28.9 C
Jakarta
spot_img

Indonesia Miliki KUHP Baru yang Atur Tindak Pidana Terorisme dan Pendanaan Terorisme

Artikel Trending

AkhbarNasionalIndonesia Miliki KUHP Baru yang Atur Tindak Pidana Terorisme dan Pendanaan Terorisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Setelah menunggu selama puluhan tahun, Indonesia akhirnya memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disusun oleh bangsa Indonesia sendiri. Lahirnya KUHP baru ini menjadi momentum penting, khususnya terkait dengan pengaturan tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme. Menurut Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah, Ph.D., pengaturan tindak pidana terorisme dalam KUHP baru menggambarkan perkembangan politik hukum pidana Indonesia yang serius dalam menangani tindak pidana besar.

“Tentunya ini menjadi menarik, karena di situ antara lain adalah penyebaran ideologi anti-Pancasila dimasukkan sebagai delik pidana, dan hal terkait studi tidak dimasukkan dalam delik pidana,” ujar Syauqillah dalam acara diskusi bertajuk “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia Menurut KUHP Baru” yang diselenggarakan oleh SKSG UI, Fakultas Hukum UI, dan Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen IKP) di Tangerang pada Senin (12/12).

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D., yang juga menjadi anggota tim perumus KUHP baru, menjelaskan bahwa KUHP ini mengusung lima misi utama: rekodifikasi terbuka dan terbatas, demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi. Ia menekankan bahwa pasal 187 KUHP Baru menyatakan bahwa Buku Kesatu KUHP juga berlaku bagi perbuatan yang dipidana berdasarkan ketentuan undang-undang lainnya, kecuali jika ditentukan lain dalam undang-undang tersebut.

“Mengapa perlu sekali hal ini kami rumuskan? Karena saat ini, kita masih memiliki berbagai undang-undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya yang sangat beragam, sehingga menimbulkan kesulitan dalam pembicaraan hukum pidana di Indonesia,” terang Prof. Harkristuti.

Dalam hal ini, rekodifikasi terbuka dilakukan karena ada kemungkinan untuk menambahkan ketentuan lainnya, khususnya dalam Bab XXXV yang mengatur lima tindak pidana khusus. Kelima tindak pidana tersebut mencakup tindak pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika. Pemilihan ketentuan ini didasarkan pada kriteria bahwa tindakan tersebut dianggap sangat jahat dan terkutuk oleh masyarakat.

BACA JUGA  Menag Ajak Masyarakat Perkuat Kerukunan dan Harmoni dalam Keberagaman

“Perbuatan-perbuatan ini dianggap sangat jahat (super mala per se) dan sangat terkutuk oleh masyarakat (strong people condemnation),” tambahnya, yang menjadi alasan utama kenapa terorisme dimasukkan dalam KUHP Baru.

Prof. Harkristuti juga menegaskan bahwa meskipun hukum pidana dalam undang-undang sebelumnya sudah memberikan sanksi berat untuk tindak pidana terorisme, permasalahan tersebut masih tetap terjadi. Ia menyatakan, “Saya tidak berani mengatakan bahwa KUHP baru akan mengubahnya, karena kita tetap memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini. Banyak upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan dalam Undang-Undang 5/2018, namun belum semuanya dapat terlaksana dengan baik.”

Undang-Undang No.5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme masih digunakan hingga saat ini untuk menangani kasus terorisme. Salah satu perubahan signifikan dalam KUHP baru adalah penggabungan tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme dalam satu ketentuan yang sama.

Terkait pendanaan terorisme, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim, menyampaikan bahwa masalah pendanaan terorisme tidaklah sederhana. Dana untuk aksi terorisme bisa berasal dari luar negeri untuk kegiatan di Indonesia, atau sebaliknya, dana yang dihimpun di Indonesia digunakan untuk aksi terorisme di luar negeri.

“Pendanaan terorisme ini agak unik. Masalahnya ada pada penggunaan atau tujuan dari pemanfaatan dana tersebut. Pendanaan terorisme bisa berasal dari aktivitas ilegal atau bisa juga berasal dari aktivitas yang sah,” jelas Fithriadi.

Diskusi yang berlangsung di Novotel Tangerang tersebut juga menghadirkan sejumlah pembicara dan penanggap, termasuk Kombes. Pol. Dr. Imam Subandi, S.S., S.H., M.H.; Koordinator Kajian dan Analisis Penegakan Hukum BNPT, Rahmat Sori Simbolon; Deputi Direktur Bidang Program Indonesia Judicial Research Society, Adery Ardhan Saputro, S.H., LL.M; dan Senior Partner AdhyAksaraGautama, Garnadi Walanda, S.H., M.Si.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru