Harakatuna.com – Kadang kita bertanya, apa salahnya bila anak-anak yang seharusnya bermain dengan gembira malah sibuk mengambil barang? Apa yang tidak boleh dilakukan: kebencian. Dunia mereka, yang tadinya penuh warna dan tawa, kini menjadi arena yang memperparah balas dendam dan kebencian. Dalam kegelapan ini, tangan dingin jaringan teroris bekerja. Mereka menangkap, membentuk dan menciptakan prajurit-prajurit kecil yang menjadi wajah baru kekerasan.
Mendoktrin otak anak-anak dalam jaringan teroris bukan hanya sesuatu yang perlu kita diskusikan di forum formal. Ini adalah panggilan yang harus kita dengarkan dengan hati kita. Karena di sana, masa depan kita perlahan-lahan direnggut.
Mencuri Anak dari Masa Kecilnya
Muhammad Fikri, sebut saja dia, berusia 12 tahun ketika dia mulai belajar mengingat dengan cara yang berbeda dari teman-temannya. Bukan puisi Ketua Anwar atau Pancasila, melainkan kalimat kebencian yang diulang-ulang seperti mantra. “Musuh kita ada di mana-mana,” kata pria yang biasa dipanggil “ustaz” sambil menatap tajam ke matanya. Fikri tampak polos dan mengangguk penuh percaya diri. Dalam sekejap, dia kehilangan dunianya.
Fenomena ini lebih dari sekedar berita di kolom kriminal media massa. Pendoktrinan otak anak adalah strategi sistematis yang diterapkan oleh organisasi teroris dengan anak-anak sebagai target utama mereka. Mengapa anak-anak? Jawabannya sederhana: mereka rapuh, naif, dan mudah dibentuk. Mereka belum memiliki kemampuan berpikir kritis untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang dimanipulasi.
Dalam setiap proses indoktrinasi, terdapat banyak faktor pemaksa dan pengondisian lingkungan. Anak-anak terpisah dari keluarga mereka—atau lebih buruk lagi, orang tua mereka adalah pelaku utama. Mereka diajari cara berpikir yang sempit bahwa dunia adalah tempat yang mengancam dan kekerasan adalah jawabannya.
Dari Ideologi ke Kekerasan
Indoktrinasi melibatkan lebih dari sekadar membisikkan ideologi radikal. Tidak hanya itu, hal ini menjadikan anak-anak sebagai alat kekerasan. Dalam banyak kasus, anak-anak bahkan dilatih untuk menggunakan senjata, belajar berkelahi, dan menerima kekerasan sebagai hal yang wajar. Bayangkan seorang anak berusia 10 tahun yang terbiasa melihat mayat dan ledakan. Bayangkan bagaimana jiwa mereka menjadi dingin, kaku, dan tidak simpatik.
Kelompok teroris punya banyak cara untuk mencuci otak anak. Video propaganda sering kali digunakan untuk menggambarkan gambaran heroik aksi teroris. Anak-anak diajarkan bahwa menjadi “martir” adalah puncak pengabdian. Mereka diajarkan bahwa kebencian adalah suatu kewajiban dan membunuh adalah tugas suci.
Namun, cara ini tidak hanya dilakukan melalui kekerasan fisik. Ada pendekatan yang lebih halus: mengeksploitasi trauma. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya akibat konflik sering kali menjadi sasaran empuk. “Keluarga baru” yang ditawarkan kelompok teroris akhirnya menjadi jebakan ideologis. Dalam situasi ini, anak-anak merasakan identitas dan tujuan, meskipun rasa identitas tersebut didasari oleh kebencian.
Apa yang Kita Hadapi Saat Ini
Fenomena ini bukan sekedar persoalan pribadi, melainkan persoalan kolektif yang mengancam stabilitas sosial. Bayangkan sebuah generasi yang tumbuh dengan perspektif ini. Apa jadinya jika mereka menduduki posisi penting di masa depan? Kita tidak hanya berbicara tentang ancaman fisik tetapi juga hilangnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat.
Indoktrinasi ini menciptakan siklus yang sulit diputus. Anak-anak yang terperangkap dalam jaringan teroris sering kali menjadi penjahat yang kejam ketika mereka dewasa. Mereka kemudian mewariskan ajaran yang sama kepada generasi berikutnya. Ini adalah lingkaran setan yang merugikan kita semua.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kehilangan kemampuan anak-anak dalam berpikir secara kritis. Mulailah di mana mereka tak diajarkan lagi untuk bertanya, merenung, atau mencari kebenaran. Sebaliknya, mereka berubah menjadi seperti robot yang hanya menerima perintah tanpa banyak bertanya. Pada masa yang akan datang, hal ini akan menyebabkan masyarakat kehilangan kebebasan berpikir, kurangnya toleransi, dan banyak kejadian konflik.
Langkah Kecil untuk Perubahan Besar
Adakah yang ingin kita lakukan hanyalah menyaksikan tragedi ini berlangsung? Ataukah sebaliknya, kita ingin turut serta berperan serta dalam menghentikan siklusnya? Terdapat beberapa tindakan yang bisa kita lakukan, baik secara personal maupun bersama-sama sebagai komunitas.
Pertama, keluarga perlu menjadi penjaga pertama. Orang tua bertanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak. Mereka perlu dapat mengidentifikasi gejala-gejala pertama radikalisasi, seperti perubahan dalam cara berpikir atau tindakan anak.
Selanjutnya, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting. Sekolah adalah ruang yang tidak hanya digunakan untuk belajar matematika dan bahasa, melainkan tempat di mana nilai-nilai kebinekaan dan toleransi ditanamkan. Pendekatan pendidikan anti-radikalisasi perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Anak-anak patut diberi pengajaran tentang pentingnya menghargai keberagaman, menyadari bahwa realita tidak selalu bersifat hitam-putih.
Pada tahap ketiga, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil perlu berkolaborasi dalam merancang kebijakan yang dapat melindungi anak-anak dari pengaruh propaganda teroris. Menjaga aktivitas di dunia digital penting untuk memantau gerak-gerik kelompok teroris yang sering menggunakan platform tersebut. Media sosial merupakan salah satu alat utama yang mereka gunakan untuk menyebarkan ideologi.
Langkah selanjutnya yang penting adalah melakukan rehabilitasi bagi anak-anak yang telah terkena pengaruh radikalisasi. Kita perlu memberikan solusi selain hanya mengutuk. Anak-anak ini adalah yang jadi korban, bukan yang melakukan kesalahan. Mereka perlu dipulihkan supaya bisa kembali ke masyarakat dengan pemikiran yang lebih positif.
Harapan di Tengah Kegelapan
Ketika membicarakan mengenai indoktrinasi anak dalam lingkaran teroris, kita sebenarnya sedang membicarakan tentang takdir masa depan mereka. Anak-anak ini merepresentasikan gambaran masa depan dunia kita dalam 10 atau 20 tahun mendatang. Apabila kita membiarkan mereka terperangkap dalam rasa benci, kita sebenarnya sedang menciptakan lingkungan yang dipenuhi pertikaian. Sebaliknya, dengan mengambil langkah untuk melindungi mereka, kita sedang menciptakan dunia yang lebih damai.
Seperti yang dikatakan dalam pepatah, “Anak-anak adalah bunga bangsa.” Namun, bunga ini tidak akan dapat berkembang dengan baik jika terpapar racun sejak usia muda. Oleh karena itu, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan membantu mereka berkembang menjadi individu yang menghargai kehidupan. Karena masa depan mereka turut menjadi masa depan kita. Wallahu a’lam.
Rujukan
Alfitri, H. Radikalisasi dan Indoktrinasi Anak dalam Kelompok Teroris: Studi Kasus di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Qalam. (2019).
Hidayat, T. Pencegahan Radikalisasi pada Anak: Upaya Menghadapi Terorisme. Bandung: Mizan. (2021).
Nurjanah, R. Pemahaman Sosial Anak dalam Era Radikalisasi. Yogyakarta: LKiS. (2020).