31.8 C
Jakarta
Array

Identitas Agama-agama Samawi dalam al-Quran

Artikel Trending

Identitas Agama-agama Samawi dalam al-Quran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama adalah candu. Agama yang asal mulanya sebagai suatu ajaran yang bersifat teologis kini mulai dikembangakan dalam ranah metodologis. Upaya-upaya kajian agama dalam segi metodologis akan membentuk sebuah kerangka berfikir yang baru. Penganut agama tidak senantiasa meyakini dan mengikuti begitu saja ajaran-ajaran tersebut. Mereka mencari beberapa data yang masuk akal dan dapat dikembangkan dalam sebuah teori agar kebenaran atas agama dapat terlihat kemudian terbaca dengan jelas.

Fenomena agama islam pada masa-masa awal selalu menjadi wacana yang menarik untuk diperbincangkan oleh masyarakat barat. Baik itu fenomena sosial, antropologi, agama dan pendidikan. Masyarakat bagian barat merasa tertarik untuk menela’ah lebih jauh atas apa yang yang ada di agama Islam khususnya, masyarakat Timur umumnya. Beberapa kajian metodologis tersebut akan penulis paparkan dengan melihat beberapa pemikir barat (orientalis) atas penerapannya dalam memahami al-Quran. 

Meminjam istilah dari Farid Essack ada beberapa fase pemikir barat dan timur yang melakukan pendekatan atas studi al-Quran tersebut, yaitu: Fase pertama; pecinta buta; fase ke-dua; pecinta yang terpelajar;Fase ke-tiga; pecinta yang kritis;fase ke-empat;kawan sang pecinta; fase ke-lima; pengelana,

Dari fase yang digambarkan oleh Farid Essak di atas dapat kita katakan bahwa dalam mengkaji al-Quran sarjanawan barat memilikki ­framework atas dasar standing opinion mereka. Para orientalis berupaya menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai standar kajian atas al-Quran, mengutamakan rasm (teks dan riwayah), mempermasalahkan proses pembentukan mushaf, mempersoalkan kandungan al-Quran dan penggunaan metodologi Bible merupalam topik-topik yang paling mereka kaji. Dalam menyampaikan metodologis, mereka juga menggunakan sebuah metode, obyek kajian, teori dari framework mereka sendiri. Kemudian bagian yang mempengaruhi framework mereka sendiri adalah sejarah perkembangan kajian mereka yang diwarnai masalah keagaamaan, politik dan keilmuan.

Asumsi awal yang terbangun dari framework mereka adalah sebuah asumsi individu yang menyatakan bahwa agama Islam sejak awal lahir telah menentang doktrin-doktrinnya. Asumsi bahwa agama Islam sebagai penyempurna agama millah terdahulu telah banyak melontarkan koreksi terhadap agama-agama sebelumnya. Hal tersebut membuat mereka ingin lebih mengetahui tentang agama Islam. Salah satu cara mereka untuk mengetahui banyak hal tentang agama Islam, mereka lakukan lewat ekspansi mereka ke wilayah-wilayah bagian timur. Kemenangan mereka dalam wilayah politik ketika masa kejayaan bangsa barat mejadi salah satu wasilah bagi mereka untuk mendapatkan banyak data yang mereka butuhkan demi menyatakan asumsi-asumsi mereka yang terus berkembang dari sikap sentimentil ke ranah tanggung jawab di bidang keilmuan. 

Salah satu tokoh yang mencoba untuk mengungkapkan identitas agama lain selain Islam dalam al-Quran adalah Mentgomery Watt. Watt mengatakan “rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam secara mendasar adalah penting jika bertujuan untuk menghilangkan elemen-elemen yang salah dan keliru, dan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat tentang kedudukan Islam dalam dunia kontemporer”. Watt berupaya menkritik apa yang terkandung dalam al-Quran kemudian menjelaskan kembali menurut pendapatnya. Dalam sebuah ayat al-Quran 157 dalam surah an-Nisa’ yang menceritakan tentang kisah nabi Isa As. Watt menolak apa yang tertulis dalam al-Quran karena tidak mencantumkan ‘penyiksaan yang membawa kematian Nabi Isa As’. Menurutnya hal itu haruslah dicantumkan karena merupakan sebuah bukti sejarah silam yang paling pasti. 

Selanjutnya Abraham Geiger yang menggunakan pendekatan agama terdahulu dalam proses kritiknya. Abraham Geiger merupakan seorang intelektual Yahudi Liberal Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi terhadap al-Quran. Geiger berpendapat bahwa al-Quran merupakan imitasi dari Taurat dan Injil, yaitu dari segi kosa-kata yang berasal dari bahasa Ibrani; Tabut, Taurat, Jahannam,Taghut, dan lain sebagainya. Geiger juga mengatakan bahwa muatan dalam al-Quran dipengaruhi oleh agama Yahudi seperti penjelasan tentang hal-hal yang menyangkut keimanan dan moral, peraturan-peraturan hukum dan pandangan tentang kehidupan. Terakhir yang disampaian oleh Geiger adalah kecaman al-Quran terhadap Yahudi disebabkan oleh kejahilan dan kesalah fahaman nabi Muhammad terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi.

Dari kedua contoh di atas dapat kita ambil kesimpulan tentang identitas agama samawi (Yahudi dan Kristen) dalam al-Quran. Ayat -ayat dalam al-Quran banyak menceritakan tentang kedua agama tersebut berada dalam sebuah kesesatan. Berbeda dengan pandangan para orientalsi sendiri, mereka beranggapan bahwa al-Quran yang keliru. Mereka menyampaikan hal tersebut dengan data dan argumentasi yang mereka ambil dari kitab-kitab terdahulu. Beberapa diantaranya adalah bentuk ketidak sesuaian yang terjadi antara al-Quran dan kitab sebelumnya, kemudian penggunaan frasa bahasa yang sama, dan terakhir ketidaksesuaian isi dari sebuah peristiwa dalam al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya.

Sedangkan ibrah yang dapat kita ambil adalah sebuah kritik yang membangun. Para orientalis memaksa sarjanawan untuk mengkaji ulang atas kitab suci yang telah kita yakini. Mereka berupaya untuk mendialogkan beberapa tema dalam al-Quran dengan kitab Bible sebelumnya. Karena pada umumnya kitab-kitab agama samawi diturunkan dalam satu garis sinkronik dan bersumber dari sumber yang sama yaitu Tuhan.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru