Menjelang Pilpres 2019 ini, ujaran kebencian kian merebak ke banyak media sosial, terutama media digital. Orang semakin ganas di media untuk saling menghasut dan mengkerdilkan pihak tertentu. Diakui atau tidak, peristiwa ini cukup meresahkan bagi integriasi bangsa Indonesia.
Anehnya, pelaku tidak hanya terdiri dari orang-orang yang tak berpendidikan, melainkan juga kaum intelek atau figur publik. Seperti, Ahmad Dhani yang diduga menyuarakan ujaran kebencian kepada mantan Gubernur DKI, Ahok dan pendukungnya pada pertengahan 2017 lalu (tempo.co). Atau isu yang baru-baru ini tercium khalayak adalah kasus Habib Bahar bin Smith menyampaikan ujaran kebencian dan melakukan penganiayaan. (tribunnews.com).
Meskipun perangkat hukum telah memperingatkan bahwa pelaku ujaran kebencian ini akan dijerat pasal berlapis, hal ini tetap saja dilakukan. Entah apa yang memotivasi mereka, keberanian untuk melakukannya terus berapi-api. Padahal risikonya sangatlah besar.
Motifnya beragam. Ada yang melakukan dengan cara menyebar berita hoaks, membuat meme dan ada pula menyuarakan ujaran yang konfrontatif. Hal ini sangat mudah memancing para pembacanya untuk bersikap reaksioner dan tidak kritis merespons suatu permasalahan. Ketika amarah mulai terpancing, terciptalah kesenjangan sosial yang memprihatinkan.
Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Perlu dikaji betul apa kiranya yang mendasar para pelaku untuk berbuat hal demikian dan memberitahukan kepada publik akan bahayanya dampak perbuatan ini.
Sebagaimana diwartakan oleh tirto.id, setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa orang sebegitu beraninya membuat ujaran kebencian. Pertama, prasangka buruk. Hal ini datang ketika dalam aktivitas sosial terdapat saling curiga dan kurangnya rasa saling percaya kepada orang lain. Dari sinilah tanpa pikir panjang mereka mewartakan prasangka buruknya dengan dibubuhi ujaran benci.
Kedua, konflik atau kekecewaan atas tindakan tertentu yang dilakukan oleh si Obyek. Alasan ini cukup sering terjadi dalam lapisan sosial masyarakat. Terkadang berupa konflik internal, tetapi dibawa-bawa ke ranah publik. Mereka akan membuat pembenaran atas argumennya demi mempengaruhi publik agar berbuat hal yang sama.
Ketiga, perasaan terancam. Ini juga tak jarang terjadi, terutama di tahun politik ini. Karena takut tokoh pilihannya kalah dalam arena pertarungan, maka disebarlah hoaks dan ujaran kebencian kepada lawannya dengan tujuan untuk mendiskredit. Pengaruh ini sangat kuat bagi orang-orang yang malas melakukan verifikasi akan hal ini.Kita mesti ingat saling mengingatkan bahwa hal demikian akan menimbulkan dampak yang cukup krusial. Tidak ada jaminan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi orang yang melakukannya. Malah justru dampak negatif yang akan menimpanya.
Nur Alam dalam nasional.kompas.com menuturkan, “Dalam realitas sejarah, konflik ujaran kebencian jadi lahan subur memaksimalkan konflik sosial yang mengakibatkan pembantaian massal seperti di Rwanda dan Serbia.” Berdasar pada dua negara ini, maka Indonesia perlu dihindarkan dari akibat yang sama.
Adapun dampak yang lebih spesifik dimuat oleh kaskus.co.id, yaitu: memicu perpecahan. Antara pelaku dan si Obyek akan mengalami kerenggangan sosial dan dimungkinkan sulit melakukan rekonsiliasi. Boleh jadi, konflik ini akan terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Dampak lainnya adalah: generasi muda menjadi intoleran dan diskriminatif. Sebagaimana kita ketahui bahwa generasi muda adalah paling banyak membaca oret-oretan dinding media sosial. Mereka yang dikenal mempunyai emosi dan ambisi cukup besar akan mudah terpengaruh dengan suatu berita yang dibacanya. Ketika dihadapkan dengan ujaran kebencian dan menelannya mentah-mentah, maka mereka tidak akan lagi toleran dan bijak dalam menghadapi permasalahan.
Ini patut dihindarkan karena akan mengonstruk pikiran mereka di masa tuanya nanti. Kala pola pikir mereka terkonstuk untuk tidak toleran dan diskriminatif, maka negara akan selalu berada dalam bahaya.
Selain itu, tidakan menyuarakan ujaran kebencian ini akan berakibat: menguntungkan pihak tertentu. Akan ada pihak-pihak yang diuntungkan oleh tindakan ini. oleh karena menguntungkan pihak tertentu, maka pihak lainnya akan dirugikan. Di sinilah tidak adilnya, yaitu ketika membiarkan sebelah pihak mengalami kerugian. Padahal sebagai makhluk sosial, kita mesti saling menguntungkan.
Kesemuanya mengancam keruntuhan negara. Kemajuan dan perkembangan akan terhambat, sementara ajal semakin mendekat. Menyadari hal ini, masihkah kita akan membiarkan ujaran kebencian ini dicanangkan? Marilah kita ingat bahaya yang akan menimpa kita jika ini tetap dibiarkan dan dengan itu semoga media sosial menjadi bersih dari ujaran kebencian, setidaknya berkurang.
*Michael Musthafa, Penulis dari Garawiksa Institute.