jarang, ada pembaca seolah-olah larut dan seperti berada dalam alur cerita. Pembaca yang merasa dirinya sama seperti peran tokoh dalam cerita tersebut. Hal ini sangat mungkin terjadi karena terjadi kontak emosional antara penulis dan pembaca.
Faktor emosional sebetulnya dapat dikontrol oleh daya olah pikir serta penggunaan bahasa yang teratur. Pada fase ini, bisa disimpulkan penulis tersebut memiliki tingkat kematangan dalam penguasaan literasi. Maka, kenapa menjadi penting seorang penulis menguasai literasi, minimal memiliki perbendaharaan kosakata di atas rata-rata.
Dalam praktek edukasi masa kini, masih sering kita temukan beberapa kasus, bahwa proses menulis itu dilakukan dengan sikap keterpaksaan. Sebagian besar karena disebabkan oleh kondisi yang memaksa harus melakukannya. Seperti misalnya seorang mahasiswa yang harus mengerjakan skripsi. Bisa jadi, sepanjang proses pendidikannya mulai sekolah dasar, ia tidak pernah mengerjakan tugas mengarang. Alasan yang kerap kali menjadi alibi pembenaran adalah karena tidak punya bakat, minat hingga alasan kegiatan mengarang adalah aktivitas yang sangat membosankan.
Dan persoalan ini juga sekaligus menjadi kritik pendidikan. Persoalan dasar yang menjadi prinsip dalam belajar-mengajar adalah mengenal literasi: baca-tulis-hitung. Secara teori, kemampuan anak tidak akan sama dalam mengenal literasi. Bisa jadi karena kesiapan dan kemampuan psikis, termasuk psikomotorik yang berbeda. Sementara, konteks ini adalah hal yang paling prinsip dalam pendidikan. Pertanyaannya, kenapa anak didik tidak diberikan ruang yang cukup, berpikir dengan cara mereka? Mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa menolak, mereka harus berpikir sesuai standar kebutuhan sistem kurikulum.
Sebagai perbandingan dengan sebuah negara kecil di Eropa, Finlandia, dalam proses pendidikan kini, memberlakukan sistem pendidikan yang tidak bergantung pada kemajuan teknologi. Standar kompetensi anak didik dilakukan dengan cara-cara konvensional, antara lain membaca buku cetak sebagai sarana untuk kebutuhan pemahaman dan pengetahuan literasi. Pembelajaran formal yang bersifat tatap muka, tidak harus di dalam kelas. Dan ternyata ini sangat efektif dalam membantu proses pengembangan kemampuan psikis siswa.
Akhirnya, jika kita bicara dalam lingkaran besar dunia penulisan, ada fase yang terlewatkan atau mengalami loncatan. Yang seharusnya tidak terpisah dari aktivitas menulis. Kenapa seorang penulis sering gagal dalam membuat karya tulis yang berkualitas? Salah satu faktor yang sering diabaikan adalah unsur psikologis dalam dirinya.