31.3 C
Jakarta
Array

Idul Fitri: Momentum Hari Kemenangan Spiritual

Artikel Trending

Idul Fitri: Momentum Hari Kemenangan Spiritual
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menilik pernyataan-pernyataan dari lisan suci Rasulullah Muhammad SAW, kita bisa membedakan orang yang berpuasa ke dalam tiga kriteria. Pertama, mereka yang menahan diri dari lapar dan dahaga serta melakukan hubungan seksual sejak waktu imsak hingga datangnya waktu berbuka. Kedua, yang derajatnya lebih tinggi, mereka yang juga sanggup menahan diri dari omongan, pikiran, dan perilaku yang tercela. Ketiga, mereka yang hatinya senantiasa terpaut dengan “Azza wa jalla” Tuhan semesta yang penuh kasih dan rahmat.

Puasa pada level pertama, barangkali lebih cocok disandang oleh anak-anak kecil, sedangkan mereka yang sanggup mencapai level ketiga sudah selayaknya menyandang gelar idul fitri, yaitu sebuah penghargaan spiritual ketika seseorang berhasil merehabilitasi potensi kemanusiaannya yang suci.

Momentum idul fitri sebenarnya merupakan jalan untuk mengetahui bahwa hakikat manusia berporos pada realitas spiritual, dimensi spiritualitas kita ibarat pohon akan berkembang sehat dan berbuah ketika mendapatkan cukup vitamin dan cahaya, yaitu dengan jalan mengasosiasikan diri kita dengan Zat Yang Maha Spiritual.

Gegap-gempita hari idul fitri merupakan pesta untuk menunjukkan rasa syukur seorang Mukmin kepada Tuhan atas kemenangannya dalam menghadapi ujian kesucian ruhani di bulan puasa sehingga dapat menghantarkan dirinya menjadi jawara spiritual.

Lantas, jika tujuan idul fitri secara simbolik merupakan pesta atas kemenangan umat Islam setelah sebulan melakukan rehabilitasi diri, pertanyaannya kemudian adalah untuk apakah kemenangan dan kejayaan itu diperjuangkan?

Bila merujuk pada Al-Qur’an, kemenangan itu digunakan untuk menuntaskan misi humanity, yaitu sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi, yang mana Al-Qur’an menyebutnya sebagai misi Muhammad SAW untuk menebarkan wewangian kasih-sayang yang nantinya akan dihirup umatnya  di muka bumi, rahmatan lil ‘alamin.

Jadi, semangat cinta kasih merupakan manifestasi dari jiwa kerasulan Muhammad SAW dan juga jiwa Islam. Kita bisa membayangkan apalah artinya harta, jabatan, keluarga, ilmu hingga teknologi tanpa adanya cinta kasih antara sesama manusia. Tanpa cinta kasih manusia akan terjerembab dalam lubang hedonisme.

Fenomena hedonisme ini nampaknya menjadi sebuah kultur masyarakat Indonesia khususnya menyambut pesta idul fitri, yang mana mereka menjadikan pola hidup hedonisme ini menjadi acuan atau sumbu perayaan hari yang begitu spesial dan suci ini.

Kita bisa melihat dan mengamati pola hedonisme ini dari desa hingga kota dimana penduduknya memadati pusat perbelanjaan, sibuk menghias rumah dan pekarangan, bahkan berlomba-lomba memamerkan harta benda kekayaan dan jabatan di hari idul fitri dimana semua itu mereka kemas secara menarik mungkin di balik tirai silaturrahmi door to door.

Idul fitri semestinyalah merupakan sebuah kelahiran kembali anak manusia (reborn on the earth) bagaikan kuncup pohon lotus yang begitu indah, walaupun ia tumbuh dan besar dari air yang kotor dan keruh. Ajaran agama yang begitu suci dan agung akan membuahkan nilai-nilai yang suci dan agung pula jika ia dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh mereka yang berhati suci, yang senantiasa menyebarkan kasih dan kedamaian kepada sesamanya.

Misi agung sebuah agama kadang kala terhalangi oleh sikap-sikap ideologis pemeluknya ketika nilai-nilai agama telah terlembagakan (institutionalized). Pada tahapan ini, sering kali kita sulit membedakan apakah seseorang memperjuangkan nilai luhur agama ataukah ideologi dari para pemeluknya, yang pada mulanya memang dibangun atas dasar premis-premis keagamaan.

Sekali lagi, salah satu pesan idul fitri adalah agar seorang Mukmin mampu bersikap polos dan lugas dalam melihat dirinya yang paling primordial, bahwa pada dasarnya manusia itu makhluk spiritual yang tidak bisa luput dari pengaruh dan percikan noda. Noda-noda itu merupakan bagiann integral dari medan perjuangan hidup ini dan dalam kaitan inilah, latihan-latihan spiritual semacam ibadah puasa dan introspeksi diri menjadi relevan. Perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan adalah sebuah serial panjang, sepanjang umur manusia dan eksistensi agama.

Oleh karena itu, mari kita di momentum idul fitri ini benar-benar mengubur sikap hedonistik, egoistik, sekularistik dan terlahirlah fitri bagaikan seorang bayi suci yang baru saja terlahir dari rahim ibunya.

 Sunset Ramadhan beranjak pergi

Berganti fajar Syawal di pagi hari

Membawa cahaya kedamaian di penghujung Ramadhan

Menebar berkah di hari kemenangan.

Selamat Idul Fitri 1439 H, minal aidzin wal faidzin –

YUSUF MAHDI, Aktif di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Ketua Bidang Intelektual dan Pengembangan Penelitian.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru