30.1 C
Jakarta

Ibu Kota Nusantara dan Ancaman Khilafah

Artikel Trending

EditorialIbu Kota Nusantara dan Ancaman Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dewan Perwakilan Rakyat resmi mensahkan Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) setelah rancangannya mereka siapkan dalam waktu yang cepat. UU IKN itu disahkan melalui satu ketukan palu Ketua DPR, Puan Maharani, setelah mendapat persetujuan secara aklamasi oleh para anggota rapat paripurna ke-13 DPR masa sidang 2021-2022, Selasa (18/1) kemarin.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia mengatakan dalam rapat kerja dengan pemerintah, bahwa sebelumnya juga telah disepakati ibu kota baru diberi nama Nusantara. Hampir semua dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU IKN menjadi undang-undang, kecuali fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yakni partai yang selama ini dikenal afiliasi transnasional.

Anggota Fraksi PKS, Hamid Noor Yasin, sebagai satu-satunya fraksi yang tidak setuju, dalam interupsi di rapat paripurna menyatakan pemindahan ibu kota negara akan kian membebani keuangan negara saat Indonesia masih berjuang mengatasi pandemi Covid-19.

“Saat ini kondisi ekonomi negeri kita masih dalam keadaan sulit dan belum pulih. Masyarakat dan bangsa kita masih berjuang melawan Covid-19. Krisis yang terjadi mengakibatkan banyak rakyat kita kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinan bertambah,” jelasnya, dilansir BBC.

Di luar parlemen, kritik tentang pemindahan ibu kota baru juga tak sedikit, meskipun pengkritiknya adalah para aktor lama. Fadli Zon, misalnya, berkomentar bahwa sebaiknya nama ibu kota baru bukan Nusantara, tapi Jokowi. Rocky Gerung bahkan dengan nada mengejek mengatakan, sebaiknya ibu kota baru diberi nama Jokowikarta.

Selain politisi, kritik juga datang dari aktivis sosial. Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis Watchdoc dan sutradara film dokumenter fenomenal “Sexy Killers”, dengan lantang mengatakan melalui akun sosial media miliknya bahwa proyek pemindahan ini sarat problematis.

Media pers juga tak kalah andil. Banyak dikatakan dalam pemberitaan bahwa rencana pemindahan ibu kota, juga proses RUU IKN menjadi UU, kentara problematis dan terburu-buru. Bahkan kalangan akademisi, terutama yang konsen dalam diskursus keislaman dan keindonesiaan, ada yang mengatakan bahwa ibu kota Nusantara menjadi ancaman terhadap wacana Islam Nusantara.

Banyak komentar negatif mengenai ibu kota Indonesia yang baru, yakni Nusantara. Lalu bagaimana dengan aktivis khilafah? Bagaimana komentar mereka? Dan di mana posisi mereka dalam konteks polemik ihwal ibu kota baru bernama Nusantara ini? Editorial Harakatuna edisi hari ini spesial membahas tentang topik Nusantara.

BACA JUGA  Idulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan

Topik ini dipilih Redaksi karena tiga alasan. Pertama, kalangan yang tidak setuju dengan pemindahan ibu kota: dari Jakarta ke Nusantara, kebanyakan adalah oposan yang memang tidak pernah setuju apa pun kebijakan pemerintah.

Kedua, nama Nusantara mirip dengan garis perjuangan Hizbut Tahrir, yang berusaha mendirikan khilafah dengan menarasikan spirit ke-Nusantara-an. Masih ingat film Jejak Khilafah di Nusantara yang kontroversial tahun lalu?

Ketiga, selama ini aktivis khilafah terkenal sebagai pihak yang senantiasa memanfaatkan polemik di Indonesia untuk melancarkan agenda mereka: indoktrinasi hingga infiltrasi. Jadi apakah dalam lingkaran polemik ihwal ibu kota baru, mereka juga ikut memainkan narasi untuk memprovokasi warga negara Indonesia?

Kritik dari sebagian akademisi dan jurnalis baik untuk menjadi pertimbangan mengenai ibu kota baru, namun kritik dekonstruktif dari pihak-pihak yang memiliki kebencian ideologis harus disikapi penuh waspada. Jangan sampai perpecahan terjadi dan alih-alih berhasil memindahkan ibu kota, negara ini malah mengalami chaos dan yang paling diuntungkan adalah aktivis khilafah.

Dari dulu hingga saat ini Jakarta menjadi tempat terempuk dari agenda khilafahisasi. Bahkan, aktivis khilafah memiliki markas di DKI Jakarta, sebelum pemerintah membubarkan HTI. Mereka juga punya basis gerakan yang sangat masif di kampus-kampus besar ibu kota, meskipun secara nomenklatur mereka tentang sebagai sesuatu yang ke-Barat-an dan atau thaghut.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana jika ibu kota yang baru bernama Nusantara, apakah berarti babak baru perjuangan menegakkan khilafah terbuka lebar? Kendati beberapa pihak mungkin akan menyangkal kemungkinan terburuk, satu yang harus kita ingat adalah bahwa sering kali para aktivis khilafah berada satu langkah lebih maju daripada kita.

Proyek pemindahan ibu kota memakan waktu yang relatif lama, maka siapa yang menjamin bahwa dalam rentang yang tidak sedikit tersebut, mereka belum menyiapkan segalanya untuk bergerak di Nusantara—sebagaimana mereka telah mempropagandakan Nusantara bermasa lalu khilafah?

Dengan demikian, bagian ini juga mesti menjadi perhatian pemerintah; memastikan bahwa ibu kota baru aman dari potensi gerakan baru khilafahisme, sekaligus memastikan bahwa nama Nusantara tidak akan jadi bahan propaganda para aktivis khilafah itu sendiri. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru