32.9 C
Jakarta

HUT RI 77: Pulih Lebih Cepat dan Bangkit Semakin Kuat Memberantas Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahHUT RI 77: Pulih Lebih Cepat dan Bangkit Semakin Kuat Memberantas Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Sebentar lagi kita akan merayakan hari uang tahun Republik Indonesia yang ke-77. Semarak merayakan kemerdekaan pada tahun ini digelar cukup meriah di pelbagai daerah, mulai dari pelosok hingga seluruh tanah air. Tidak heran, tema kemerdekaan tahun ini yakni, “Pulih lebih Cepat dan Bangkir semakin Kuat.” Tema ini sejalan dengan kerinduan masyarakat untuk merayakan hari kemerdekaan yang sudah lama tidak digelar secara offline karena pandemi.

Kemeriahan itu juga dilakukan salah satunya dii Yogyakarta. Hampir semua wilayah mengadakan tirakatan dalam rangka memperingati hari raya kemerdekaan. Kegiatan itu dilakukan pada malam 17 Agustus. Kegiatan di daerah lain pasti juga meriah, mulai dari semarak perlombaan antar dusun, hingga pemasangan bendera merah putih di setiap rumah. Apakah ini berlebihan? Saya kira ini adalah semangat yang sangat penting untuk dijaga, sebagai salah satu kebanggaan menjadi warga negara Indonesia. Jika masih ada orang yang ogah-ogahan untuk pasang bendera di depan rumah, sampaikan saja, “Sudah tidak ikut berjuang, tidak ikut merayakan pula. Kenapa masih tinggal di Indonesia? Lebih baik pindah ke mars saja.”

Melihat Indonesia dengan semangat warga negaranya, apa refleksi semangat kemerdekaan tahun ini? Tantangan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yakni, intoleransi dan radikalisme yang begitu kuat dan masih mengakar pada masyarakat.

Intoleransi dan radikalisme

Mengapa intoleransi dan radikalisme menjadi tantangan? Di tengah musibah pandemi yang sangat mencekam, dengan nyawa yang menjadi taruhan. Konflik beragama menjadi sangat rawan terjadi. Penolakan rumah ibadah masih terjadi pada saat pandemi. Hal itu berdasarkan beberapa contoh, diantaranya: pertama, pada tahun 2020, sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta. Kedua, sekelompok orang mengganggu ibadah Jemaah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) KSB (Kota Serang Baru) di Kabupaten Bekasi. Ketiga, 20 september 2020, umat Kristen di Desa Ngastemi, kabupaten Mojokerto mendapatkan penolakan beribadah. Keempat, tahun 20221. Terjadi pembakaran masjid Ahamadiyah di Sintang Kalimantan Barat.

Fenomena ini menyebabkan adanya pemahaman yang cukup bermasalah pada masyarakat kita tentang, ekspresi keberagamaan di ruang publik dengan posisi menjadi warga negara. Kebebasan dalam memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing, perlu diresapi secara jauh oleh masing-masing individu agar tidak mengganggu orang lain. Belum selesai dengan kasus intoleransi berkenaan dengan ibadah. Masalah besar muncul di ruang pendidikan. Kasus pemaksaan jilbab yang terjadi di sekolah, seperti halnya di Bantul, Yogyakarta, merupakan tanggung jawab institusi pendidikan. Kasus serupa sudah terjadi beberapa waktu di Padang.

BACA JUGA  Paradoks Toleransi: Kita Tidak Boleh Toleran Terhadap HTI, Perusak NKRI

Anehnya, masyarakat justru menganggap bahwa, wajib hukumya untuk mengenakan jilbab di sekolah. Padahal, kewajiban yang bersifat memaksa, dan orang yang memakainya merasa terpaksa, membuktikan bahwa, keberagamaan yang dimiliki oleh kelompok, bahkan institusi pendidikan, tidak inklusif kepada orang yang tidak mau berjilbab, bahkan kepada non-muslim.  Melihat kasus ini, kita perlu melihat secara jauh, bagaimana pola keberagamaan yang harus dilakukan dalam ruang publik agar bisa saling menghargai satu sama lain dan terus berusaha untuk memberikan ruang aman bagi orang-orang yang berbeda.

Tidak hanya itu, fenomena ini akan menimbulkan gesekan antar agama, yang mengakibatkan keretakan bangsa Indonesia. Tantangan ini menjadi sangat berat dengan hadirnya pemahaman yang keukeuh tentang kebenaran atas pendapat dan keyakinannya sendiri. Hadirnya kelompok radikal dengan narasi yang tidak seimbang, menyudutkan pemerintah, dan mengkampanyekan ajaran khilafah supaya tegak di Indonesia, semakin menjadi tantangan kita masa kini.

Gerak kolektif melawan radikalisme

Tantangan di atas adalah salah satu PR besar bagi Indonesia hari ini. 77 tahun Indonesia belum bebas dengan bangsanya sendiri. bangsa yang masih mengklaim bahwa Indonesia adalah milik satu golongan saja. Padahal, Indonesia adalah milik semua masyarakat Indonesia. Mulai dari sabang sampai Merauke, yang terdiri dari banyak pulau, agama, suku, tradisi dan budaya.

Kehadiran ideologi asing yang menjadi masalah Indonesia, perlu dilawan secara kolektif dengan narasi anternatif yang bisa diakses oleh semua orang. Gerakan yang bisa kita lakukan sangat sederhana. Bisa dimulai dari media sosial dengan menyebar konten positif, konten damai dan lainnya. Jika kesadaran semacam ini bisa dimiliki oleh semua bangsa Indonesia, kita akan bersatu memberantas intoleransi dan radikalisme. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru