27.5 C
Jakarta

Idulfitri: Menjadi Fitri, Memberangus Radikalisme NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamIdulfitri: Menjadi Fitri, Memberangus Radikalisme NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ibadah puasa sudah sebulan penuh. Dan kita hari ini merayakan Idulfitri. Selama berpuasa, tentu kita berharap berhasil mencapai puncak tujuan takwa sesuai surah (Al-Baqarah: 183). Dan dengan merayakannya Idulfitri, kita bisa kembali kepada fitrah, ke-kesucian sebagai manusia (Al-Rum: 30).

Meski ibadah puasa kali ini kita jalani dalam suasana pandemi global dan skandal kebijakan negara, serta teroris terus membinasakan nyawa manusia, semoga dengan kedatangan Idulfitri, kita dapat merengkuh hidup melampaui spiritual dan sosial. Dengan bertemunya Idulfitri, kembalinya ke fitrah manusia, semoga negara juga kembali menemukan fitrahnya, dapat mengantarkan pribadi, bangsa, negara meraih kemenangan.

Baik mengentaskan virus Covid-19, kemiskinan, teroris, kekalahan persaingan global, pungutan liar, ketidakpastian hukum-kebijakan, dan sanggup memulihkan kepercayaan-harapan bangsa. Semoga dengan bertemunya Idulfitri yang datang dan pergi, kita dapat menyelesaikan semua itu, dan dapat kembali menemui Idulfitri tahun depan. Bagi yang Idul Fitri kali ini terakhir karena dipanggil kembali kepada-Nya, semoga khusnul khatimah.

Kesucian atau gema takbir Idulfitri bukanlah sesuatu yang harus kita jalani atau diterima begitu saja. Tentu di tengah virus Covid-19 dan teroris yang makin kejam, yang bahkan menjungrkir balikkan tatanan praksis kehidupan sosial-agama, ada sejumlah tugas yang belum selesai dan harus dipikirkan dan dituntaskan.

Idulfitri dan Masa yang Tersisa

Apa yang tersisa dalam kehidupan kita dan nilai-nilai Ramadan, atau apa yang perlu ditinggalkan dan diperjuangkan untuk kehidupan ke depan?

Pertanyaan ini penting diajukan sebagaimana ajaran Nabi bahwa ibadah apa pun itu, tak terkecuali ibadah sunah dan wajib harus selalu ihtisaban, penuh perhitungan dan refleksi kritis. Tujuannya jelas, untuk menambah kehati-hatian dan kedalaman dalam beribadah. Dalam konteks itu, makna ibadah puasa dan Idulfitri sangat relevan.

Idulfitri dan nilai ibadah puasa untuk melatih kesabaran jasmani dan rohani dan mematikan nasfu angkara murka. Idulfitri untuk memperkuat kembali hubungan prosesi religio-sosial agar terbangun hubungan tidak hanya kepada Tuhan (habl min Allah), tetapi sekaligus pada manusia (habl min al-nas) dan alam.

Ketika puasa dan Idulfitri selesai ditunaikan, pencapain spiritual dihadapkan pada tantangan baru: pengendalian nafsu terhadap kesombongan, keserakahan, dan harta yang haram dan hal-hal lainnya. Maka, pemaafan dan permintamaafan kepada Tuhan, individu, masyarakat, alam, sangat penting dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Berjanji tidak akan mengulangi kemungkaran kembali agar bisa memperbaharui kehidupan yang nyaman-harmonis antara manusia, alam, dan sebagainya.

Pemaafan seperti kata Azyumardi Azra, bukan sekadar aktualisasi sikap moral tinggi yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan tujuan yang mulia, yakni islah (perbaikan) yang mencakup semua makhluk Tuhan. Pemaafan menunjukkan bahwa kita memiliki sikap kesiapan untuk menerima dan mau kembali hidup berdampingan secara damai. Sebab, bagaimanapun manusia punya titik lemah dan salah.

Karena, pemaafan dalam Islam mempunyai arti universal, yaitu apa yang disebut dengan muhasabah. Saling maaf-memaafkan, saling menghitung dan menimbang peristiwa-peristiwa kelam yang telah melukai banyak orang dan berjanji tidak mengulanginya kembali. Melalui muhasabah, kita dapat intropeksi diri serta dapat saling memaafkan dengan tulus satu sama lain dan dapat menemukan kembali tenaga batin yang mengantarkan pada kesucian pribadi dan publik.

BACA JUGA  Di Tengah Gusarnya Politik, Ada Teroris Bermain Pendanaan dan Intrik

Upaya penyucian tentu harus menyentuh kepada simpul terlemah, yang menjadi pangkal kezaliman, kebodohan dan kebohongan. Sebab, seperti yang diajarkan Nabi, pertobatan pada hal-hal negatif bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan kebohongan kembali. Pada titik inilah krisis kita berkehidupan.

Masa yang Tersisa yang Perlu Dituntaskan

Untuk itu, kembalinya kita ke fitrah diharapakan serta dimaksudkan untuk dapat mendapatkan tiket pada kepulangan ke fitrah kesejatian, yakni kemurnian asal sebagai manusia. Untuk mendapatkan itu, sebagaimana anjuran agama, manusia harus bertobat nasuhah, total/kolektif, dan beramal dengan ikhlas agar bisa kembali kepada apa yang disebut sebagai kembali ke akar, kembali seperti embun bening.

Ketulusan beramal adalah rahasia Tuhan dan manusia. Dan ke-ikhlasan beramal dan memaafkan adalah inti dari keberagamaan. Tapi yang kita andalkan bukan amal kebaikan, melainkan rahmat dan kasih sayang Tuhan setelah beramal-memaafkan sekuat kemampuan.

Dalam menempatkan ibadah puasa dan Idulfitri, sebagaimana kata M. Quraish Shihab dalam Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam (2018), yang kita andalkan adalah pengampunan-Nya, bukan keadilan-Nya. Karena rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya, dan pengampunan-Nya lebih luas daripada dosa-dosa hamba-Nya.

Maka dari itu, untuk membuktikan bahwa Idulfitri adalah hari kemenangan dan Islam adalah rahmatan lil alamin, setiap Muslim musti bisa berdamai (memaafkan) dengan dirinya sendiri dan orang lain, tanpa dikuasai kemarahan dan kebencian. Hanya dengan memaafkan masing-masing, fitrahrahmatan lil alamin dapat tercipta.

Pemaafan yang telah menjadi bagian integral perayaan Idulfitri, seyogyanya tidak hanya sekadar berjabat tangan, tapi hendaknya dijadikan sebagai momentum perwujudan kedamaian, ukhuwah, dan asketisme (kezuhudan), serta kebhinnekaan.

Dalam konteks sosial negara-bangsa, kita harus memperkuat kohesi sosial dan mengaktualisasikan kesalehan sosial. Misalnya dengan cara meminta maaf kepada publik atas kesalahan privat, memberlakukan kebijakan yang pro-rakyat, memberlakukan kebijakan yang pro-keadilan yang betul-betul berkebangsaan, dan penyaluran filantropi yang ingklusif. Artinya, tidak hanya disalurkan kepada sesama Muslim, tetapi ke non-Muslim yang lebih membutuhkan. Tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi di luar negeri, seperti bangsa Palestina. Dengan begitu, hari kemanangan Idulfitri bukan hanya dirasakan umat Muslim, tapi juga umat keseluruhan.

Kendati, tanpa kesalehan internal, tidak mungkin ada kedamaian dan kesalehan sosial-eksternal. Maka dari itu, dalam berkahnya Idulfitri kali ini, kita harus seimbang memandang ke dalam bukan melulu ke luar, atau sebaliknya.

Dengan begitu, ibadah puasa dan Idulfitri dapat lebih fungsional bagi semua aspek kehidupan umat. Dari sini, barulah kita bisa merayakan Idulfitri bukan sekadar kerutinan melainkan protektif, produktif dan developmental. Dapat meningkatkan kualitas keimanan, keindondesiaan dan kemanusiaan. Semoga kita bisa silaturrahim dengan baik, meski secara virtual. Selamat Idulfitri 1442 H/2021 M pembaca Harakatuna.com. Mohon maaf lahir batin. Taqoballahu minna waminkum

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru