Harakatuna.com – Dengan perjalanan sejarahnya yang panjang, Indonesia masih menghadapi bayang-bayang masa lalu berupa pelanggaran berat HAM yang belum tuntas. Dari pembunuhan Munir, tragedi 1965, peristiwa Talangsari Lampung 1989, hingga insiden Paniai 2014, daftar tersebut terus menjadi pengingat bahwa bangsa ini memiliki utang keadilan yang belum lunas. Keengganan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus itu tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat tetapi juga mengukuhkan budaya impunitas yang semakin sulit dihapus.
Ironisnya, celah tersebut malah dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menggoyang kepercayaan publik terhadap demokrasi. Salah satunya adalah kelompok khilafah, yakni HTI. Ketidakmampuan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM kerap dijadikan alat propaganda untuk menciptakan narasi bahwa demokrasi gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk keadilan.
Impunitas hukum di Indonesia merefleksikan dua masalah utama, yaitu lemahnya penegakan hukum dan keengganan institusi negara untuk mengadili pelaku kejahatan. Itu semua bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan sebuah persoalan yang sudah terinstitusionalisasi. Hasilnya adalah korban pelanggaran HAM yang terus hidup dalam trauma, sementara pelaku kejahatan tetap bebas dari jeratan hukum.
Di sisi lain, impunitas tersebut juga menjadi bukti ketidaksiapan demokrasi Indonesia dalam menghadapi masa lalunya sendiri. Selama negara gagal memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, luka sejarah akan terus menjadi duri dalam perjalanan demokrasi kita. Ketidakberdayaan negara ini memunculkan ruang bagi kelompok-kelompok ideologis seperti khilafah untuk menciptakan narasi perlawanan.
Propaganda Khilafah Manfaatkan Demokrasi
Kelompok khilafah tidak hanya menawarkan romantisme kemakmuran masyarakat Muslim di masa lalu, tetapi juga membangun kritik tajam terhadap sistem demokrasi modern. Mereka menggunakan celah impunitas sebagai bukti nyata bahwa demokrasi adalah sistem yang cacat. Kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai menjadi salah satu modal utama mereka untuk mencaci demokrasi Indonesia.
Narasi yang dibangun oleh kelompok khilafah sering kali menggarisbawahi kegagalan pemerintah dalam memberikan rasa aman, keadilan, dan kesejahteraan. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi karena impunitas yang berkelanjutan, propaganda khilafah menemukan momentum untuk menyebarkan pengaruh. Mereka memanfaatkan kekecewaan publik untuk menghasut, menyatakan bahwa hanya sistem Islam yang dapat memberikan keadilan sejati.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi dua tantangan besar: menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dan menangkal propaganda kelompok khilafah yang merongrong demokrasi. Langkah pertama yang harus diambil adalah komitmen serius untuk menegakkan keadilan. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak hanya soal menenangkan korban, tetapi juga membuktikan bahwa demokrasi mampu memberikan solusi atas masalah yang diwarisi dari masa lalu.
Langkah kedua adalah membangun kesadaran publik bahwa demokrasi, meskipun memiliki kelemahan, adalah sistem yang memberikan ruang untuk perbaikan dan akuntabilitas. Pemerintah perlu menggandeng masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh agama untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mempertahankan demokrasi sambil terus memperbaiki kelemahannya.
Akhirnya, pemerintah juga harus mengidentifikasi dan melawan narasi propaganda kelompok khilafah. Dengan menciptakan kebijakan yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan, pemerintah dapat menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga memberikan solusi konkret bagi rakyatnya.
Impunitas memang mencederai demokrasi, tetapi menyerah pada narasi khilafah hanya akan membawa Indonesia ke arah yang lebih gelap. Saatnya pemerintah bertindak tegas, bukan hanya untuk menyelesaikan masa lalu, tetapi juga untuk menyelamatkan masa depan demokrasi bangsa. Wallahu a’lam.