Harakatuna.com – “Ke kelenteng kenapa pakai jilbab?,” teriak seorang pejalan kaki kepada Melinda, saat ia hendak menyeberang pulang dari sebuah kelenteng di Cikarang, Jawa Barat, pada 2017 silam. Melinda baru saja mengikuti perayaan Imlek bersama keluarganya yang keturunan China. Di antara keluarga besarnya, ia satu-satunya yang menjadi mualaf. “Katanya ‘tahun baru, harapan baru’. Ternyata, tantangannya baru juga,” kata Melinda.
Melinda sudah bisa tertawa saat menceritakan kembali pengalaman tersebut kepada BBC Indonesia. Namun, saat itu terjadi, ia mengaku hampir tak bisa membendung emosi. Terlebih, teriakan orang asing itu dibumbui lontaran bernada rasis. Melinda semakin sedih karena sanak saudaranya bukannya membesarkan hatinya, malah ikut mencibir. “Kenapa harus pakai jilbab ke kelenteng, sih? Belum juga setahun masuk Islam,” kata mereka.
Situasi semacam itu memang kerap menghantui Muslim China yang jadi ‘minoritas ganda’ di Indonesia, menurut peneliti Universitas Malaysia, Hew Wai Weng. Sebagai Muslim, kata Wai Weng, mereka menjadi minoritas di tengah komunitas China di Indonesia yang mayoritas memeluk agama Buddha dan Kristen. Situasi semakin canggung, kata Wai Weng, karena sejarah gesekan antara Muslim dan non-Muslim di Indonesia, kata Wai Weng.
Wai Weng sudah belasan tahun fokus pada tema-tema seputar identitas Muslim Tionghoa di Malaysia dan Indonesia. Ia juga menerbitkan sejumlah karya, salah satunya, Ber-Islam ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia (2019). Dalam buku itu, Wai Weng menuliskan, jika terkait dengan Imlek, Muslim Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok.
“Ada yang masih merayakan Imlek dengan semua tradisinya; ada yang masih Imlek walau tidak melakukan ritual yang tidak Islami; dan ada yang sama sekali tidak Imlek karena dianggap haram,” kata Wai Weng. Itu sama dengan pendapat Melinda, bahwa Imlek dipersoalkan karena dua hal. Pertama, silang pendapat Imlek sebagai tradisi agama Konghucu atau budaya semata. Kedua, Imlek sebagai tasyabuh kepada non-Muslim.
Imlek: Tradisi Agama atau Budaya?
Selain Melinda, seperti dilansir penuh dari BBC Indonesia, yang pernah memutuskan tak ikut Imlek, waktu itu, namun menyadari bahwa pandangan keluarganya terhadap Islam malah semakin buruk ketika ia tidak ikut Imlek. Memang, kata pengurus Kelenteng Bio Kwan Tee Koen di Karawang, Yanto, bahwa saat Imlek, ada saja mualaf yang datang ke kelenteng untuk mengingat leluhur. Setibanya di lokasi, mereka berdoa di altar paling depan.
“Dia enggak keliling ke semua altar atau patung dewa. Kalau dia mau pakai dupa, silakan. Mau secara Muslim, juga silakan,” ujar Yanto, dilansir dari BBC News Indonesia. Setelah ditelisik, Muslim yang pro-Imlek berupaya menyeimbangkan diri dalam doktrin keagamaan dan konteks sosial. Penelitian antropolog asal Irlandia, Andrew Beatty, itu dituangkan dalam bukunya, Varieties of Javanese Religion: an Antropological Account (1999).
Lebih dalam, Wai Weng mengatakan, kebanyakan Muslim Tionghoa yang masih melakukan ritual adat selama Imlek biasanya memiliki afiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang memang mengafirmasi akulturasi. Jadi, ihwal Imlek apakah budaya atau agama, kata Wai Weng, hanya terjadi di Indonesia. “Sebagai seorang Tionghoa Malaysia, saya tidak pernah mendengar keterkaitan antara Imlek dan Konfusianisme,” terang Wai Weng.
Peneliti lain, Chang Yau Hoon, dari Singapore Management University, dalam salah satu makalahnya mengonfirmasi bahwa debat kusir soal Imlek dan segala tetek-bengeknya memang hanya terjadi di Indonesia. Namun demikian, perjalanan Konghucu hingga diakui sebagai agama di Indonesia memang sangat berliku dan penuh jejak diskriminasi. Di era Orde Baru, misalnya, Konghucu terombang-ambing dan teralienasi.
Namun demikian, terlepas dari segala kontroversinya, Imlek yang dirayakan hari ini, yang disebut juga sebagai Chūn Jié atau Festival Musim Semi membawa semangat baru bagi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia. Chūn Jié adalah momen refleksi, penghormatan kepada leluhur, dan penguatan relasi sosial. Artinya, nilai-nilai universal dari Imlek atau Chūn Jié bisa menjadi inspirasi dalam menciptakan masyarakat inklusif di tanah air.
Internalisasi Imlek ke Spirit Kebangsaan
Dalam tradisi Tionghoa, Chūn Jié adalah waktu menghapus dendam, memperbarui ikatan, dan menciptakan harmoni. Dekorasi berwarna merah yang menghiasi rumah dan jalan adalah simbol keberuntungan, sekaligus perlindungan dari energi negatif. Momen berkumpul dengan keluarga, saling memberi angpao, dan berbagi makanan khas menunjukkan pentingnya kebersamaan dan solidaritas.
Nilai persatuan dalam Chūn Jié sejalan dengan kebutuhan global untuk melawan intoleransi, salah satunya. Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, semangat Chūn Jié mengajarkan, keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sumber kekuatan. Sebagaimana beragam masakan yang tersaji di meja makan saat perayaan, setiap budaya dan agama memiliki rasa dan warna unik yang memperkaya kehidupan bersama.
Sejarah Chūn Jié mencerminkan perjalanan panjang masyarakat Tionghoa dalam menghadapi tantangan, termasuk diskriminasi dan intoleransi, seperti kisah panjang Melinda dan Muslim Tionghoa lainnya. Perayaan Imlek memang pernah dilarang selama masa Orde Baru, tetapi semangat Chūn Jié tidak boleh padam. Perlu diakui, Imlek merupakan bagian dari kekayaan budaya bangsa.
Kebangkitan kembali Chūn Jié mengingatkan, internalisasi Imlek ke spirit kebangsaan adalah jalan terbaik melawan intoleransi. Dengan membuka ruang untuk saling memahami, prasangka buruk antarsesama yang kerap menjadi akar konflik sosial teratasi. Perayaan Chūn Jié, ketika diinternalisasi, jadi milik masyarakat Tionghoa sekaligus bagian dari kebersamaan seluruh warga negara yang saling menghormati.
Imlek adalah cerminan nilai universal: harmoni, persatuan, dan penghormatan terhadap keberagaman. Perayaan hari ini mengingatkan, perbedaan tak perlu jadi alasan perpecahan. Sebaliknya, dengan semangat Chūn Jié, kita bisa membangun dunia yang inklusif dan damai, di mana semua orang, dari latar belakang apa pun, tak hanya etnis Tionghoa, hidup berdampingan dalam bingkai kebhinekaan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…