30.8 C
Jakarta
spot_img

Iman yang Rapuh dan Beragama karena Keturunan: Belajar Hikmah dari Novel

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuIman yang Rapuh dan Beragama karena Keturunan: Belajar Hikmah dari Novel
image_pdfDownload PDF
Judul: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Penulis: Eka Kurniawan, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan: I, Agustus 2024, Tebal: 133 halaman, ISBN: 978-602-06-7385-1, Peresensi: Uzair Assyaakir, S.I.Kom.

Harakatuna.com – “Enam belas tahun ia hidup sebagai anak waras, kalian menyesatkannya hanya dalam lima hari. Lima hari! Bajingan kalian! Jika ia harus masuk neraka, ia akan membawa kalian semua yang menjerumuskannya!” (hlm. 133).

Saya tidak menyangka, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong juga menyinggung soal agama, meskipun tidak secara holistis. Membaca karya terbaru Eka Kurniawan ini terasa seperti diajak menyelami kegelisahan banyak orang yang “beragama karena turunan.” Terutama, kegelisahan “putih” seorang anak yang tengah memasuki usia remaja.

Sekilas, novel tipis ini mengingatkan saya pada kisah perbandingan seorang preman pendosa yang meninggal dalam keadaan salat dan seorang kiai yang mencoba berbuat dosa. Sang kiai, yang sepanjang hidupnya diisi dengan kegiatan bermanfaat seperti mengajar mengaji, memakmurkan masjid, dan menjadi tempat curahan hati masyarakat dengan pemahaman agama yang minim, tiba-tiba melakukan perbuatan haram dan langsung meninggal di tempat.

Sebuah kisah yang mengarahkan pembacanya pada kesimpulan seperti, “Tuhan berkuasa mencabut nyawa. Seorang pendosa yang seumur hidup melakukan kejahatan bisa saja wafat dalam keadaan salat, sedangkan seorang kiai yang seumur hidupnya berbuat kebaikan bisa saja wafat saat melakukan dosa.”

Kembali ke novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong, Sato Reang—remaja yang menjadi tokoh utama—barangkali bisa mewakili diri kita atau seseorang yang kita kenal. Ia adalah seorang anak yang beragama Islam semata-mata karena orang tuanya beragama Islam.

Dalam diri Sato Reang, bergemuruh penolakan terhadap kegiatan beribadah. Salat dan mengaji, baginya, adalah gangguan belaka. Sato Reang hanya menjalankan ibadah itu karena ayahnya. Setiap pagi buta, ayahnya akan mengetuk pintu kamar Sato Reang, mengajaknya berjalan bersama ke masjid untuk salat Subuh berjemaah. Jika bukan karena rasa takut pada ayahnya, Sato Reang pasti memilih tetap bergumul dengan selimut hangat di pagi yang dingin.

Suatu ketika, Sato Reang mencoba untuk tidak salat Maghrib. Bersama tiga kawannya, ia asyik bermain sepak bola di halaman musala. Azan Maghrib tidak dihiraukan, begitu pula ajakan imam musala. Ayahnya, yang mengetahui hal itu, langsung datang dan membelah bola yang sedang mereka mainkan. Sato Reang lari tunggang-langgang pulang ke rumah. Di rumah, ia diminta oleh ayahnya untuk salat Maghrib dan mengaji.

Namun, ketika ayah Sato Reang meninggal dunia, perilakunya berubah total. Ia berhenti salat, tidak lagi mengaji, bahkan tidak pernah mengikuti kajian islami pada Sabtu malam. Sebaliknya, ia justru tenggelam dalam berbagai aktivitas amoral dan bergelimang dosa.

Titik balik Sato Reang terjadi ketika ia bertemu kembali dengan Jamal, seorang remaja yang merupakan kebalikan sempurna darinya. Jamal adalah sosok yang taat beribadah, menjalankan segala perintah Tuhan, dan menjauhi larangan-Nya.

Sato Reang sering mengejek Jamal karena tidak berani menonton video porno atau meminum bir hitam. Awalnya, Jamal tetap teguh dengan imannya. Namun, pada suatu waktu, Sato Reang mulai membawa-bawa istilah “Darul Islam” dalam ejekannya. Ia bahkan mengaitkan kakek Jamal—yang disinyalir dulunya anggota pasukan Darul Islam—dengan sikap Jamal yang dianggap terlalu alim.

Ejekan ini membuat Jamal geram. Pertahanan imannya pun runtuh. Dalam kemarahan, ia akhirnya mengiyakan ajakan Sato Reang dan teman-temannya untuk menonton film porno dan meminum bir hitam.

Pada suatu malam yang malang, Jamal memberanikan diri menyelinap ke pesta yang diadakan oleh Sato Reang. Pesta itu dipenuhi bir hitam, ayam panggang, lalapan jamur yang tumbuh dari kotoran kerbau, serta kecubung kering yang dirajang. Semua orang di pesta itu mabuk berat dan muntah di rerumputan, termasuk Jamal. Namun, dalam keadaan mabuk, Jamal tidak sadar menyeberang jalan dan tertabrak mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.

BACA JUGA  Dari Aceh Hingga Demokrasi di Indonesia

Suasana pesta langsung berubah mencekam. Teman-temannya terdiam, panik, dan saling menyalahkan. Tubuh Jamal yang tidak bernyawa akhirnya dibopong pulang ke rumahnya. Ketika ibunya melihat tubuh Jamal, ia menjerit histeris dan mengucapkan kata-kata yang selamanya terpatri di benak Sato Reang dan teman-temannya.

Kata-kata itu adalah petikan dialog yang saya tuliskan di awal paragraf tulisan ini.

Sebagai seorang Muslim, kita memahami bahwa iman bersifat fluktuatif. Kadang iman kita teguh seperti Jamal, di lain waktu rapuh seperti Sato Reang. Namun, yang paling penting untuk direnungkan adalah kata-kata dari ibu Jamal, yang menjadi pengingat bahwa akhir hidup seseorang tidak pernah bisa kita prediksi. Seorang pendosa bisa saja berubah menjadi saleh, sementara seorang yang saleh bisa jatuh menjadi pendosa.

Novel ini menyajikan refleksi mendalam, sekaligus pengingat untuk selalu menjaga keimanan kita. Bahwa setan tidak selalu berwajah seram dan menakutkan, tetapi kadang hadir dalam bentuk manusia, atau bahkan berupa kelemahan iman kita sendiri.

Seperti yang tergambar di halaman pertama novel ini, ketika Sato Reang berbicara kepada Jamal, “Berbuatlah sedikit dosa, Jamal. Kau anak saleh. Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu.”

Dialog tersebut barangkali pernah muncul dalam hidup kita. Mungkin dari seorang teman, atau bahkan dari diri kita sendiri—sebuah bisikan yang berasal dari rasa congkak atas ibadah yang kita lakukan setiap hari.

Novel Eka tidak hanya menggambarkan fluktuasi iman seseorang, tetapi juga membuka ruang untuk merefleksikan bagaimana masyarakat kita memandang kesalehan dalam konteks kolektif. Di Indonesia, kesalehan diukur secara sosial—dengan atribut dan ritual yang tampak di permukaan.

Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam karakter Sato Reang dan Jamal, kesalehan sejati lebih dari sekadar tindakan lahiriah; ia melibatkan kejujuran hati, keteguhan prinsip, dan pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai agama.

Fluktuasi kesalehan menjadi semakin kompleks ketika kita memasukkannya ke dalam konteks keberagaman. Sebagai negara dengan berbagai aliran dan pemahaman keagamaan, negara ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga harmoni. Salah satu contoh nyata adalah diskriminasi yang tak jarang dialami komunitas Ahmadiyah, seperti yang hari-hari ini ramai dibicarakan.

Ahmadiyah, yang sering menjadi sasaran stigma dan kekerasan, adalah gambaran nyata dari bagaimana kesalehan minoritas sering disalahpahami, bahkan dianggap ancaman oleh sebagian masyarakat. Paradoksnya, meskipun Ahmadiyah memiliki tradisi ibadah yang kompleks, kesalehan mereka justru kerap dicurigai dan disingkirkan. Kita melihat agama menjadi alat justifikasi diskriminasi, alih-alih menjadi wahana memperkuat nilai-nilai kasih sayang sesama.

Jika dikaitkan dengan dialog dalam novel, bisikan Sato Reang kepada Jamal—“Berbuatlah sedikit dosa, Jamal. Kau anak saleh. Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu”—adalah refleksi dari sikap angkuh sebagian masyarakat yang merasa “lebih benar” dalam beragama. Sikap itu menciptakan hierarki kesalehan yang pada akhirnya melahirkan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.

Akhirnya, kita berada pada satu pelajaran penting: iman dan kesalehan sejati tidak hanya tentang apa yang tampak di mata manusia, tetapi juga bagaimana kita memperlakukan sesama. Ketika masyarakat hanya fokus pada “kesalehan mayoritas” dan mengabaikan atau bahkan menindas kesalehan minoritas, kita sejatinya sedang membangun tembok yang memisahkan agama dari tujuan utamanya—mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Dengan segala ironi dan pesan yang disampaikannya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah bacaan yang relevan untuk kita renungkan bersama. Novel Eka tersebut, meskipun singkat, mengajak kita merenungkan betapa rapuhnya iman manusia, sekaligus mengkritisi wajah keberagamaan kita yang masih jauh dari inklusivisme dan keadilan yang merata.

Uzair Assyaakir, S.I.Kom
Uzair Assyaakir, S.I.Kom
Menulis esai, opini, dan prosa. Tulisannya termuat di beberapa media online. Bisa disapa melalui instagram @uzairasy.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru