27.5 C
Jakarta

Indoktrinasi Sesat Salafi di Masjid Kita (3); Pemerintah Harus Tegas!

Artikel Trending

Milenial IslamIndoktrinasi Sesat Salafi di Masjid Kita (3); Pemerintah Harus Tegas!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bahwa masyarakat harus waspada terhadap bahaya laten Salafi, atau Wahhabi yang itu sama saja sekadar kamuflase siasat, sudah saya bahas pada bagian pertama. Doktrin-doktrin mereka yang sesat di satu sisi dan sesat di sisi yang lainnya, juga sudah saya uraikan, meski tidak secara keseluruhan, hanya sebatas yang mereka paparkan di Masjid Baiturrahmah kemarin. Saya sudah pula mengulas ihwal Salafi dan keradikalannya. Selanjutnya, saya ingin ulas ini dalam konteks kebijakan negara.

Para Salafi-Wahhabi di Indonesia berkembang pesat—malampaui perkembangan Islam politik transnasional yang berakhir tragis dengan dibubarkan atau jadi cemoohan masyarakat seantero negeri. Berbeda dengan HTI, misalnya, Salafi justru semakin mendapat apresiasi di masyarakat, sementara pada saat yang sama pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Itu karena mereka tidak memberontak, sehingga konstitusi tidak bisa menindak. Bahkan sekalipun ajaran mereka sangat berbahaya.

Saya sudah mengulas, di bagian sebelumnya, mereka yang hitam-putih, ngebet menang dan benar sendiri, menganggap bid’ah dan sesat pada yang berbeda, adalah kemelut intoleransi sesama yang jika dibiarkan, akan meningkat jadi radikalisme dan terorisme. Kelebihan Salafi, harus saya akui, ada pada konsistensi mereka untuk tidak berpolitik. Di tengah semrawut politik seperti hari ini, masyarakat akan lebih peduli mereka, dan menentangnya mungkin blunder. Bahkan jika itu wajib sekalipun.

Lalu mengapa pemerintah harus tegas terhadap mereka? Ada tiga alasan, menurut saya, mengapa Salafi mesti segera diberikan kebijakan. Pertama, bahwa Salafi tidak mengajarkan terorisme adalah kurang tepat. Semuanya hanya soal waktu. Orang Salafi lebih rentan direkrut teroris. Para teroris pun tidak ada yang dari NU, misalnya, karena semuanya dari kalangan Salafi. Bisa saja sekarang jemaah Salafi tidak suka terorisme, tapi mengharap mereka jadi moderat, toleran, inklusif, dan pluralis, itu naif.

Kedua, bahwa Salafi tidak akan makar adalah pembodohan belaka. Di Mekah, dulu banyak ulama Nusantara. Ulama bermarga Al-Jawi sangat disegani. Tetapi Mekah dulu berbeda dari sekarang. Rezim Ibnu Saud mengakuisisi Wahhabi sebagai tameng kekuasaan, maka Wahhabi bilang “memberontak hukumnya haram” artinya agar rezim Arab Saudi terus berkuasa. Tetapi di Indonesia? Mereka menyamar sebagai pengikut salaf al-shalih, kalau bukan untuk memberontak, lantas untuk apa?

Biar saya singgung kembali ajaran Salafi tentang pemimpin (uli al-amr). Bagi mereka, memberontak (makar/bughat) adalah haram mutlak. Tetapi mereka punya konsep sendiri tentang uli al-amr. Yang haram diberontak adalah uli al-amr Muslim versi mereka—sekali lagi “versi mereka”.

Apakah Anda pikir pemimpin di Indonesia masuk kategori uli al-amr yang mereka hukumi haram memberontaknya? Tidak. Lihat saja, seluruh Muslim di negara ini, bagi mereka, adalah munafik, fasik, bid’ah, sesat, bahkan kafir. Ajaran mereka yang mengatakan itu, bukan saya. Jika begitu anggapan mereka terhadap Muslim di Indonesia, termasuk kepada pemerintah yang Muslim, yang mengafirmasi demokrasi padahal dianggap bukan ajaran Islam, masih mereka mengharamkan makar?

Ketiga, bahwa Bin Wahhab tidak maksum. Saya pikir, membahas apakah Muhammad bin Abdul Wahhab itu maksum atau tidak, adalah kebodohan tingkat tinggi. Buat apa Bin Wahhab dibahas maksum atau tidaknya? Tidak ada yang maksum selain yang telah Nabi sabdakan dalam hadis. Apalagi Bin Wahhab yang lahir belakangan.

Pertanyaan seharusnya adalah, mengapa para Salafi dan Wahhabi ngotot dan kebakaran jenggot kalau Bin Wahhab dibantah ajarannya, sementara pada saat yang sama mereka selalu membantah ulama-ulama saleh bahkan menganggapnya sesat dan kafir jika tidak sesuai ajaran Bin Wahhab?

Urgensi Kontra-Salafi

Ada beberapa statemen Salafi pasca-diskusi ilmiah kemarin, yang saya kutip secara langsung di sini, sekaligus saya jawab berdasarkan keterangan sebenarnya, hasil wawancara dengan ustaz Nasir Abbas.

  • Jangan terlalu didramatisir pak ustaz, sampai membawa pasukan pengaman segitu banyaknya. Jemaah Salafi tidak ada yang berpengalaman demonstrasi, apalagi pengalaman bertindak kekerasan membubarkan kajian. Masak iya mantan teroris gentar dengan jamaah yang tidak ada track record berbuat kekerasan sama sekali? Saya yang hadir di acara akan menjawab: Salafi mengebom Ramadhan al-Buthi di masjid, dan mereka bilang tidak punya track-record kekerasan?
  • Jika jemaah Salafi berniat menjebak, mana mungkin Ust Abdurrahim Ayyub (salah satu perwakilan Salafi) malah mengabarkan hal tersebut kepada bapak ustaz? Masak iya jebakan kok dikabarkan ke pihak yang ingin dijebak? Jangan kontradiksi dalam berstatement. Nasir Abas menjelaskan yang sebenarnya pada saya: bahwa ia dan Sofyan Tsauri memang dikabarkan oleh Abdurahmi Ayub. Tapi yang Ayub kabarkan adalah diskusi, bukan jebakan debat untuk mengindoktrinasi jemaah.
  • Ustadz Salafi sudah mempersiapkan 10 pertanyaan terkait opini bapak tentang Wahabi. Terus salahnya di mana kalau Ustaz Salafi persiapan pertanyaan-pertanyaan untuk meluruskan pemahaman Anda yang dinilai menyimpang tentang Wahabi? Toh Anda juga melakukan persiapan untuk menjelaskan apa yang Anda yakini terkait Wahabi. Ustadz Salafi tidak boleh persiapan, sedangkan Anda boleh? Begitukah? Saya ingin meluruskan bahwa “opini tentang Wahhabi” di situ tidak benar. Mereka memang punya doktrin yang melegalisasi kekerasan, dan jemaahnya bahkan mengembangkannya jadi aksi teror. Jadi opini yang mana? Banyak literatur yang menjelaskan bahwa mereka menyimpang, lalu apa yang masih harus diluruskan dari sesuatu yang memang sudah menyimpang? Meluruskan penyimpangan dari ajaran yang memang sudah menyimpang adalah upaya untuk menyesatkan. Umat Islam terutama di Indonesia sudah benar dengan menolak Wahhabisme, dan para dedengkot Wahhabi malah menuduh umat telah menympang karena menentang penyimpangan Wahhabi? Ini sangat aneh dan jelas-jelas membodohi umat. Lihat saja kutipan langsung tersebut: satu sisi para Salafi menolak dituduh penganut Wahhabisme, tetapi di sisi lain mereka membelanya mati-matian. Kalau bukan untuk menyesatkan umat, apalagi?
  • Pihak Salafi diberi waktu banyak untuk menyerang saya, sementara saya dibatasi. Halo bapak ustaz yang terhormat, Anda ini punya suara untuk menyampaikan ke moderator atau MC jika Anda merasa pembagian waktu tidak seimbang. Sebagaimana Ust Nasir Abbas protes ketika pembicaraan dianggap tidak sesuai judul. Beliau sampaikan dengan baik saat acara berjalan. Jamaah Salafi dan Ustadz Salafi juga sama sekali tidak keberatan dan membantah protes dari Ust Nasir Abbas ketika itu. Sedangkan Anda merasa pembagian waktu tidak seimbang, kenapa tidak disampaikan saat forum masih berjalan? Kenapa baru koar-koar saat acara sudah selesai? Apa memang ada niat untuk berusaha terzalimi? Ini saya tegaskan, saya menyaksikan sendiri, bahwa moderator pun berat sebelah. Acara tersebut digelar oleh Salafi di masjid Salafi, dan moderatornya pun bagian dari Salafi itu sendiri. Sofyan Tsauri tidak protes? Salah. Ia protes tapi moderator tetaplah kuncinya. Sementara Nasir Abbas? Ia menjelaskan ke saya, bahwa dirinya merasa acara itu tidak adil. Menurutnya, para Salafi di situ tidak punya etika, tidak beradab. Mereka, para Salafi, menjebak dua eks-teroris yang berusaha mencegah umat agar tidak terjerumus terorisme, sambil memintanya merasa tidak terzalimi? Sudah jelas para panitia Salafi di situ zalim, mengapa malah memutar-balikkan fakta?
  • Pihak Salafi mengaku bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak maksum, memang itu yang selama ini mereka yakini. Tidak ada yang maksum selain Nabi, tidak usah kaget. Yang mereka permasalahkan hanya statemen-statemen bapak ustaz yang lebih cenderung menggeneralisir Wahabi itu teroris, tidak lebih dari itu. Justru kesesatan Salafi akan sangat jelas jika mereka memaksumkan Bin Wahhab. Tapi meskipun tidak memaksumkan kalau pembelaan kepadanya berlebihan ‘kan sama saja? Para Salafi memang tidak menganggap Bin Wahhab selamat dari kesalahan, tapi anehnya mereka mengangga Bin Wahhab selalu benar dan paling benar. Sampai-sampai kalau ada yang menentang Bin Wahhab, mereka anggap sesat dan kafir. Di mana otak mereka?
  • Semoga Allah menyatukan hati kaum Muslimin dengan persaudaraan yang indah. Umat Islam di dunia secara umum, dan di Indonesia secara khusus, memang sudah lama menjalin persaudaraan yang indah. Ulama Nusantara di Hijaz dulunya banyak sekali. Tapi itu terjadi sebelum Wahhabi bersarang seperti lintah di Semenanjung Haramain. Jadi jika hari ini penganut Salafi-Wahhabi ingin persaudaraan yang indah, seharusnya mereka semuanya berhenti menyebarkan doktrin sesat Bin Wahhab. Mereka ingin persaudaraan yang indah, padahal merekalah yang suka menyesatkan dan mengafirkan sesama Muslim.
BACA JUGA  Potret Komunikasi Radikal di Indonesia

Apakah dari uraian di atas, dengan sedemikian ahlinya mereka menyesatkan umat, memutar-balikkan kebenaran, dan berharap kedamaian dengan mengajarkan intoleransi, Anda masih menganggap kontra-Salafi tidak urgen? NKRI sedang dalam ancaman mereka.

Salafisme-Wahhabisme Harus Dilarang

Pemerintah Indonesia harus tegas. Tidak ada tawar-menawar, kecuali jika negara ini memang mau dikorbankan untuk Salafi-Wahhabi. Bagaimana dengan konstitusi yang tidak berdaya menindak mereka hanya karena mereka tidak melakukan kekerasan yang melanggar UUD? Semua ada jalan keluarnya, selama pemerintah mau memegang satu kunci: berani.

Indonesia adalah negara kesatuan. Negara ini sudah final dan tidak perlu dipersoalkan, apalagi dengan menganggapnya negara yang menyimpang dari sendi-sendi keislaman. Maka untuk memberantas Salafi dan Wahhabi, Indonesia harus meniru cara Arab Saudi. Ibnu Saud dengan gagah berani membumihanguskan pemahaman-pemahaman Islam di luar mazhab Wahhabi, sehingga ulama Nusantara pun sudah tidak ada lagi di sana karena dianggap menyimpang.

Lalu mengapa Wahhabisme di negara ini dibiarkan gentayangan dengan alasan konstitusi? Pemerintah jika mau tegas tinggal menyusun Undang-Undang yang melarang Wahhabisme, sebagaimana TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran Komunisme/Marxisme. Jadi, kapan larangan Wahhabisme dijadikan kebijakan oleh pemerintah untuk mengamankan negara ini? Sekali lagi, jika konstitusi jadi alasan, pemerintah sama saja dengan menampilkan ketidakberanian dan ketidaktegasannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru