27.9 C
Jakarta
Array

Imam Syafi’i dalam Sorotan Sarjana Barat

Artikel Trending

Imam Syafi’i dalam Sorotan Sarjana Barat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Santri Cendekia Forum edisi ke-6 secara khusus membahas tentang pandangan Sarjana Barat mengenai kontribusi Imam Syafi’i dalam pengembangan hukum Islam. Pembahasan ini disampaikan oleh Ayub di hadapan puluhan peserta yang hadir di Auditorium Pusat Tarjih Universitas Ahmad Dahlan. Alumni University of London ini menjelaskan latar masalah mengapa Imam Syafi’i perlu menulis kitab al-Risalah.

Hal tersebut terjadi lantaran sejak Nabi Muhammad meninggal, produksi al-Quran dan sunnah terhenti total dan tidak mungkin ada penambahan lagi. Sepeninggalan Rasulullah pula, doktrin-doktrin pokok belum dirumuskan secara tertulis dan tersistematis, sehingga satu-satunya referensi tekstual hanyalah Kitab Suci.

Hal tersebut karena Al-Qur’an setelah diwahyukan langsung ditulis oleh para sahabat. Sementara hadis masih menunggu jangka waktu sekitar dua abad setelahnya. Tidak heran bila kemudian sunnah sangat rentan terhadap perubahan dan pemalsuan, dan sudah banyak bukti yang menunjukan fenomena tersebut.

Rentannya otentitas sunnah mendorong golongan ahli kalam seperti Mu’tazilah untuk mengambil sikap skeptis terhadap sunnah secara keseluruhan, terutama hadis-hadis ahad. Gencarnya serangan Mu’tazilah terhadap sunnah tersebut memotivasi Imam Syafii untuk menulis kitab al-Risalah. Karena itulah sang Imam dijuluki sebagai Penolong Sunnah (Nashir al-Sunnah).

Selain itu Ayub menjelaskan konteks penulisan al-Risalah terjadi saat berkembangnya gerakan chauvinisme non-Arab (syu’ubiyah). Gerakan ini muncul pada periode Abbasiyah sebagai perlawanan terhadap Dinasti Umayyah. Dinasti Umayah yang dalam kacamata Barat terkenal rasis karena paham fanatik kearabannya.

Anggapan tersebut lahir dari fakta sejarah yang menunjukan kekhalifahan Umayyah memang didominasi atau hampir seluruhnya adalah orang Arab. Tidak seperti Kekhalifahan Abbasiyah yang sudah bercampur dengan etnis lain seperti Persia. Menurut Ayub, para penulis dari bangsa Mawali Persia mengobarkan semangat syu’ubiyah. Yaitu dengan membuat syair dan puisi untuk mempromosikan keunggulan budaya non-Arab.

Adanya gerakan chauvinisme non-Arab menurut sebagian peneliti memengaruhi pola pemikiran keagamaan, salah satunya Imam Syafi’i. Hal tersebut disinyalir menjadi salah satu faktor pendorong Imam Syafi’i untuk menulis kitab al-Risalah.

“Ar-Risalah” Imam Syafi’i dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd imam Syafi’i berpandangan tentang pentingnya setiap muslim untuk belajar bahasa Arab. Dan perlunya pemimpin berasal dari bangsa Arab. hal ini dinilai sebagai respon terhadap perkembangan chauvinisme non-Arab yang berkembang sangat kuat di Baghdad ketika itu. Bagi Nasr Hamid, imam Syafii dinilai ingin kembali memunculkan superioritas Arab-Quraisy di dunia Islam.

Tesis Nasr Hamid di atas muncul sebab ia menggunakan pendekatan discourse analysis. Sarjana Barat semisal David Vashinoff dan Joseph Lowry yang menganalisis proyek Imam Syafi’i sebagai upaya membangun metode hermeneutik yang utuh menyimpulkan berbeda. Dalam pandangan mereka, penekanan Imam Syafi’i atas “ke-Arab-an” bahasa al-Quran adalah bagian integral dari metodenya yang berusaha meredam potensi salah paham akibat adanya teks-teks yang tampak kontradiktif; dengan menggunakan ambiguitas Bahasa Arab, Lowry menilai Syafii berhasil mengompromikan potensi kontradiksi tersebut.

Penulisan kitab al-Risalah oleh Imam Syafi’i ternyata memancing beberapa tesis sarjana Barat tentang sang Imam secara khusus, dan hukum Islam secara umum. Menurut Ayub, ketika sarjana Barat mengkaji Islam dari sumber-sumber klasik (turast), kesimpulan yang mereka buat menghasilkan sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh umat Islam.

Lebih jauh Ayub memandang bahwa sarjana Barat samasekali tidak mempedulikan sosok Imam Syafii sebagai person, mereka hanya menggunakan sang Imam untuk mengetahui ‘apa yang sedang dibicarakan manusia pada abad ke delapan sampai sembilan Masehi?’ Karena kitab al-Risalah yang survive sampai sekarang, akhirnya mereka pun mengkaji kitab Imam Syafi’i itu dengan pendekatan sosio-historis.

Imam Syafi’i dalam pandangan Josep Schacht

Menurut Ayub, nama yang tidak boleh terlewatkan dalam diskusi tentang tesis sarjana Barat terkait imam Syafi’i adalah Josep Schacht. Ayub memandang Schacht sebagai generasi pertama sarjana Barat yang mengkaji secara serius tentang sunnah Nabi, terutama hadis-hadis tentang hukum. Dalam membangun argumennya, Schacht menjadikan tulisan-tulisan imam Syafi’i sebagai lumbung untuk menunjukan bahwa konsep ‘sunnah’ merupakan kreasi umat Islam belakangan (abad kedua hijriyah).

Schacht menilai dalam sejarah hukum Islam pernah terjadi perubahan paradigma (shifting paradigm) terkait terma ‘sunnah’. Sebelumnya, sunnah hanya dimaknai sebagai tradisi lokalitas masyarakat Madinah dan ijtihad ulama-ulama regional.

Namun menurut Schacht, setelah imam Syafi’i menulis al-Risalah, terma sunnah pun bergeser secara radikal. Imam Syafi’i dianggap sebagai ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap ‘sunnah’ sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi, bukan ijtihad ulama-ulama regional.

Pelurusan definisi ‘sunnah’ oleh Imam Syafi’i secara tidak langsung mendorong upaya kodifikasi hadis. Pada abad kedua Hijriyah yakni pada masa penulisan hadis secara resmi dalam kutub al-sittah, alur periwayatan hadis (sanad) yang awalnya tidak terlalu diperhatikan, berubah menjadi faktor yang paling dominan.

Dalam pembuktian bahwa hadis itu valid (shahih), menurut imam Syafi’i, salah satunya harus melalui serangkaian rawi hingga sampai terhubung langsung kepada Nabi. Sehingga perkembangan sanad yang seperti itu menurut Ayub dikenal dengan suatu proses proyeksi ide ke generasi yang lebih tua, atau disebut dengan teori projecting back.

Setelah Imam Syafi’i mengangkat derajat sunnah, ulama-ulama regional merasa perlu mencari dalil sunnah untuk memperkuat pendapatnya. Begitu pula dengan ahl al-hadis yang menentang ahl al-ra’y, termotivasi untuk memproduksi hadis lalu membuat-buat sanadnya secara fiktif seolah itu datang dari Nabi. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan ulama-ulama mazhab.

 Dalam misi mempertahankan pandangan mazhabnya, mereka memerlukan justifikasi sunnah agar kuantitas pengikutnya tidak turut menyusut. Karena itulah, menurut Ayub, teori Projecting Back yang diperkenalkan oleh Schacht memiliki implikasi yang serius, implikasi dari teori tersebut menghasilkan asumsi bahwa hadis yang berkembang sampai sekarang ini boleh jadi hanyalah kreasi fiksional para ulama abad kedua Hijriyah.

Selain itu, dalam pandangan Ayub, pujian besar Schact terhadap Imam Syafi’i sebagai pendiri Islamic Jurisprudence ternyata untuk menunjukan satu kesimpulan bahwa Nabi Muhammad sejak awal tidak memimpikan untuk membangun sebuah tatanan hukum yang sistematis.

Hal tersebut terjadi lantaran sepanjang hidupnya dihabiskan dalam konfrontasi politik dan militer dengan lawan-lawannya, sering juga mendapat tekanan-tekanan sosial, alhasil tidak ada waktu untuk Muhammad membuat hukum-hukum yang rigid seperti cara bersuci (thaharah).

Asumsi itu dibangun atas dasar bahwa kehadiran Nabi Muhammad di jazirah Arab hanya untuk mereformasi moral masyarakat Arab agar lebih beradab, dan Imam Syafi’ilah yang sesungguhnya membuat sistematisasi hukum Islam. Menurut Ayub, dalam pandangan Schacht hukum Islam sejak awal sebetulnya sudah sekular.

Bantahan Terhadap Pandangan Josep Schacht

Sarjana Islam yang mengkritik pemaparan Schacht di atas adalah seorang intelektual asal Pakistan bernama Ahmad Hasan. Menurutnya, Schacht terlalu membesar-besarkan pengaruh kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i terhadap dunia Islam.

Dalam penelitiannya, Hasan melacak kitab-kitab ushul fikih yang sudah tersistematis sebelum Imam Syafi’i. Menurut Ayub, Hasan menemukan kitab al-Fihris karya Ibnu Nadhim yang isinya menyebutkan bahwa Abu Yusuf dan al-Syaibani, dua murid Abu Hanifah, telah lebih dulu membuat sistematisasi hukum Islam jauh sebelum Imam Syafi’i.

Upaya Hasan ini hanya ingin menunjukan bahwa terma ‘sunnah’ yang diperkenalkan Imam Syafi’i tidak memiliki pengaruh apa pun dalam dunia Islam, sebab kata ‘sunnah’ sendiri memang tidak pernah berubah menjadi sesuatu yang lain, selain datang dari Rasulullah.

Meski memiliki pendekatan yang sama dengan Hasan, peneliti Barat seperti Wael B. Hallaq dalam upayanya mengkritik Schacht menggunakan trik yang berbeda. Hallaq justru mempertanyakan kadar pengaruh di dunia Islam pasca Imam Syafi’i menulis kitab al-Risalah. Kritik terhadap Schacht tersebut ditulis dalam sebuah jurnal internasional dengan judul yang agak tendensius: ‘Was al-Shafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?’

Dengan mengutip Hallaq, Ayub menyatakan bahwa satu abad setelah Imam Syafi’i wafat, tidak ada kitab yang membicarakan tentang ushul fikih. Apa yang dibicarakan Schacht tentang pengaruh besar al-Risalah dalam dunia Islam, ternyata bagi Hallaq justru kitab Imam Syafi’i tersebut sama sekali tidak menarik banyak murid-muridnya untuk berkomentar atau mereviewnya (syarah aw mukhtashar).

Pengembangan Ar-Risalah Imam Syafi’i.

Perhatian besar pada al-Risalah terjadi pada abad kesepuluh saat ulama-ulama pengikut mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah) seperti Ibnu Suraij, Syarafi, dan Qaffal berhasil mengembangkan teori hukum yang lebih canggih. Hallaq menilai bahwa pada periode ini disebut sebagai musim semi kitab ushul fikih. Karena itulah, boleh jadi anggapan Imam Syafi’i pendiri ushul fikih menurut Ayub adalah ciptaan kemudian.

Tesis Hallaq di atas yang menyatakan bahwa imam Syafi’i memiliki pengikut membuat sarjana Barat lainnya seperti Norman Calder dan Melchert menyatakan bahwa kitab al-Umm dan al-Risalah terbentuk bukan pada eranya, tetapi setelah sekian lama dari masanya.

Menurut Ayub, Calder menganggap al-Umm mengalami pertumbuhan “organik” dari masa ke masa. Calder menduga ulama-ulama Syafi’iyyah memperkarya tulisan teks asli a-Umm dengan memasukan pandangan pribadi mereka dan menisbatkannya kepada imam Syafi’i. Pemasukan pandangan pribadi dengan menyandarkan kepada Imam Syafi’i dipercaya akan lebih ampuh mempengaruhi umat Islam sesuai dengan pendapat mereka.

Alasan utama Calder menganggap al-Umm mengalami penambahan kuantitas lantaran di dalam kitab tersebut terdapat bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bertentangan. Hal tersebut disinyalir dari sikap inkonsistensi imam Syafi’i dalam memberikan suatu pandangan yang membuat Calder curiga bahwa al-Umm telah dirangkai oleh lebih dari satu orang.

Pandangan Calder yang menyatakan bahwa kitab al-Umm mengalami pertumbuhan organik, dibantah oleh akademisi lain yang bernama Ahmad el-Shamsi. Menurut Ayub, bantahan-bantahan el-Shamsi sangat mungkin terinspirasi dari Joseph Lowry.

Dalam menyanggah Calder, el-Shamsi berhasil menunjukan adanya kesalahan fatal: Calder menerapkan metode kritik ala Bible terhadap al-Umm. Menurut Ayub, terdapat perbedaan yang signifikan antara teks Bible dengan al-Umm. Bible yang merupakan kitab suci umat Kristen harus terdiri dari narasi tunggul. Sehingga mau tidak mau konten di dalamnya harus konsisten.

Kecurigaan sebagian kalangan terhadap otensistas Bible memang masuk akal lantaran memuat isi yang inkonsisten. Menurut Ayub hal tersebut berbeda dengan al-Umm yang isinya memuat diskusi dan tanya jawab. Sehingga wajar apabila sikap Imam Syafi’i kadang tidak konsisten, sebab bisa jadi karena perbedaan konteks ruang dan waktu.

Imam Syafi’i Keberadaan Sarjana Barat

Sebagai penutup penulis mengutip Moeflich Hasbullah. Bahwa ada hal yang harus diakui dari keberadaan sarjana Barat. Yaitu mereka telah menjadikan Islam sebagai sebuah obyek studi yang sangat historis dan sosiologis.

Menurut Hasbullah, tanpa sarjana Barat, literatur dunia Islam hanya ditulis oleh orang dalam yang “subyektif” dan serba memihak. Dalam konteks ini, suka tidak suka sarjana Barat harus diakui memberikan setidaknya dua keuntungan:

Pertama, mengenalkan studi Islam dengan pendekatan yang lebih menonjolkan analisis sosio-historis.

Kedua, melalui sarjana Barat pandangan masyarakat non-Muslim tentang Islam bisa diidentifikasi.  Ada yang apa adanya (obyektif), simpatik, ilmiah dan akademis. Dan ada juga yang sinis, tidak akurat dan penuh prasangka.

Habullah menganggap keberadaan sarjana Barat yang mengkaji Islam sebagai blessing in disguise.

Ayub menutup pemaparannya dengan memotivasi peserta yang hadir di Santri Cendekia Forum agar tidak mau kalah dengan sarjana Barat. Mereka begitu serius mendalami khazanah Islam yang begitu kaya. Ketika mereka mampu memanfaatkan khazanah tersebut untuk membangun teori-teori canggih. Maka umat Islam sebagai pemiliki sah khazanah para ulama jangan ikut ketinggalan.

oleh

Ilham Ibrahim

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru