26.7 C
Jakarta

Idul Adha: Mengurbankan Egoisme dan Radikalisme Agama

Artikel Trending

Milenial IslamIdul Adha: Mengurbankan Egoisme dan Radikalisme Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Idul Adha tahun ini, adalah hari perayaan yang ditunggu umat Islam di dunia. Umat Islam merayakan dengan berkurban dan juga menggali makna di balik kurban tersebut. Pada momen ini, umat Islam memaknainya dengan sangat agung dan mencari relefansinya dalam kehidupan dan keumatan.

Pertama-tama yang dicari dari perayaan Idul Adha ini bagaimana memupuk kepedulian di antara sesama umat manusia, khususnya muslim. Di sini membutuhkan pengorbanan yang luar biasa untuk sampai pada tahap agung.

Kedua, dengan berkurban, manusia bisa mengambil hikmah, bahwa kehidupan sesungguhnya adalah pengorbanan. Maka itu, kurban adalah pengorbanan. Artinya, yang menjadi milik kita, bukanlah milik kita, melainkan milik sang Pemilik. Agar sampai pada tahap kurban yang bernilai tinggi, butuhlah keikhlasan.

Egoisme Beragama

Keikhlasan yang tak terucapkan, terbunuh oleh rasa ketaatan dan ketakwaan. Di sini egoisme terkorban secara sendirinya. Tapi, jika rasa egoisme masih melekat, maka kurban hanyalah sekadar menjadi korban, atau mujur-mujur menjadi konten dan gaya-gayaan.

Lihatlah, banyak yang berkurban atas nama agama. Tetapi yang dikorbankan adalah kempilikan orang lain. Mereka melakukan korupsi. Hasil dari tilapan dijadikan sebagai bahan untuk berkurban. Hasilnya, adalah konten di media sosial. Atau nama kebanggaan di sekitar di habitat dan pemujanya.

Apa yang patut kita ambil dalam fenomena ini? Kurban menjadi jalan baik bagi pemilik hati yang ikhlas. Ia bisa membagikan sapi atau kambing untuk masjid dan langgar. Tanpa nama pemiliknya. Yang ada dalam hati hanyalah ingin membantu masyarakat yang tidak pernah sama sekali memakan daging, atau ingin membantu kepada mereka yang kesusahan.

Namun ada acara lain yang bisa ditempuh, yaitu menyantuni fakir miskin. Memberdayakan masyarakat rentan, dan tertindas. Berderma adalah cara lain dari berkurban. Ada hikmah di balik kedermawan ini.

Namun belakangan, berkurban dan berdermawan masuk dalam konten yang diviralkan. Sekadar mengisi hasrat dan rayuan gombal perduniawian. Haji menjadi salah satu comtoh bagaimana fenomena ini marak di masyarakat. Biasanya, haji, kurban, dan infak, meraka lakukan sebagai pengganti dari hasil korupsi dan tilapan daripada duit rakyat/orang.

BACA JUGA  Stop Polarisasi! Rakyat Indonesia Mesti Bersatu

Kasus ACT menjadi salah satu contoh riil dalam kasus ini. ACT mencoba menjanjikan kemaslahatan dengan cara menjual derita umat. Setelah berapa tahun ACT menjadi lembaga filantropi sukses, ternyata para petingginya telah bermain tilap melalui cara gaji buta. Ini adalah egoisme agama yang manancap dalam pada sebagian umat beragama.

Lebih lagi, ternyata ACT juga bersinggungan dengan pendanaan terorisme. Menurut dari berbagai laporan, ACT diduga mengirim uang kepada pihak yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Perihal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi keuangan dari ACT kepada seseorang yang diduga terkait dengan organisasi teroris Al Qaeda. Ini juga bentu dari egoisme keagamaan.

Menyembelih Egoisme Diri

Tak terbantahkan, bahwa lembaga ACT ini bobrok dari segi moral dan kemanusiaan. Mereka yang mencoba menyuarakan kemanusiaan, ternyata menggerogoti kemanusiaan itu sendiri. Mereka yang ingin menyantuni fakir miskin, warga terdampak, dan sengsara, ternyata hanya dijadikan iklan semata. Apa yang diharapkan dari lembaga seperti ini?

Tidak ada. Yang perlu kita benahi, barangkali adalah sektor manusianya, agar bantuan kemanusiaan sampai pada manusianya. Yang perlu kita edukasi, adalah paham keagamaan radikal, yang mencoba untuk membantu sindikasi teroris Al-Qaeda dan lain-lain untuk mengacak-acak umat-negeri ini.

Pembacaan agama yang kaku, memang potensi menimbulkan kekacauan. Wacana kebenaran yang dipasokkan atas emosi yang menjuntai, bisa berbuah menjadi bom pembunuh massal yang mengerikan.

Menjajdi arogansi, kesalahan pihak luar terlihat, tapi salah diri ditutupi. Habitus sakit begini, perlu diberi vaksin penyembuh. Vaksin penyembuh tersebut harus bermula dari diri sendiri, yaitu belajar berkurban egoisme, dan menang-menangan serta merasa benar. Idul Adha tahun ini, sungguh pas untuk dijadikan sebagai tahap latihan dalam momen menyembelih ego diri. Sanggup?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru